BEJANA TANAH LIAT

0

Fr. Aldo Jebatu

 

CERPEN, Bulir.id – Dulu ketika umurku masih belia, Ayah selalu mengingatkanku untuk mandiri, kuat, sederhana dan sabar. Aku tidak mengerti mengapa ia selalu berpesan demikian. Saat sebelum tidur pun ia selalu mengingatkanku tentang semua itu.

Pernah pada suatu sore ketika aku baru saja menamatkan pendidikanku dibangku SMA, ayah dan aku duduk di baranda rumah yang sudah Mulai rapuh dimakan waktu. Sambil menyeduh kopi pahit buatan ibu ditemani singkong goreng, ayah menceritakan semua pengalamannya semasa remaja dengan begitu semangat. Pengalaman ketika dia pertama kali berjumpah dengan belahan jiwanya “ibu”; ketika aku masih bayi dan banyak lagi. Inilah rutinitasnya sepulang dari kebun, menceritakan pengalaman menarik yang pernah dihidupinya. Ayah memang pencerita hebat, humoris, dan bijak.

Yah, aku mau masuk seminari. Kataku memotong cerita ayah. Ayah terkejut mendengar suaraku memotong ceritanya.

Apa maksudmu nak? Jawabnnya dengan senyum terbaiknya.

Aku mau masuk seminari ayah, balasku dengan polos.

Jadilah anak yang mandiri, sederhana dan sabar nak, balas ayah lagi.

Maksudnya? Jawabku bingung, karena sejak kecil ayah selalu berkata demikian.

Ayah tersenyum, menatapku dalam. Waktu dan pengalaman akan menjawabnya nak, jawab ayah sambil mengangkat cangkir kopinya yang mulai mendingin.

…….

Hari mulai sore. Para frater dan beberapa pater termasuk aku berjalan santai sambil berdoa rosario. Aku baru saja dithabiskan menjadi imam beberapa minggu lalu. Saat doaku belum selesai …. tiba-tiba pemimpin biara menyapaku dengan sapaan khasnya.

Father komusta ka na? Masaya po jawabku sambil tersenyum lebar.

Father may accompany one confrer going to Indonesia? Sure. Jawabku. Sebagai seorang imam yang bisa dikatakan masih segar, semangatku mewartkan injil sangat tinggi. Bahkan ke Nusantara saja aku tidak takut.

Hari itu tepatnya di bulan Agustus, aku berangkat ke negeri sebelah dengan seorang imam yang sudah berpengalaman ke tanah misi. Penjalanan begitu menyenangkan. Tidak ada kendala apapun kecuali saat kami tiba di Indonesia, karena kami belum bisa berbicara bahasa Indonesia. Tapi aku selalu dikuatkan oleh teman imamku yang sudah berpengalaman bermisi.

Di sebuah sore, ketika kami masih duduk di halaman rumah kontrakan, teman imam yang datang ke Indonesia dengan saya, berkata bahwa dia akan pulang, tetapi dia akan kembali setelah sebulan. Aku menjawabnya dengan santai. Tanpa beban. Dia hanya memberikan beberapa lembar uang untuk kebutuhanku selama sebulan, membelikanku perabot rumah dan kebutuhan mandiku dan juga periuk tanah yang sudah ada di dapur rumah yang kami kontraki itu.

Matahari mulai muncul, aku mengantar pater tersebut ke bandara. Dalam penjalanan terngiang jelas perkataan ayah di telingaku, nak jadilah orang yang mandiri, sederhana dan sabar.

Aku mengantar pater tersebut tanpa beban, tidak juga sedih, tidak juga senang, hanya dengan perasaan datar. Setelah mengantarnya aku kembali ke rumah kontrakkan itu sendirian.

Aku terdiam, menatap bingung tembok rumah yang sunyi. Sendirian tak ada orang yang bisa diajak bicara bahkan Tuhan serasa tidak ada. Mungkin saja dia juga diam menatap tembok rumah itu dan aku. Dalam kesunyian dan kesendirian diri terasa bumi tidak lagi bergerak. Jam dinding pun berhenti berputar.

Tiba-tiba; tercium aroma hangus dari dalam dapur. ternyata, periuk tanah membangunkanku dari lamunan kesunyian rumah.

Mentari mulai beranjak kembali ketempat pembaringannya, aku masih seorang diri. Tidak ada teman juga sahabat. Aku sendiri. Jarum jam didinding terus melakukan kegiatannya, aku masih saja sendiri setelah sebulan ditinggalkan oleh teman imamku. Aku mulai bertanya-tanya kapan dia kembali. Tiap hari aku menunggunya di teras rumah.

Ternyata ia sengaja membiarkanku sendirian. Ia tidak kembali lagi.

Uang yang ditinggalkannya sudah mulai menipis, persediaan makananku mulai berkurang. Aku tidak bisa meminta bantuan karena aku belum bisa berbicara bahasa Indonesia. Aku hidup seadanya dengan menghemat pengeluaranku. Rumah kontrakkan itu tetap teguh berdiri, periuk tanah yang terletak di dapur juga masih setia menemaniku. Periuk tanah yang terus memberikan nasi walaupun tanpa lauk.

Ah….apakah ini maksud perkataan ayah bahwa waktu dan pengalaman akan menjawabnya.

Setelah beberapa bulan ditinggalkan sendirian, pemimpin biara mengirimiku uang dan aku membeli rumah baru untuk dijadikan komunitas baru biara kami, menerima pria-pria polos dan lugu yang mau menemani hari-hariku. Kini komunitas itu telak beumur dua puluh tahun, dan sudah banyak imam yang dihasilkannya. Setelah beberapa tahun bertugas di Indonesia, pemimpin memanggilku pulang. Sekarang setiap kali melihat imam -imam Indonesia aku selalu teringat akan periuk tanah yang setia memberikan aku nasi. Periuk tanah yang mengingatkanku akan pesan ayah untuk menjadi orang yang mandiri, sederhana dan sabar.*


Fr. Aldo Jebatu merupakan salah satu calon imam Rogationis Indonesia. Alumnus IFTK Ledalero itu sedang menjalani studi Teologi di sebuah Universitas di Manila, Filipina.