Hukum dan Pembalikan Moral oleh Yesus: Sebuah Refleksi Teologi Sosial

0
Scene dalam sebuah film memperlihatkan para ahli taurat dan orang Farisi membawa seorang perempuan yang kedapatan berzinah kepada Yesus

Oleh: Welhelmus F. N. Runesi*)

Tilik, BULIR.ID – Pencobaan dan kesadaran merupakan dua kata yang merujuk kepada dua hal yang berbeda.

Dalam Kamus Bahasa Indonesia (KKBI) pencobaan berasal dari kata dasar ‘coba’ dengan imbuhan pe-an untuk menyatakan suatu tindakan menguji sesuatu, entah itu benda atau juga pada seseorang.

Dalam hidup sehari-hari, pencobaan bertujuan mengetahui kelayakan atau ketidaklayakan suatu objek yang dicoba, mengetahui daya tahan objek tersebut terhadap suatu tekanan, mengetahui dapat bekerja tidak suatu alat yang hendak dipakai.

Sebaliknya, kesadaran berasal dari kata dasar ‘sadar’ dengan imbuhan ke-an yang memiliki arti suatu tindakan atau dorongan yang muncul dari dalam diri seseorang atas keadaan diri atau atas suatu situasi tertentu.

Kesadaran berhubungan dengan aspek batiniah seseorang. Maka, kesadaran sering kali berhubungan dengan niat atau keinginan seseorang atas suatu hal.

Misalnya, saya sadar akan bahaya yang akan terjadi, atau saya sadar akan rencana yang sedang saya rancang, atau saya sadar dengan tindakan memotong kayu.

Tetapi jauh lebih dalam, kesadaran merujuk pada dimensi batin dari akan dirinya sendiri, yakni ia sadar bahwa ia sedang sadar.

Martin Heidegger seorang filsuf menyatakan bahwa kesadaran berarti “sadar terhadap sesuatu; sesuatu yang berada dalam keadaan diketahui”. Artinya mengetahui yang ada sekarang dan yang ada di sini dan dialami.

Dalam lingkup tindakan subjek, hubungan antara pencobaan dan kesadaran terletak dalam niat seseorang untuk secara sadar mencoba sesuatu atau mencobai seseorang. Di sini, secara moral manifestasi dan bentuk operasional dari niat tersebut dapat bersifat jahat atau baik.

Pembalikan Moral

Dalam teks Yohanes 8:1-11, kita bisa menemukan suatu hubungan antara kedua hal tersebut. Orang-orang Farisi dan para Ahli Taurat memiliki niat jahat dengan mencobai Yesus. Tujuan mereka menjebak Yesus, agar Yesus dapat dipersalahkan secara publik.

Untuk itu, mereka membawa kepada Yesus, seorang perempuan yang kedapatan berzinah. Kita tahu bahwa “mereka menempatkan perempuan itu di tengah-tengah, lalu berkata kepada Yesus: “Rabi, perempuan ini tertangkap basah ketika ia sedang berbuat zinah. Musa dalam Hukum Taurat memerintahkan kita untuk melempari perempuan-perempuan yang demikian. Apa pendapat-Mu tentang hal itu?”

Di sini, orang-orang Farisi dan Ahli-ahli Taurat menjadikan Hukum Taurat sebagai dasar untuk mencobai Yesus, walau mereka sadar bahwa tidak mudah untuk mencari kesalahan Yesus.

Tindakan mereka ini mengindikasikan suatu sikap niat jahat, mereka secara sadar ingin mencobai Yesus karena ketidaksukaan mereka sendiri terhadap Yesus.

Jadi dari teks injil tersebut, kita menemukan dua bentuk perselingkuhan moral: bahwa seorang perempuan tertangkap basah berselingkuh dengan suami perempuan lain, dan yang lebih jahat adalah perselingkuhan niat jahat antara para Farisi dan Ahli-ahli Taurat untuk menjebak Yesus.

Kita membaca bahwa jebakan itu tidak berhasil dan akibatnya, para pencoba pergi satu-satu, mulai dari yang paling tua. Ketidakberhasilan itu tidak terletak dalam kekuatan argumentasi hukum dan rasional dari Yesus.

Yang terjadi adalah bahwa Yesus melakukannya melalui suatu pembalikan moral dengan mengenakan tuduhan mereka kepada perempuan itu pada diri mereka: “barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu”.

Pernyataan Yesus itu hendak menyatakan bahwa kalau seseorang itu benar seluruhnya, maka hendaklah ia yang pertama melempar.

Orang-orang Israel, sebagai suatu bangsa Teokratik pada masa itu, menerima bahwa Hukum Taurat merupakan undang-undang dasar yang mengatur seluruh aspek kehidupan mereka.

Ada lebih dari 500 aturan hukum yang dibuat dengan merujuk pada Taurat Musa. Namun, hukum yang beroperasi menurut kerangka berpikir patriarkat itu lebih sering menjadikan perempuan sebagai korban atau sasaran hukuman, terutama dalam kaitan dengan hukum keenam dan kesembilan dalam Dekalog.

Singkatnya, dengan mengarahkan tuduhan itu kepada mereka, Yesus berhasil menggagalkan niat jahat mereka sekaligus membawa mereka pada kesadaran akan kenyataan bahwa mereka juga termasuk pendosa.

Bila teks ini dibaca dalam konteks sekarang, kita bisa menemukan banyak contah mengenai kecenderungan untuk merasa diri paling benar.

Dalam konteks politik, kita mengenal istilah kadrun sebagai orang-orang yang menginterpretasi hukum-hukum agama secara sempit dan radikal, dengan mengakibatkan banyak kekacauan politik.

