Pendidikan Berbasis Kearifan Lokal: Strategi Menyambut Pariwisata ‘Super Premium”

0
Tarian Adat Caci yang bisa disaksikan wisatawan di Desa Adat Melo, Liang Ndara, Manggarai Barat, Pulau Flores, NTT, Rabu (29/11/2018). (KOMPAS.COM / MUHAMMAD IRZAL ADIAKURNIA)

Oleh: Sil Joni*

Tilik, BULIR.ID – Diskursus tentang kontekstualisasi pendidikan terus menguat saat ini. Teori dan praksis pendidikan mesti direnda di atas basis sosio-kultural sehingga anak didik tidak tercerabut dari akar kebudayaannya sendiri.

Konteks budaya yang dimaksud, hemat saya mengacu pada gugusan pengetahuan dan kearifan lokal (local wisdom) yang telah diwariskan secara kreatif dari generasi ke generasi dan menjadi semacam ‘penanda identitas’ sebuah komunitas etnis.

Pendidikan formal semestinya menjadi ‘instrumen ideal’ untuk mempelajari dan memahami pelbagai kearifan lokal sehingga kita tidak kehilangan ‘pegangan kultural’ dalam menghadapi badai globalisasi dan modernisasi yang kian dahsyat saat ini.

Setelah dikaji secara mendalam, pentingnya nilai-nilai kearifan lokal pada kehidupan masyarakat, ternyata tidak hanya terletak pada ranah kegiatan sosial, budaya, dan politik, melainkan juga pada ranah pendidikan.

Paulo Freire, seorang tokoh pemikir pendidikan asal Brazil mengatakan bahwa kearifan lokal akan mengajarkan peserta didik untuk selalu konkret pada apa yang mereka hadapi.

Dalam bukunya yang berjudul ‘Cultural Action for Freedom’, Ia menyebut, dengan dihadapkannya peserta didik pada problem dan situasi yang dihadapi, mereka akan merasa lebih tertantang untuk kemudian menanggapinya secara kritis. Maka dari itu, Freire menegaskan bahwa sangat diperlukan adanya integrasi ilmu pengetahuan dengan kearifan lokal.

Apa itu kearifan lokal? Definisi tentang terminologi ini sangat beragam. Kemajemukan itu menunjukkan ‘keluasan dan kedalaman’ kandungan makna di balik istilah itu. Untuk kepentingan analisis ini, penulis bersandar pada batasan yang dikemukakan oleh Ulfa (2014).

Dalam bukunya yang berjudul “Peranan Kearifan Lokal dalam Pendidikan Karakter”, Ulfah mengungkapkan arti kearifan lokal sebagai pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka.

Dalam bahasa asing sering juga dikonsepsikan sebagai kebijaksanaan setempat (local wisdom) atau pengetahuan setempat (local knowledge) atau kecerdasan setempat (local genius).

Sudah terlalu lama pendidikan kita ‘terkooptasi’ oleh sains modern yang umumnya produk kebudayaan Barat. Padahal kita memiliki banyak komunitas suku (adat) dengan pengetahuan atau kearifan lokal dalam menjalin hubungan dengan “Yang Transenden”, sesama dan alam.

Saya berpikir, ketika Labuan Bajo sudah menjelma sebagai destinasi super premium, maka masyarakat lokal mesti memiliki fundasi kultural yang kokoh dalam menghadapi efek negatif arus globalisasi pariwisata tersebut. Mendesain sebuah strategi pendidikan yang berbasis kearifan lokal, menjadi sebuah opsi yang relevan dan urgen saat ini.

Pendidikan berbasis kearifan lokal adalah pendidikan yang mengajarkan peserta didik untuk selalu dekat dengan situasi konkret yang mereka hadapi sehari-hari. Model pendidikan berbasis kearifan lokal merupakan sebuah contoh pendidikan yang mempunyai relevansi tinggi bagi kecakapan pengembangan hidup, dengan berpijak pada pemberdayaan ketrampilan serta potensi lokal pada tiap-tiap daerah.

