Wina, Bulir.ID – Duta Besar/Wakil Tetap RI untuk Austria, Slovenia dan PBB, Darmansjah Djumala, mengatakan, diplomat perlu memberikan penjelasan secara utuh tentang kerja diplomasi kepada masyarakat. Hal ini penting agar masyarakat mengetahui kerja-kerja para perwakilan pemerintah Indonesia di luar negeri.
“Selama ini ada mispersepsi di kalangan masyarakat bahwa kerja diplomat itu elitis dan berjarak dengan rakyat. Diplomasi Membumi adalah kebijakan luar negeri yang memberi manfaat dan berdampak langsung bagi masyarakat,” kata Darmansjah Djumala selaku Duta Besar/Wakil Tetap RI untuk Austria, Slovenia dan PBB di Wina pada acara virtual Bincang Buku “Diplomasi Membumi, Narasi Cita Diplomat Indonesia, Selasa,(3/8/2021)
Acara yang diselenggarakan oleh Penerbit Buku Kompas dan melalui platform Zoom juga menampilkan pembahas buku, yaitu Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah, Azyumardi Azra, Arry Bainus selaku Guru Besar Bidang Studi Keamanan, HI FISIP Unpad dan Mh. Samsul Hadi selaku Editor Desk Internasional Kompas
Lebih lanjut Dubes Djumala menjelaskan, buku ini berusaha menjawab kegalauan dan rasa berdosa diplomat praktisi seperti dirinya yang selama 37 tahun menjadi diplomat, kerja diplomasi dianggap cuma elitis, tidak memberi manfaat langsung bagi rakyat.
Buku ini dalam beberapa bagiannya ingin menunjukkan kerja diplomasi yang membumi, tidak berjarak dengan rakyat, dan memberi manfaat konkrit bagi rakyat.
Dalam masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo dan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, diplomasi membumi telah menjadi iconic feature diplomasi Indonesia.
Acara yang menghadirkan sekitar 170 peserta dari berbagai kota di Indonesia dan juga peserta internasional, dibuka oleh Tri Agung Kristanto, Wakil Pemimpin Redaksi Harian Kompas.
Ia mengungkapkan, di balik suatu kejadian global terdapat peran diplomasi yang manfaatnya dirasakan oleh masyarakat, seperti dalam hal upaya Pemerintah dalam menyediakan vaksin Covid-19 sebagai salah satu contoh diplomasi yang membumi.
“Penulis merupakan kontributor aktif di berbagai media massa termasuk harian Kompas dan memiliki kemampuan untuk menulis artikel dengan ‘bersih dan menarik’. Buku ini merupakan kumpulan opini Dubes Djumala di berbagai media dan telah di-endorse oleh Presiden Joko Widodo dan Menlu Retno. Buku ini dapat menjadi referensi bagi generasi penerus, diplomat muda, dan siapa pun yang ingin menjadi diplomat” lanjut Tri Agung.
Dalam paparannya, Djumala menerangkan proses bagaimana buku tersebut sampai bisa terbit. Mulanya dipicu oleh ‘provokasi’ rekan akademisi dan media, yang mendorong dirinya untuk mengumpulkan tulisannya di berbagai media yang ‘tercecer’ selama ini.
Situasi Covid-19, yang membuat waktu lebih banyak kerja dari rumah (work from home) juga memberi kesempatan untuk mengumpulkan dan mengkompilasinya dalam sebuah buku.
Dijelaskan pula bahwa buku tersebut berisi pemikiran, asa dan cita dalam bentuk tulisan di berbagai media dan dimaksudkan untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman penulis di bidang diplomasi kepada publik.
Diharapkan juga niat berbagi pengetahuan dan pengalaman itu bisa membangun sinergi antara diplomat praktisi dan akademisi untuk pengembangan ilmu, khususnya Hubungan Internasional.
Buku terdiri dari 8 bagian, 112 artikel, dan 518 halaman karya tulis dengan rentang waktu 40 tahun sejak masa mahasiswa, berkarir di Kementerian Luar Negeri, hingga menjadi Duta Besar untuk Polandia dan kini Duta Besar untuk Austria, Slovenia, dan PBB.
Djumala menggarisbawahi, dalam tataran implementasi tidak perlu ada dikotomi antara diplomasi bilateral dan multilateral. Hasil diplomasi bilateral memang lebih konkrit, mudah dilihat, seperti, Trade, Tourism, and Investment (TTI) dan perlindungan WNI.
