Oleh: Djanuar Lj
OPINI, Bulir.id – Letupan senapan di ufuk timur Indonesia masih terjadi meski Indonesia sudah merdeka 76 tahun silam. Darah masih saja tertumpah meski tanah Papua dianggap sebagai serpihan surga yang jatuh ke Bumi.
Sebuah ironi, sejatinya surga harus menjadi tempat kedamaian bagi semua manusia Indonesia. Tanpa ada perang dan pertumpahan darah.
Pasca KKB ditetapkan sebagai kelompok teroris oleh pemerintah Indonesia, rentetan kekerasan kian berkepanjang. Teror dan pembunuhan terus terjadi. Tidak hanya tentara dan polisi yang menjadi target utama tetapi sudah meluas pada masyarakat sipil.
Pada 2 September 2021 kita dikejutkan oleh Empat anggota TNI AD gugur akibat serangan kelompok kriminal bersenjata di Distrik Aifat Selatan, Kabupaten Maybrat, Papua Barat. Ini adalah pukulan berat buat TNI karena kehilangan empat prajurit terbaiknya.
Ketidakadilan dan Diskriminasi
Perlawanan kelompok teroris tersebut mesti dilihat secara holistik. Tidak hanya sekedar melabeli mereka sebagai teroris. Ketidakadilan dan diskriminasi menjadi alasan utama perlawanan. Berpuluh tahun mereka dianaktirikan, seolah menjadi penonton di tanah sendiri.
Perlu diperhatikan bahwa pemberontakan bersenjata sering kali terjadi karena dua hal yakni pertentangan ekonomi politik yang bermuara pada tuntutan untuk keadilan yang bermuara pada tuntutan pemisahan diri dari NKRI.
Sedangkan yang kedua adalah kerakusan misalnya untuk memperkaya diri dengan berbagai sumber daya yang ada, terutama sumber daya alam. Meski demikian pada alasan pertamalah yang menjadi motif perlawanan.
Kemiskinan dan kesenjangan yang amat besar antara kelompok kaya dan kelompok miskin di dalam masyarakat mendorong KKB menempuh jalan-jalan kekerasan untuk memperjuangkan nasib hidupnya. Perang pun lalu dilihat sebagai jalan cepat untuk mengubah tata ekonomi politik, sehingga kesejahteraan bisa terwujud.
Tata kelola pemerintah pusat dalam memberikan otonomi khusus atau Otsus belum mampu memperbaiki kesejahteraan masyarakat Papua. Niat baik pemerintah pusat belum mampu diterjemahkan oleh pemerintah daerah sehingga masih terjadi kesenjangan sosial antara kaya dan miskin atau pendatang dan pribumi. Otsus tanpa pengawasan yang ketat hanya akan menciptakan raja-raja kecil.
Ketika negara bersama lembaga-lembaganya, tidak mampu menyediakan keadilan, keamanan dan kemakmuran untuk warganya, maka protes pun akan muncul. Protes yang tak terkelola akan bermuara menjadi konflik dan pemberontakan. Ini yang sedang terjadi di bumi Cendrawasih saat ini.
Pendekatan Humanistik
Tidak ada satu alasan apa pun membenarkan penghilangan nyawa manusia. Penanganan konflik bersenjata di Papua sejatinya diupayakan dengan pendekatan dialog dan negosiasi. Bukan dengan pendekatan militeristik seperti terjadi saat ini.
Pengerahan pasukan TNI ke bumi Cendrawasih hanya akan menambah eskalasi berkepanjangan. Pendekatan semacam ini menjadi tidak produktif dan akan menambah amunisi dalam kampanye internasional dalam upaya perjuangan Papua merdeka. Selanjutnya akan mendesak PBB menurunkan tim investigasi atas dugaan kejahatan kemanusiaan di sana.
Dialog dan negosiasi merupakan sebuah keniscayaan bagi pemerintah Indonesia. Pengalaman penanganan konflik GAM mesti menjadi acuan yang sama dalam penyelesaian konflik dengan KKB. Keduanya sama-sama merupakan gerakan separatis maka pendekatan pun mestinya sama.
Pemerintah mestinya memperlakukan KKB sebagai mitra yang perlu diajak dialog. Tak selayaknya memperlakukan mereka sebagai musuh atau hama yang harus dibasmi. KKB perlu dirangkul lewat pendekatan kemanusiaan dan kultural. Sebab mereka adalah juga saudara yang sama dalam kemanusiaan.*
*Djanuard Lj merupkan alumnus Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala Surabaya. Kini bekerja sebagai penulis tetap di media online Bulir.id. Lj panggilan akrabnya, kini tinggal di Jakarta.