Kearifan lokal di Manggarai Barat (Mabar) sangat banyak dan beraneka ragam karena daerah ini terdiri atas bermacam-macam sub-etnis, berbicara dalam aneka bahasa daerah dan dialek, serta menjalankan ritual adat istiadat yang berbeda-beda pula. Kehadiran pendatang dari luar seperti etnis Bajo, Bima, Bugis Ngada, Timor, dll semakin memperkaya kemajemukan kearifan lokal.

Kendati demikian, harus diakui bahwa identitas Kemanggaraian kita tetap menjadi ‘budaya dominan’ di sini. untuk itu, dalam tulisan ini, kita hanya menyinggung kearifan lokal yang ada dan dihidupi oleh kelompok etnis dominan itu.

Pendidikan berbasis kearifan lokal dapat digunakan sebagai media untuk melestarikan potensi kita yang bersifat khas atau unik. Kearifan lokal harus dikembangkan dari potensi daerah. Potensi daerah merupakan potensi sumber daya spesifik yang dimiliki suatu daerah.

Potensi Kabupaten Mabar dalam hal pangan dan kuliner lokal adalah gola malang, ute lomak, Nakeng cara, umbi-umbian, jagung, songkol, tuak, dll. Dalam bidang seni, kita memiliki alat musik tradisional seperti gong-gendang dan seni tari tradisional yang sangat legendaris, Tarian Caci.

Daftar akan semakin panjang jika kita mengupas soal ritus, adat istiadat dan kebiasaan baik yang diwariskan oleh nenek moyang kita dari generasi ke generasi.

Lembaga pendidikan dapat melakukan sejumlah upaya dan program agar potensi tersebut dapat diangkat menjadi keunggulan lokal untuk meningkatkan taraf perekonomian masyarakat melalui sektor pariwisata.

Sekolah-sekolah di Mabar dapat melakukan pengembangan seni tari seperti tarian Caci, Tarian Tiba Meka dll, melalui kegiatan ekstrakurikuler, pelestarian warisan kuliner melalui pelajaran tata boga dan pembiasaan bahasa daerah melalu pelajaran Manggarai sebagai muatan lokal. Pelatihan dan pembiasaan melalui bimbingan guru serta orang tua sangat berperan dalam melestarikan kearifan lokal.

Kearifan Lokal di Sekolah

Prinsip dasar yang menjadi landasan pembahasan ini adalah proses pendidikan di sekolah mesti ‘terhubung’ dan berdasarkan muatan pengetahuan yang dihayati dalam sebuah lingkungan kebudayaan. Lembaga pendidikan formal tidak boleh membuat siswa teralienasi dan tercerabut dari akar budayanya.

Para siswa yang datang ke sekolah tidak bisa diibaratkan sebagai sebuah gelas kosong, yang bisa diisi dengan mudah. Siswa tidak bisa diasumsikan sebagai ‘kertas kosong’ yang ditulis sesuai keinginan guru. Mereka sudah membawa nilai-nilai budaya yang dibawa dari lingkungan keluarga dan masyarakatnya. Guru yang bijaksana harus dapat menyelipkan nila-nilai kearifan lokal mereka dalam proses pembelajaran.

Seperti apakah konkretisasi dari proses pembelajaran yang akomodatif terhadap kearifan lokal itu? Strategi praktis yang bisa dipaki adalah mengintegrasikan item pengetahuan lokal itu ke dalam materi ajar.

Sebagai contoh, guru Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris dan Bahasa Manggarai, dapat menugaskan para siswa untuk membuat karangan tentang potensi Wisata di Mabar. Guru Sejarah dapat menugaskan para siswa untuk membuat laporan tentang ritus dan maknanya seperti Teing Hang Empo, Tiba Meka, padong (podo) Kelas, dll dalam bentuk power point.

Guru Seni Rupa dapat mengajarkan bagaimana cara menggambar rumah adat, Mbaru Gendang, Compang, dan atrubut budaya lainnya. Guru Matematika dapat mengenalkan bentuk-bentuk geometris kepada para siswa melalui bentuk atap rumah adat. Hal-hal serupa juga dapat diterapkan oleh para guru untuk mata pelajaran-mata pelajaran yang lain.