Di samping itu, kita juga mengenal istilah kampret dan kecebong, yang disematkan pada pendukung tokoh politik tertentu.

Dengan istilah kampret dan kecebong kita menemukan gejala, di mana setiap pendukung merasa tokoh yang didukungnya adalah yang terbaik dan paling bersih secara hukum dan moral dalam hubungan dengan persoalan-persoalan HAM, ekonomi dan politik.

Juga dalam lingkup keilmuan, kita membaca tentang kecenderungan untuk percaya bahwa perspektif tertentu saja yang paling benar dalam menjelaskan dan menjawab segala persoalan dan kebutuhan hidup manusia.

Seperti yang terjadi beberapa waktu lalu, di mana kita mengikuti perdebatan panas antara para pendukung sains dan para peminat filsafat. Masing-masing pihak mengklaim superioritas metodologisnya dalam menjelaskan realitas.

Sains dengan kelebihannya mengatakan bahwa ia telah menciptakan teknologi yang sangat membantu manusia dalam aktivitas hidupnya, dan menganggap filsafat tidak mempunyai tempat lagi di zaman sekarang.

Sedangkan filsafat dengan kekritisannya menganggap bahwa memang sains telah menciptakan banyak hal, tetapi sains tidak akan pernah mampu menjelaskan apa itu manusia, apa itu teknologi dan apa itu proses berpikir.

Contoh-contoh di atas hendak menunjukkan bahwa terdapat suatu daya atau impuls dalam diri manusia untuk selalu menganggap posisi atau dirinya sebagai ukuran kebenaran.

Dalam sejarah pemikiran, posisi-posisi semacam ini berakar dalam pandangan tentang homo mensura: manusia adalah ukuran bagi segala sesuatu, di mana manusia yang dimaksud tidak lain adalah keyakinan dan perasaan subjektif seseorang.

Bahkan dalam konteks hidup keagamaan, kita menemukan gejala yang sama. Setiap orang merasa bahwa dialah yang paling mampu menangkap kehendak tuhan.

Keyakinan seperti itu hanya menyisakan satu langkah lagi bagi manusia untuk menganggap diri sebagai tuhan itu sendiri sehingga dengan mudah menghakimi orang lain.

Tetapi belajar dari teks Yoh 8:1-11, kita diajak untuk selalu melakukan pembalikan perspektif, yang membantu kita untuk tidak terjebak dalam egosentrisme diri.

Hukum sebagai Kebenaran

Apa yang telah tertulis dalam Hukum Taurat merupakan undang-undang dasar bangsa Israel pada zaman itu dan hukum itu sendiri adalah sebuah aturan untuk memperbaiki apa yang salah.

Tindakan Yesus sebagaimana kita baca dalam Yoh. 8:7 tentang pembalikan moral melalui pernyataan: “barangsiapa yang tidak berdosa hendaknya ia yang pertama melemparkan batu”, ingin menunjukan kepada para Ahli Taurat dan orang-orang Farisi, apa yang hilang dari kondisi hidup mereka yakni kesadaran diri.

Cara berpikir legalistik yang dimiliki orang-orang Farisi dan Ahli-ahli Taurat sangat nampak dalam konteks kita sekarang. Kita menemukan bahwa kebenaran berarti sesuai dengan aturan undang-undang.

Hukum tidak lagi bicara tentang keadilan tetapi tentang kebenaran. Hukum adalah kebenaran. Sebagai akibatnya, secara politis, kita melihat bagaimana kelompok tertentu, yang menganggap hukum dan aturan agamanya yang paling benar, berjuang untuk mengubah segala sesuatu menurut ukuran dan kebenaran mereka.

Dalam hal ini, orang dapat menganggap orang lain selalu salah. Sikap ini menutup jalan kepada perjumpaan yang penuh kasih di antara sesama. Sikap ini juga menutup jalan kepada sikap rendah hati untuk belajar mendalami pandangan atau perspektif yang berbeda.

Dalam semangat, yang disebut oleh Paus Benediktus XVI sebagai kediktatoran relativisme, terkandung bentuk kediktatoran lainnya, yakni kediktatoran subjektif, di mana orang melihat dan merasa bahwa apa yang dirasakan atau diyakini itulah yang paling benar.

Pertanyaan balik Yesus sebagai suatu bentuk pembalikan berpikir, yang membuat orang-orang Farisi dan Ahli-ahli Taurat menyadari kekurangan diri sendiri adalah cara untuk menempatkan secara seimbang hukum dan kebenaran.

Hukum hanya akan menghasilkan keadilan kalau orang mampu berpikir secara benar, terutama dalam hubungan dengan kesadaran hati nuraninya.

Kebenaran berhubungan dengan pelaksanaan yang tepat atas hukum, dan kalau hukum diterapkan secara benar, maka kita akan, sekurang-kurangnya punya alasan untuk berharap bahwa ada keadilan.

Pembalikan moral yang dilakukan oleh Yesus sedapat mungkin menjadi suatu proses perluasan kesadaran diri setiap orang melalui dialog dan perjumpaan yang sehat dengan sesama.

Artinya, orang bersedia mengajar dirinya sendiri setiap saat di dalam keterlibatan konkretnya. Dalam arti ini, orang mencoba untuk menggapai kesadaran yang lebih seimbang akan pelaksanaan hukum dalam hidup bersama.*

*) Welhelmus F. N. Runesi merupakan mahasiswa Fakultas Filsafat Unwira – Kupang, NTT.

Catatan Redaksi: Opini pada kolom ini merupakan pandangan pribadi penulis dan sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis. Opini tidak mewakili pandangan redaksi Bulir.id.