“Namun demikian, diplomasi multilateral pun, yang lebih bersifat policy dialogue, norm setting dan rule making, bisa juga “dibumikan”.Sebab, di lembaga multilateral terdapat program capacity bulding, kerja sama teknik dan pembangunan, seperti IAEA di Wina, FAO di Roma, UNEP di Nairobi dan UNDP di New York. Program bantuan tersebut dapat dimanfaatkan bagi kepentingan Indonesia,” kata Dubes Djumala.
Dalam pembahasannya, Azyumardi Azra mengatakan buku ini telah memperkaya pengetahuan mengenai diplomasi RI tidak saja bagi pembaca umum, tetapi juga bagi mahasiswa FISIP, hubungan internasional, dan mereka yang ingin mengetahui mengenai pekerjaan diplomat.
“Kekuatan buku ini adalah cakupan waktu yang panjang dan memperlihatkan kontinuitas dalam diplomasi Indonesia, termasuk isitilah ‘diplomasi membumi’. Istilah diplomasi membumi ini merupakan hal yang relatif baru, karena sejak era pasca reformasi Kemlu sendiri telah dan tengah mengalami perubahan. Diplomat kini lebih dekat dengan masyarakat Indonesia di luar negeri dan lebih membumi. Kalau saya adalah seorang dosen FISIP, saya akan mewajibkan buku ini untuk dibaca” tegas Azyumardi.
Sebagai pembahas buku, Arry Bainus menyoroti bahwa diplomasi telah mengalami perubahan dengan kemajuan teknologi informasi yang menuntut kecepatan dalam pembuatan keputusan.
“Mau tidak mau, diplomat harus dapat membumikan isu-isu global kepada masyarakat nasional dan sebaliknya membawa isu-isu nasional agar disampaikan ke masyarakat global. Itu adalah tantangan kemajuan teknologi. Diplomasi elitis telah mengalami pergeseran dan transformasi menjadi diplomasi kontemporer yang bersifat inklusif, tidak saja mencakup high politics pada tataran elit tetapi juga low politics di tataran masyarakat. Penulis adalah seorang diplomat karir yang komplit, dengan pengetahuan akademis dibidang ekonomi, hubungan internasional, dan ilmu pemerintahan, serta didukung pengalaman karir yang luas dalam melihat berbagai isu baik lokal, nasional, maupun global. Dengan latar belakang tersebut memberi penulis perspektif yang komprehensif, terutama dalam menganalisa berbagai isu. Beliau berfikir out of the box dan perspektifnya inter-disipliner. Itu hal yang baik dalam pengembangan ilmu, karena tidak ada masalah yang dapat dipecahkan dengan satu cabang keilmuan saja.“ tutur Prof. Arry.
Mh. Samsul Hadi, menyampaikan apresiasi atas penerbitan buku ini. Buku ini wajib dibaca tidak saja bagi jurnalis isu internasional tetapi juga bagi kalangan diplomat muda untuk belajar bagaimana mengkomunikasikan kebijakan luar negeri yang dapat memberi manfaat secara langsung kepada rakyat. Diplomasi esensinya harus membumi, tetapi di era Presiden Jokowi ini menjadi titik tekan.
“Bangkitnya populisme dan kelompok kanan di era Donald Trump sebagai Presiden AS dan keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Brexit), membentuk pandangan bahwa pemerintah hanya dikuasai para elit dan kebijakannya tidak banyak bermanfaat bagi rakyat. Diplomasi membumi hadir menjawab perubahan zaman tersebut” papar Samsul Hadi.
Pada sesi tanya jawab,Darmansjah dan para narasumber berdiskusi membahas isu-isu yang diangkat oleh peserta. Beberapa hal yang mengemuka dalam pembahasan antara lain mengenai peran Menlu RI dan kepemimpinan Indonesia di forum multilateral khusunya WHO dalam kerja sama COVAX yang menguntungkan Indonesia dalam mendapatkan vaksin sebagai salah satu contoh diplomasi membumi.
Selain itu dibahas juga mengenai pentingnya mempertahankan nilai-nilai fleksibilitas kebijakan luar negeri yang dirumuskan oleh para founding fathers yang diselaraskan dengan perkembangan dunia kontemporer. Peserta bincang buku juga menyinggung pentingnya menjaga keseimbangan dalam politik global.
Sebab, apabila AS terus menarik diri dari diplomasi multilateral, itu hanya justru akan membuka “empty space“ bagi China untuk ber-maneuver dalam arena persaingan politik global.*