Bulir.id – Namanya Rosalina tapi sering aku sapa dengan sebutan Lina. Ia adalah sosok gadis yang menghiasi indahnya hari di kalah liburan pertamaku setelah menginjakan kaki di bangku seminari. Dia adalah teman kelasku dulu namun kini telah menjadi pujaan hati, sejak tanggal 7 Mei silam.
Mulai saat itu, kembang percintaan kami tumbuh. Aku mengutarakan perasaanku padanya melalui sebuah benda kecil yang bertulisan Samsung. Tepatnya di malam Jumad. Malam yang pekat serta dingin yang terus membunuh kulitku.
Jalinan cinta kami sebetulnya sudah membubuhkan perasaan bahagia di hatiku dan hatinya. Namun entah mengapa? Semakin lama kami menjalani hubungan, ada rasa gundah yang mulai menghampiriku. Sepertinya secara diam-diam terselip duri yang menusuk dan terus menggerogot batinku.
Akankah aku meneruskan jalinan kasih bersamanya hingga tubuh kami menjadi rentah? Bagaimana jika kedua orangtuaku tahu bahwa aku berhubungan sedang menjalin relasi dengan seroang wanita? Apakah mereka akan merasa biasa-biasa saja? Apakah pantas seorang yang berjubah putih, berhati cabang dengan yang lain? Perasaan bersalah itu terus mengusik suara hatiku. Namun semuanya kukunci rapat-rapat. Dan berjalan seolah baik baik saja.
Aku mencoba melalui hari-hariku bersamanya meskipun perasaan bahagiaku perlahan-lahan sirna dalam hatiku. Sungguh aku tidak mengerti mengapa hal itu bisa terjadi. Ketika aku melihatnya bahagia disisiku, justu aku merasa begitu berdosa dan hatiku terasa semakin sakit. Ya sakit karena kebahagiaan yang ia terima merupakan janji-janji manis yang tidak akan aku tepati kelak. Sedangkan jauh di lubuk hati, aku lebih mencintai benih panggilan yang sudah diberikan oleh sang pemberi hidup.
Lantas mengapa aku menyatakan perasaan suka padanya jikalau hal itu tidak membuatku bahagia? Mengapa sampai sekarang aku masih bertahan? Mengapa dan mengapa. Bisikkan kata hatiku yang selalu menghampiriku disaat aku bermeditasi. Aku tidak tahu sampai kapan aku akan terus berbohong pada diriya, pada diriku bahkan pada Tuhan sendiri. Semuanya hanya tunggu waktu.
****
Saat itu, hari minggu, hari Tuhan. Hari yang tak bisa ku bayangkan sebuah kisah indah datang menghampiri relung hatiku akan berhenti pada waktunya. Hari yang ditetapkan semesta untuk kami berdua melangsungkan pemenuhan janji yang akan kami sepakat bersama.
“Vian Hari ini kita jadi pergi?” Tanya-nya dikala mentari mulai menembusi awan pagi yang masih malu malu.
“ya jadi dong masa gak” balasku dengan cepat dalam kolom pesan handphone milikku.
“ia aku tunggu,” balasnya balik
Tanpa berpikir panjang aku langsung meraih sebuah kunci motor di atas meja belajarku. Saat itu kami bersepakat mengunjungi tempat kesukaannya. Tempat itu adalah Pantai. Ya pantai. Sebuah tempat yang ia inginkan karena disanalah ia menyaksikan hilangnya mentari di bawah kaki laut.
Di tempat itu juga kami selalu berbagi cinta, curhatan dan juga kisah serta lika liku hidup kami masing masing. Namun ada satu hal yang tidak aku tuturkan di tempat itu yakni kebahagiaanku yang mulai sirna dengan dirinya.
Aku menyaksikan ia begitu asyik memungut lempengan-lempengan kulit siput yang berserakan di pesisir pantai tersebut
“Lina mengapa kamu begitu suka dengan sunset, tanyaku padanya seketika.
“Hehehe pertanyaan yang konyol, ya karena sunset indah”. Jawabnya sembari meledek
“Ow gitu tapi seindah indahnya sunset, ia tetap tidak bertahan lama kan?” Jawabku membenarkn diri.
