Dari P5 ke 8 Dimensi: Transformasi Pendidikan Karakter yang Menuntut Sinergi Semua Pihak

0
Kepala Sekolah SD Negeri Gunung Putri 01 Kecamatan Citeureup Kabupaten Bogor, Jacobus Yonathan Kolin, S. Pd, S. Sos (Foto: Dok. Pribadi)

Oleh:

Jacobus Yonathan Kolin, S. Pd, S. Sos*)

Tilik, BULIR.ID – Dunia pendidikan di Indonesia memang tidak pernah berhenti mengalami perubahan kebijakan. Setelah P5 (Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila) diperkenalkan sebagai salah satu ciri khas Kurikulum Merdeka, sebuah gebrakan baru akan hadir di tahun ajaran 2025/2026: P5 akan dihapus dan digantikan dengan konsep 8 Dimensi Profil Lulusan. Perubahan ini tentu memicu banyak pertanyaan, terutama bagi para pendidik dan orang tua di jenjang Sekolah Dasar (SD) mengenai bagaimana konsep ini akan diterapkan.

Perubahan paradigma pendidikan ini secara resmi diatur dalam Permendikdasmen No. 10 Tahun 2025. Landasan hukum inilah yang menjadi dasar dari lahirnya 8 Dimensi Profil Lulusan, yang dirancang untuk tidak lagi menjadi proyek terpisah, melainkan diintegrasikan langsung ke dalam pembelajaran harian atau deep learning. Dengan adanya payung hukum ini, menjadi semakin relevan untuk menganalisis secara mendalam mengenai potensi dan risiko kebijakan ini dalam menjawab tantangan pendidikan karakter pada anak-anak usia emas

Analisis Potensi dan Peluang Pembelajaran yang Lebih Mendalam

Pergantian dari P5 ke 8 Dimensi Profil Lulusan menawarkan beberapa potensi positif yang signifikan untuk siswa SD antara lain terjadi integrasi ke pembelajaran harian. Tidak seperti P5 yang berbasis proyek terpisah, konsep 8 Dimensi dirancang untuk diintegrasikan langsung ke dalam pembelajaran harian atau deep learning. Ini mengatasi salah satu kelemahan P5 yang implementasinya sering menjadi beban tambahan bagi guru dengan jadwal padat.

Selain itu, terbangun pola pembentukan karakter yang alami. Melalui pendekatan terintegrasi, pembentukan karakter tidak lagi terasa sebagai “pelajaran tambahan”. Sebagai contoh, siswa kelas 1 SD bisa belajar tentang Kolaborasi saat bermain peran dalam pelajaran bahasa Indonesia, atau mempraktikkan Kesehatan dengan mencuci tangan sebelum makan.

Lebih jauh lagi, ada relevansi dimensi yang diperbarui. Konsep baru ini menambahkan dimensi seperti Kesehatan dan Komunikasi, sementara dimensi lain seperti Berkebinekaan Global dan Bergotong Royong dilebur menjadi Kewargaan dan Kolaborasi. Dan akhirnya, tergambar tujuan akhir yang holistik. Perubahan ini merupakan upaya untuk memastikan pendidikan karakter benar-benar terinternalisasi dalam diri siswa. Tujuannya adalah melahirkan generasi yang tidak hanya pintar, tetapi juga memiliki karakter yang kuat, sehat, dan mampu beradaptasi.

Jika dihubungkan dengan visi jangka panjang bangsa, kebijakan 8 Dimensi ini dapat dilihat sebagai langkah strategis fundamental dalam mempersiapkan generasi untuk Indonesia Emas 2045. Visi tersebut membutuhkan sumber daya manusia yang unggul secara holistik, bukan hanya cerdas secara akademis. Upaya untuk melahirkan generasi yang tidak hanya pintar, tetapi juga memiliki  karakter yang kuat, sehat, dan mampu beradaptasi dengan dunia yang terus berubah merupakan investasi utama pada jenjang pendidikan paling dasar. Dengan demikian, kebijakan ini bukan sekadar perubahan kurikulum, melainkan sebuah tonggak penting untuk membentuk fondasi manusia Indonesia yang akan menopang kemajuan bangsa di masa depan.

