Tabur, BULIR.IDÂ – Tokoh Pemerhati Tenun Indonesia, Drs. Ahwil Luthan mengatakan sebagai konsumen kita harus siap membayar mahal kain tenun yang dihasilkan oleh para pengrajin Indonesia di berbagai daerah.
Menurutnya, kain tenun Nusantara layak diberi harga mahal karena prinsip pembuatannnya yang menggunakan teknik sederhana yakni secara manual bukan menggunakan mesin. Namun sekaligus juga unik dan tidak semua orang dapat melakukannya.
“Pembuatannya bukan menggunakan mesin dan tidak semua orang bisa melakukannya. Pada umumnya, pekerjaan tangan ini, kalau di negara maju, ini betul-betul dihargai dan harganya bisa-bisa sangat tinggi dibandingkan dengan yang menggunakan mesin,” kata Ahwil Luthan dalam seminar bertema “Tenun Kebanggaan Indonesia” pada Selasa (7/9/21).
Menurutnya ini adalah satu prinsip. Sehingga jika harganya agak mahal, sebagai pembeli, seharusnya kita juga siap untuk membeli dengan harga mahal. Hal ini karena membuat satu kain dapat memakan waktu satu hingga dua bulan.
Selebihnya, mengapa tenun Nusantara juga layak dijual dengan harga mahal, terang Ahwil, adalah karena teknik pewarnaan yang dinilainya sangat unik yakni menggunakan warna-warna alami seperti pewarnaan dari daun, buah-buahan serat kayu dan lain-lain.
“Pengrajin kita saat ini juga menghadapi hambatan seperti pengadaan bahan baku yang umumnya dari kapas dan saat ini sulit didapat. Kemudian umumnya hasil tenunan mereka ini menggunakan pewarna alami yakni dari daun, buah-buahan dan lain-lain. Itu juga satu hal yang sulit. Jadi ini betul-betul harus kita hargai,” tegas Ahwil Luthan.
Lebih lanjut, penerima Bintang Mahaputera ini mengungkapkan bahwa tantangan yang dihadapi oleh dunia tenun Indonesia saat ini adalah minimnya minat generasi muda atau kaum milenial. Untuk itu, tambahnya, seluruh stakeholder harus memaksimalkan upaya untuk mendorong generasi muda melirik sektor ini.
Ahwil Luthan bersama Dewan Redaksi Bulir.id, Asri Hadi (kiri) dan Ketua Umum DPP Granat, Henry Yosodiningrat
Salah satunya, beber mantan Duta Besar RI untuk negara Meksiko, merangkap Panama, Honduras dan Costa Rica ini adalah dengan membuka pelatihan dan pendidikan. Memang harus diakui, lanjutnya, minimnya minat generasi milenial untuk menekuni sektor ini disebabkan oleh prosesnya yang lama dan setelah selesai tidak ada yang membeli.
“Karena barang dibuat terus ga ada yang beli ataupun ada yang mau beli, tapi harganya mahal. Jadi mereka tidak bisa makan. Hal-hal inilah yang kita harus dorong, agar seluruh stakeholder memikirkan jalan keluarnya,” pungkasnya.
Lebih jauh, Ahwil Luthan membeberkan pengalamannya saat menjadi Duta Besar di Meksiko agar bisa dijadikan studi banding bagi para pengambil kebijakan dan pemerhati tenun nusantara.
Chiapas, tuturnya, adalah sebuah daerah terbelakang di Meksiko dimana di daerah tersebut memiliki banyak hasil kerajinan tangan mirip di Indonesia. Yang menarik dari daerah ini, tambahnya, adalah marketing dibuat oleh pemerintah setempat untuk memasarkan produk-produk hasil kerajinan tangan para pengrajin di wilayah tersebut. Alhasil, ada peningkatan penghasilan bagi para pengrajin.
“Yang saya terkagum itu adalah semua benda seni yang dihasilkan oleh pemerintah Meksiko dibuatkan satu pasar, mirip pasar Senen. Di situ, semua hasil kerajinan dari berbagai daerah di Meksiko ada di situ dan murah,” tukasnya.*(Rikard Djegadut)