“Gak apa, paling tidak ia sudah pernah ada, sudah pernah datang dan sudah memberikan yang terbaik dari cahayanya.” jelasnya
meskipun terbaik tetapi akan pergi juga kan? Tanyaku lagi
Ya gak apa pergi yang penting pernah membekas di hati. Sambungnya
****
Aku sampai di rumahnya tepat waktu. Saat matahari sampai di atas ubun-ubun ketika aku mendaratkan kaki di depan perlantaran rumahnya. Rumahnya begitu indah. Dinding ber-cat pink terang. Keramik putih bersinar terkena sapuhan matahari. Aku menyampaikan pesan singkat melalui hand phone yang terselip di saku sweather hitam milikku. Sembari mengatakan bahwa aku telah sampai di tempatnya. Lima menit lewat aku menunggu, namun ia belum menunjukkan batang hidungnya.
Ternyata benar hal yang membosankan di dunia ini adalah menunggu. Usikku dalam hati. Pikirku mungkin ia masih sibuk berdandan di depan cermin sehingga ia lupa waktu yang kami tentukan bersama. Atau barangkali bedak viva serta lipstick yang ia pakai belum mencapai titik klimaksnya. Perempuan memang kadang begitu. Kalau soal dandan pasti akan berlarut-larut. Aku memilih untuk bersabar sambil mengutak-atik hand phone di tanganku. Tak lama ia membuka pintu lalu menuju ke arahku.
Maff yah, aku telat. Sapanya dengan nada gurau melihatku yang telah lama menunggu.
Tidak apa kok santai saja. Ayo, kita jalan! Ajakku.
Aku memperhatikannya dengan teliti. Lalu tersenyum kecil. Ah, ternyata aku salah. Bedak viva serta lipstick tidak sama sekali mengotori cantik wajahnya serta seksi bibirya. Rambutnya terurai rapi. Giginya berjarak. Lebih cantik ketiak ia mengenakan baju putih seperti yang ku kenakan meskipun tertutup rapat oleh switer hitam kesukaanku. Sebuah tas bere miliknya pun dibawahnya. Tanpa berlama-lama, kami langsung beranjak dari tempat itu.
Aku tahu bahwa jarak dari rumanya ke tempat tujuan cukup jauh. Namun aku merasa waktu akan berputar lebih cepat menghantar kami ke sana. Dan di sana kami habiskan canda gurau serta cerita-cerita lucu bersama. Lebih elegen ketika aku dan dirinya duduk agak rapat lalu tenggelam dalam pelukan. Semuanya akan terjadi begitu saja di atas sebuah kereta kuda. Aku sendiri tak bisa melukiskan dengan kata-kata apa yang kami lewati saat itu nanti. Barangkali bagaikan film Dilan tahun sembilanpuluan. Semuanya itu sangat indah, lebih menarik untuk diingat kembali.
Ah sudah dekat, gumamku seketika. Indanya pantai mulai terlihat dari kejauhan. Gemuruh ombak yang menambrak karang mulai terdengar. Suara anak kecil, orangtua serta anak-anak muda yang sedang asyik menikmati indahnya pantai dikalah itu pun tidak bisa di pungkiri lagi. Maklum, karena itu adalah hari minggu, hari libur. Hari untuk melepaskan diri dari pelbagai rutinitas harian yang kadang lelah dan membosankan.
Aku memarkir motor cepat-cepat. Dan berjalan menyusuri pasir putih sambil memegang tangannya. Sesekali ia memungut kulit siput lalu menyimpan di saku baju. Aku hanya memperhatikannya tanpa bertanya untuk apa. Dia sangat menikmati dan begitu bahagia dengan momem itu. Sesekali ia tertawa lepas. Senyuman manis yang keluar dari bibirnya seperti pelangi sehabis hujan. Indah menghiasi semesta.
Namun pada saat yang bersamaan hatiku semakin tersakiti. Aku mulai merasa bersalah padanya juga pada sang pemberi hidup. Ya, aku bagaikan seorang musafir yang menebarkan janji manis namun tidak ditepati kelak. Juga bagaikan seorang politikus yang memberikan harapan indah saat kampanye namun sulit untuk ditepati.
Oleh karena itu, ini saat yang tepat aku harus berkata jujur padanya lalu bersamanya akan mengambil keputusan walau sulit. Itu komitmenku. Saya tahu ini semua, demi menjaga hatiku dan hatinya agar tidak terlanjur sakit satu waktu nanti. Ini semua demi masa depan diriku dan dirinya.