Risiko: Tantangan Implementasi di Lapangan

Meskipun konsepnya menjanjikan, implementasinya di tingkat SD memiliki risiko dan tantangan tersendiri: Risiko pertama dan yang paling mendasar terletak pada kesiapan guru. Guru SD adalah garda terdepan dalam membentuk karakter anak. Dengan model pembelajaran yang terintegrasi ini, guru dituntut untuk jauh lebih kreatif dalam merancang materi ajarnya.

Mereka harus mampu menyisipkan nilai-nilai dari 8 dimensi ke dalam setiap mata pelajaran, bukan lagi sekadar mengajar teori. Tanpa adanya pelatihan dan pendampingan yang intensif, terdapat risiko besar bahwa guru-guru di SD akan merasa terbebani dan pada akhirnya tidak mampu menjadi fasilitator yang efektif untuk mencapai tujuan kebijakan ini.

Tantangan kedua adalah kompleksitas penilaian yang holistik. Jika sebelumnya P5 memiliki rubrik penilaian proyek yang cenderung lebih jelas, sistem penilaian untuk 8 Dimensi Profil Lulusan dipastikan akan lebih kompleks. Pertanyaan krusial pun muncul: bagaimana cara mengukur tingkat Kemandirian atau Kewargaan seorang anak di dalam kelas secara objektif? Implementasi ini sangat membutuhkan pengembangan instrumen penilaian yang valid dan mudah digunakan oleh guru SD. Risiko kegagalannya tinggi jika penilaian hanya berfokus pada hasil akhir dan mengabaikan proses perkembangan karakter siswa itu sendir

Risiko ketiga yang tidak kalah vital adalah sinkronisasi peran orang tua. Di jenjang SD, peran orang tua sangatlah vital dalam pembentukan karakter anak. Keberhasilan implementasi 8 Dimensi Profil Lulusan akan sangat bergantung pada seberapa jauh nilai-nilai ini juga diterapkan dan dibiasakan di lingkungan rumah.

Tanpa adanya jalinan komunikasi yang kuat dan sejalan antara pihak sekolah dan orang tua, proses pembentukan karakter anak akan berjalan parsial dan tidak konsisten. Risiko terbesarnya adalah terjadinya ketidakselarasan antara nilai yang diajarkan di sekolah dengan kebiasaan di rumah, yang dapat menghambat internalisasi karakter secara utuh.

Pergantian P5 menjadi 8 Dimensi Profil Lulusan adalah sebuah evolusi yang bertujuan memperbaiki celah yang ada. Potensinya untuk membentuk karakter siswa secara lebih mendalam sangat besar. Namun, keberhasilannya mutlak bergantung pada keseriusan dan sinergi semua pihak. Jika guru, sekolah, dan orang tua dapat bekerja sama, maka kebijakan ini berpeluang besar menjadi jawaban atas tantangan pendidikan karakter di era modern, khususnya di jenjang Sekolah Dasar.

Pada akhirnya, kebijakan ini lebih dari sekadar perubahan kurikulum; ini adalah investasi pada fondasi generasi masa depan. Mengatasi tantangan kesiapan guru , kerumitan sistem penilaian , serta membangun sinergi dengan orang tua adalah langkah-langkah krusial yang akan menentukan hasilnya. Keberhasilan dalam mengintegrasikan 8 Dimensi ini bisa menjadi tonggak penting untuk melahirkan generasi yang tidak hanya pintar, tetapi juga memiliki karakter yang kuat, sehat, dan mampu beradaptasi dengan dunia yang terus berubah

*) Penulis adalah Kepala Sekolah SD Negeri Gunung Putri 01 Kecamatan Citeureup Kabupaten Bogor