Oleh: Venand Samudin
Matahari condong ke barat ketika aku menginjakkan kaki di pantai. Seperti biasa aku selalu sengaja datang pada saat sore hari, agar tidak melewatkan panorama indah kala matahari merunduk bergegas kembali ke peraduannya di ujung langit sebelah barat. Kususuri pantai berpasir putih itu seorang diri sembari menerawang jauh, memandang cakrawala yang tampak memayungi semesta. Sesekali bunyi ombak yang memecah di bibir pantai menyadarkanku dari lamunan.
Sembari berjalan dengan langkah yang begitu pelan, mataku tak jemu menyaksikan dedaunan kelapa yang menari-nari tertiup angin senja. Sementara itu semesta melantunkan kidungnya yang merdu oleh sekawanan burung yang tengah terbang melintasi awan yang perlahan mulai gelap itu. Sejenak aku berpikir, “cinta itu ibarat angin, hanya bisa dirasakan tapi tidak dapat dilihat. Angin dan cinta sama-sama tidak berwujud, namun keduanya sama-sama mampu memberikan rasa entah kepada siapa”. Ku biarkan kaki melangkah kemana suka, hingga tanpa kusadari ternyata aku telah berjalan cukup jauh. Ahhhh sebentar lagi malam akan tiba, segera saja kuayunkan langkah hendak kembali ke tempat semula.
Saat aku berpaling, kudapati seorang gadis tengah duduk santai pada sebatang kayu yang terletak di pesisir pantai. Sejenak ku perhatikan gadis itu, tampaknya ia tengah memikirkan sesuatu. Dipandanginya laut yang perkasa dengan tatapan kosong. Sesekali ia mengambil pasir di bawah kakinya lalu melemparkannya ke laut. Sementara itu hari sudah mulai gelap, matahari dengan perlahan namun pasti mulai beranjak meninggalkan semesta. Air laut yang tadinya berwarna biru kini berubah kemerah-merahan. Kupandang gadis itu kembali, rupanya ia gemar menyendiri. Sejenak terlintas dalam pikiranku, aku harus menemui gadis itu. Tidak baik seorang gadis berlama-lama seorang diri apalagi sampai jam begini. Aku kembali mengingat sebuah berita yang pernah kubaca dua hari lalu. Seorang gadis remaja kuliahan ditemukan tergeletak tak bernyawa oleh para nelayan di daerah seberang. Mayat sang gadis tergeletak begitu saja di pesisir pantai dengan pakaiannya yang tersobek-sobek. Sampai saat ini penyebab kematiannya belum diketahui secara pasti. Namun demikian, banyak orang berasumsi bahwa gadis itu adalah korban kasus pemerkosaan, kemungkinan besar setelah diperkosa ia langsung dibunuh. Mengingat berita nas itu lantas kuberanikan diri untuk menemui sang gadis. Sementara aku berjalan ke arahnya, aku tetap memperhatikannya. Pandangannya tidak berubah dari tadi, ia terus memandangi laut yang kini kemerah-merahan itu.
“Hai, selamat sore” sapaku. Ia tak menoleh.
“Hai, selamat sore” sembari melambaikan tangan di depan matanya. Sontak ia kaget dan memandangku.
“Selamat sore” aku kembali menyapanya.
“Selamat sore juga” akhirnya ia membuka suara. Wajahnya terlihat bingung, barangkali bingung dengan kehadiranku.
“Nona dengan siapa ke sini? Lihat hari telah mulai gelap. Tidaklah baik untuk seorang gadis sepertimu berada sendirian di tempat seperti ini” imbuhku padanya.
“Aku kesini sendirian, lagian kamu itu siapa, main nasihat-nasihat orang segala” ketus sang gadis. Betapa hebatnya perasaan malu menyerang diriku saat itu, dan aku pun menyesal telah menghampirinya. Gadis itu berambut panjang dan berwajah cantik, tapi sayang ucapannya tidak secantik parasnya. Ku lihat dia beranjak dan melangkah ke tempat parkir. Ia melangkah dengan membawa serta sedikit kekesalan di dalam hatinya. Sepeninggalan sang gadis, aku pun bersumpah untuk takan pernah menunjukkan sikap peduli lagi kepada siapa yang tidak aku kenal. Aku juga berharap agar tidak dipertemukan lagi dengan gadis jutek itu. Tapi diluar dugaanku ternyata kami masih sering bertemu, entah di pantai maupun di tempat-tempat lain. Hingga tiba pada suatu waktu aku berkenalan dengannya, ternyata namanya Dewy.
Saat itu kuceritakan kembali sepenggal kisah yang kami alami beberapa waktu yang telah lalu di pantai. Ternyata sikap ketusnya saat itu beralasan, ia sedang mengalami persoalan besar dalam hidupnya. Dan hari terus berganti hubungan ku dengan Dewy pun semakin dekat saja. Tanpa kusadari aku mulai jatuh cinta kepadanya. Suatu hari aku utarakan perasaan yang membuncah yang selalu menyiksaku alami kala berada di sampingnya. Di luar dugaanku ternyata Dewy juga memiliki perasaan yang sama. Sejak saat itulah hubunganku dengan Dewy menjadi sangat dekat, kami berdua telah menjadi sepasang kekasih. Hubungan kami terus berlanjut dan berlangsung cukup lama yakni empat tahun. Namun menginjaki tahun kelima, hubunganku dengan Dewy terpaksa berakhir. Aku ditinggalnya pergi tanpa sedikit informasi.