Lin…boleh aku bilang sesuatu? Tanyaku
Ya silahkan. Jawabnya
Tapi kamu tidak boleh marah ya? Tegasku
Mau bilang kalau kamu udah gak bahagia lagi dengan hubungan kita? Gak papa kok santai aja. Sambarnya
Aku terkejut karena Lin sudah lebih awal mengetahui isi hatiku
Kok kamu tahu ya? Jawabku heran.
Ya sih, dari rautmu kok. Jawabnya sambil meledekku
Aku hanya mengangguk dengan ucapannya. Lin, maaf ya sepertinya aku tidak bisa melanjutkan hubungan ini. Ya, aku bahagia tetapi kadang aku merasa sakit Lin. Sakit karena aku tahu bahwa janjiku padamu tidak akan ku tepati kelak. Dan aku tak ingin membuat hatimu berantakan satu waktu nanti karena janji yang membual dari mulutku. Jelasku panjang lebar.
Yah benar Vian, aku sadar ko. Aku juga merasakan bahwa hubungan kita tak harus tak terjadi. Dan jika engkau ditabiskan menjadi seorang imam nanti, bagaimana dan siapa yang akan merawat hatiku?
Hubungan kita ini memang seperti sunset, sering kita lihat setiap sore tetapi tidak selamanya bertahan. Jawabnya sembari menujuk arah terbenamnya matahari.
Maaf ya, jika aku harus jujur sekarang aku tidak tahu mau bagaimana lagi tuk menjelaskannya. Jelasku.
Baik la kalau begitu, aku tidak mungkin terus bersamamu, aku bahagia tapi, jika engkau tidak bahagia ya sama saja omong kosong. Memang cinta itu bukan soal kata-kata indah tetapi soal rasa dan keyamanan Vian. Jawabnya pelan sambil menghapus genangan air mata yang tertahan di pelupuk matanya.
Sejak awal aku sadar bahwa sebetulnya kita tidak boleh terlarut dalam perasaan masing-masing, sebab konsekwensinya kita akan saling melukai perkataan kita nanti. Sambungnya lagi.
Di pantai yang berpasir putih itu, hubungan kami berakir. Aku menatapnya dengan penuh hati setengah hancur. Namun aku harus jujur dan tidak boleh berlarut-larut dalam kebohongan ini. Aku harus keluar dari zona kebohongan yang selalu kumainkan selama ini. Aku tahu jika dulu kami tidak memulai hubungan yang ini tentunya aku tidak akan melihat air matanya jatuh.
Sejak saat itu aku merasa diriku adalah sosok yang paling bodoh. Menyakiti orang yang ku sayang. Lina, mungkin bagimu aku adalah sosok yang jahat, tak berbudi dan suka menyakiti perasaan perempuan atau segala macamnya. Aku tidak tahu lagi harus mengatakan seperti apa padamu.
Namun, aku tidak mau menjadikan dirimu sebagai sebuah dermaga tempatku berlabu dan akan pergi setelah mendapatkan semuanya. Aku tahu itu hanya membuatmu semakin sakit kelak pada waktu yang tak disangka-sangka. Aku hanya ingin menjadikanmu seperti seperti seorang bayi yang berhak untuk mendapatkan cinta dan ciuman serta kebahagian dari orang tuanya. Aku akan merasa lebih bersalah jika aku terus menebarkan janji-janji palsu yang jelasnya tak bisa ku tepati kelak. Begitu Lia. Kuharap kamu mengerti maksud hatiku.
***
Sejak saat itu, relasi antara aku dengan dia tidak seindah yang dulu. Tidak ada lagi ucapan, saya rindu kamu, atau sayang I love you. Tidak. Semuanya terasa tawar dan hambar. Kami masih sering memberi kabar tetapi aroma cinta tak ada lagi di sana. Barangkali ia sedang merawat hatinya yang berantakan dan berusaha memulai hidup dari awal. Aku juga akan menghabiskan sisa hidupku untuk fokus pada apa yang aku inginkan.
Setelah beberapa minggu menghabiskan waktu di kampung tanah kelahiranku kini tibalah waktu aku menjawab sapaan yang siang malam memanggilku. Berat sekali rasanya ketika harus berpisah dengan orangtua dan orang orang yang kusayangi.