Metode lain yang dapat dipraktekkan adalah lewat kegiatan bercerita atau mendongeng, dengan menyertakan gambar, foto, boneka, iringan musik, miniatur rumah adat, gestur dan pembawaan guru yang menarik. Cara semacam ini sangat efektif untuk mendidik siswa di tingkat Kelompok Bermain, Taman Kanak-Kanak dan Sekolah Dasar.

Pendidikan berbasis kearifan lokal tentu akan berhasil apabila guru memahami wawasan kearifan lokal itu sendiri. Guru yang kurang memahami makna kearifan lokal, cenderung kurang sensitif terhadap kemajemukan budaya setempat.

Sil Joni, Pemerhati masalah sosial dan politik.

Hambatan lain yang biasanya muncul adalah guru yang mengalami lack of skill. Akibatnya, mereka kurang mampu menciptakan pembelajaran yang menghargai keragaman budaya daerah. Solusi yang paling tepat, tentu saja dengan memudahkan para guru untuk memperoleh informasi akurat dari media cetak dan media elektronik.

Sekolah dapat melakukannya dengan menyediakan buku-buku rujukan, kaset VCD edukatif, majalah, tabloid dan surat kabar terbaru secara rutin di perpustakaan. Sekolah juga dapat menugaskan guru untuk berpartisipasi aktif sebagai peserta dalam pelatihan, seminar dan lokakarya tentang kearifan lokal.

Para guru yang sudah mampu mendapatkan informasi secara cepat dari internet, pasti lebih aktif dalam penanaman kearifan lokal di ruang kelas. Akan lebih baik apabila guru menyebarkan “virus-virus cinta kearifan lokal” dengan rajin berbagi pengalaman, misalnya menulis di majalah, koran, maupun blog milik unit kerja masing-masing.

Bahkan jika kemampuan sudah memungkinkan, guru dapat berbicara dalam seminar-seminar skala lokal. Peran aktif guru semacam itu sanggup memotivasi rekan-rekan sekerja untuk mempraktikkannya.

Satu kegiatan terpenting yang harus segera dilakukan adalah memulai. Kegiatan awal ini tidak mudah, karena sebagai ujung tombak pembaharuan, guru harus berani melawan rasa malas, jenuh dan keengganan untuk berubah. Perubahan harus dimulai sekarang, karena kearifan lokal sudah mulai dilupakan.

Kita harus belajar banyak dari bangsa Jepang yang tetap menjunjung tinggi kearifan lokal, sekalipun mereka sudah menguasai teknologi modern. Mencintai kearifan lokal, bukan berati ketinggalan zaman. Jadi, tunggu apa lagi? Mari, guru-guru di Mabar, segera lakukan pendidikan berbasis kearifan lokal di unit kerja anda.

Masa depan pariwisata Mabar sangat bergantung pada ‘kreativitas’ generasi muda untuk ‘merawat dan melestarikan’ apa yang menjadi kekhasan daerah ini. Kekhasan yang terekspresi dalam pelbagai kearifan lokal menjadi ‘trademark’ pariwisata kita.

Produk wisata yang dipasarkan hendaknya bersifat unik. Para wisatawan sangat ‘menyukai’ hal-hal unik itu. Namun, jika generasi muda kita tidak ‘dilatih dan diarahkan’ untuk mencintai dan mempraktikkan pelbagai kearifan lokal itu, maka boleh jadi citra keindahan dan keaslian budaya kita akan memudar.

Jadi, proses pendidikan berbasis kearifan lokal, hemat saya sangat membantu dalam mendorong dan mengarahkan siswa untuk setia merawat dan mencintai warisan budaya serentak memodifikasinya untuk kepentingan menaikkan ‘branding’ pariwisata Mabar. Dengan itu, kita memiliki ‘sesuatu yang unik’ untuk ditawarkan kepada wisatawan sehingga mereka merasa ‘terpikat’ dengan alam dan budaya kita.

*) Sil Joni merupakan pemerhati masalah sosial dan politik. Saat ini penulis berdomisili di Labuan Bajo, Manggarai Barat, FLores NTT.

Catatan Redaksi: Opini pada kolom ini merupakan pandangan pribadi penulis dan sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis. Opini tidak mewakili pandangan redaksi Bulir.id.