#######################
Dahulu aku berpikir bahwa engkau adalah satu-satunya orang di dunia ini yang senantiasa mencintaiku sampai pada kesudahan. Engkau orang yang tak jemu menyayangiku dalam untung dan malang, bahkan hingga kelak kita kembali ke pangkuan sang ADA, yakni Dia yang memungkinkan adaku untuk mengada bersama adamu.
Dahulu aku juga pernah berpikir, hanya dirimulah yang akan kucintai sampai mati. Aku akan mencintaimu dengan segala caraku, dengan segala kemampuanku, bahkan mencintaimu hingga aku lupa tuk mencintai diriku sendiri. Semuanya terasa lebih indah, semenjak engkau masuk ke dalam kehidupanku. Sejak itu aku lebih mudah dan sedikit lebih berani untuk menghadapi pilunya kehidupan ini.
Sebelum kedatanganmu, aku acapkali berpikir untuk mengakhiri hidupku dengan sebuah cara yang lagi marak terjadi dalam kehidupan kalangan remaja saat itu, aku hendak membunuh diriku sendiri. Semuaitu terjadi karena ragaku sudah tak kuat lagi menahan dan jiwaku sudah kehabisan ruangnya tuk menampung segala rasa sakit dan kepedihan yang disajikan dunia ini kepadaku. Sungguh, aku tak ingin lagi mendiami bumi ini. Aku tampak seperti pengembara yang tersesat di tengah hutan belantara dan tak tahu entah kemana aku harus mencari jalan untuk berpulang, maka mengakhiri hidup barangkali sebuah opsi yang cukup baik. Namun, setelah kehadiranmu dunia berbalik mendukungku, ia bahkan tak pernah memberiku penderitaan lagi. Hadirmu mengembalikan hidupku yang nyaris ku akhiri. Engkau seperti dewi kahyangan yang diutus ke bumi dengan misi hanya untuk membuat aku bahagia. Engkau ditakdirkan untuk diriku semata.
Begitulah semuanya terjadi, empat tahun merajut kisah sebagai sepasang kekasih dan tepat ditahun kelima aku berhasil kehilangan kisah tentang dirimu, untuk selamanya. Karena jarak yang begitu jauh engkau mudah jatuh hati kepada yang lain. Engkau begitu rapuh sebab engkau lebih memilih mencari kehangatan di balik punggung lelaki yang baru, lelaki yang aku yakini tidak begitu mengenalmu seperti aku mengenalmu. Begitu mudahnya bagimu melupakan aku di sini yang dengan segala caraku telah berjuang demi engkau yang jauh di sana, ya demi sebuah masa depan yang pernah kita impikan. Tak pernah sekali pun aku membayangkan hal ini akan menimpa kita, menimpa hubungan kita. Dahulu kita pernah menceritakan sepasang kekasih yang mengalami kisah persis seperti kita kini. Mungkinkah engkau terinspirasi oleh kisah sepasang kekasih itu? Kala itu engkau berpihak kepada sang lelaki lantas mengutuki sungguh kekasihnya. Engkau mengutuki perempuan itu lantaran keputusannya, meninggalkan kekasih yang telah lama berada di dalam kehidupannya demi seorang pemuda brandalan yang kerjaannya hanya menciptakan keresahan dalam tatanan hidup masyarakat. Engkau membenci sungguh setiap orang yang meninggalkan kekasihnya tanpa alasan yang jelas. Namun kini andai kau menyadarinya, sesungguhnya engkau adalah salah satu dari mereka. Engkau kini telah masuk di dalam lingkaran mereka yang dahulu paling kau benci. Jujur saja sesungguhnya aku begitu kecewa, bukan karena engkau pergi dan lebih memilih dia yang kini berdiri di sampingmu ketimbang aku, melainkan oleh karena kepergianmu yang tak beralasan. Bahkan hingga kini, hingga aku menulis kisah inipun, aku masih juga tak mengerti perihal kepergianmu.
Masih ingatkah engkau akan cerita tentang masa depan kita? Waktu itu engkau mengatakan bahwa aku akan menjadi kepala keluarga darirumah tangga yang akan kita bangun bersama. Aku akan menjadi kakek dari cucu-cucumu. Waktu itu kita mungkin terlalu idealis, namun setidaknya kita pernah bermimpi tentang masa depan kita. Kita berpikir bahwa apa yang kita pikirkan adalah kenyataan yang akan kita jalani di masa depan. Namun rupanya semesta berkehendak lain. Aku tidak akan pernah menjadi kepala keluarga dari rumah tanggamu, apalagi kakek dari cucu-cucumu. Engkau akan tetap menjadi ibu rumah tangga, tapi bukan dari keluarga yang aku kepalai. Engkau juga akan tetap menjadi nenek dari cucu-cucumu, sedangkan aku akan menjadi orang asing di mata mereka.
Mengapa setiap kisah yang dirajut di bawah kolong langit ini mesti berujung? Tak bisakah ia menjelma menjadi cerita yang kekal barang sedetik saja, sebagaimana Dia yang memungkinkan kita merajut kisah adalah Dia yang kekal? Bukankah di dalam kedirian kita juga mengalir serpihan-serpihan kekekalan dari Dia sang kekal? Ternyata engkau bukan kabar baik yang dikirim Tuhan untuk mengangkatku dari dalam lembah kesedihan yang telah menenggelamkan hidupku.
***
Penulis adalah mahasiswa semester VII STFK Ledalero Maumere, Flores-NTT.