Tetapi aku harus berani melepaskan semua kenyamnan sebab inilah satu-satunya jalan kupilih. Tanpa berpikir panjang aku langsung menaiki salah satu kapal yang mengantar kami ke seberang. Beberapa saat dalam perjalanan atau tepatnya berada di tengah laut, aku disodorkan oleh seorang awak kapal sebuah kotak kecil yang tidak tau dari mana asalnya.
”ini apa pak? Tanyaku keheranan
“tidak tahu de, bapak hanya disuruh mengantar ini oleh seseorang yang tadi di dermaga dan katanya ini untuk kamu. Jawab bapak yang usianya sedikit lebih tua dari ayahku. Terimakasi yah om. Jawabku singkat.
Dengan hati penuh tanya, aku memilih untuk duduk agak ke sudut kapal. Lalu pelan-pelan membuka isi kotak itu. Di dalamnya aku temukan sebuah kalung kecil yang terbuat dari kulit siput. Indah sekali. Aku tahu betul dari mana asalnya kulit siput itu. Ya, itulah kulit siput yang pernah Lia pungut saat kami menghabis senja bersama di pantai itu. Di bagian bawah kotak itu terdapat sebuah kertas kecil berwarna pink yang dilipat dengan sangat bagus. Pelan-pelan aku membaca surat itu namun dengan sangat hati-hati.
Untukmu, fraterku
Jarak dan waktu telah membuat kita sampai pada titik ini
Tak terasa alunan langkahmu
Menepih jauh dari anganku
Jauh dan kian menjauh
Serangakian kisah indah kini hanya tinggal kenangan
Jujur, awalnya aku pernah berpikir untuk mengatakan tidak
Karena bagiku, kau adalah lelaki yang sudah mencuri hatiku
Kau adalah lelaki yang sudah siang malam ada di otakku
Bahkan membuat hidupku bersemangat dari ke waktu ke waktu
Namun perlahan-lahan aku mengerti
Bahwa hatimu tidak boleh bercabang
Sebab cintamu milik semua orang
Bahwa rusukmu bukan untuku
Jujur, aku bahagia meskipun tidak lama bersamamu
Tapi itu sudah cukup untuk mengenal siapa dirimu
Bagiku engkau adalah pria yang layak kupanggil kekasih
Namun ternyata aku salah
Engkau adalah lelaki milik Tuhan
Namun, Injinkan aku untuk katakana sesuatu dalam surat ini
Vian, tetaplah bahagia dengan jalan panggilanmu
Jangan pernah kau nodai bening matamu
Cukup aku, jangan dia atau yang lain, apalagi Tuhan
Please Vian
Kalung kecil itu
Mungkin tidak seindah kalung di toko
Tapi anggap saja aku yang kau gantung dipundakmu
Disimpan ya, awas jangan sampai hilang
Vian, fraterku, cintaku dan gantengku
peluklah kenangan indah yang kita jalani selama ini
sebut aku dalam doamu
Ingat aku di meja altarmu
Terimakasih fraterku tuk semua waktu dan perhatianmu
Berjanjilah padaku untuk menjadi seorang iman
Imam yang berwajah manusai dan Tuhan
Jika suatu saat nanti engkau terpilih
Jangan lupa kasih kabar
Agar aku boleh duduk dibangku pertama
Menatapmu sambil tersenyum bahagia
Karena kekasih telah di pilih Tuhan.
28 juli
Rosalina
Aku menutup surat itu dengan perasaan campur. Haru dan sedih. Haru karena aku tak menyangka ia bisa menerima keputusan beratku itu. Sedih karena ia harus berjuang memperbaiki hatinya sendirian. Sejenak aku berbisik pada langit “Tuhan jaga Dia”. Lalu kulipat surat itu lalu duduk sambil memperhatikan belahan ombak di belakang kapal.
Kapal yang kutumpangi sudah tiba di dermaga. Kini saatnya meninggalkan dermaga lalu menyusuri jejak-jejak misteri jalan hidupku.*
*Penulis: Oktavianus Sodiama Werang merupakan pria kelahiran Bubuatagama, Flores Timur. Sekarang penulis sedang menimba oase kebijaksanaan di rumah pembinaan Biara Rogationist Hati Yesus, Maumere-Flores-NTT.