Tabur, BULIR.ID – Serikat Pemuda Nusa Tenggara Timur (NTT) Jakarta menggelar diskusi bertajuk
‘Meneropong Polemik di NTT, Investasi dan Konflik Agraria, Rakyat Bisa Apa?’ pada Kamis
(4/11/2021).
Diskusi yang digelar dalam rangka musyawarah besar (Mubes) pertama SP NTT itu menghadirkan sejumlah pemateri antara lain Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi NTT, Drs. Marsianus Jawa, M.Si., Sekjend Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika, Pengamat Lingkungan, Rully Sumanda S.H dan Peneliti Alpha Research Database, Ferdy Hasiman.
Dalam kesempatan itu, Peneliti Alpha Research Database Ferdy Hasiman merespons pembangunan besar-besaran yang terjadi di Manggrai Barat, NTT saat ini.
Menurut Ferdy, data investasi yang bakal masuk ke Manggarai Barat sebanyak 229 proyek dengan nilai total investasi di atas Rp90 triliun. Ke depan, kata dia, grup lokal dan global makin melirik Labuan Bajo menyusul ditetapkannya wilayah itu sebagai objek pariwisata superpremium.
“Jadi, Presiden Jokowi menetapkan superpremium sebagai sebuah brand yang bisa digunakan kalau Pemda, Pemprov menggunakan brand itu untuk kesejahtaraan rakyat,” kata Ferdy.
Ferdy lantas menyinggung soal pentingnya konektivitas antar daerah di NTT. Sebab, infrastruktur yang baik akan memengaruhi mobilitas manusia.
Mobilitas tinggi, lanjut dia, akan memengaruhi uang yang beredar ke pasar, sedangkan konsumsi tinggi ekonomi akan meledak.
“Itu tidak akan terjadi kalau dari Flores Timur (Flotim) sampai Manggarai Barat orang masih pakai transportasi darat. Itu kelamaan,” kata Ferdy.
Namun, Ferdy menilai Pemda setempat tidak pernah berpikir untuk membuat kapal cepat dari Flotim ke Labuan Bajo sebagai alat transportasi laut.
Pada sisi lain, Ferdy menyinggung angka kemiskinan di Mabar yang sangat tinggi. Merujuk data BPS Mabar 2020, angka kemiskinan sangat tinggi dengan pendapatan perkapita masyarakat Rp 416 ribu per bulan.
“Gubernur NTT yang sekarang enggak sukses untuk mereduksi angka kemiskinan, karena sebelumnya juga angka kemiskinannya sekitar 19 sampai 21 persen,” kata Ferdy.
Ferdy mencatat dari 160 lebih desa di Mabar, hanya satu yang diaktegorikan desa maju. “Coba bayangkan kabupaten super premium dengan indikator-indikator mikro seperti itu bagaimana jadinya,” kata Ferdy.
Sementara itu, Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi NTT, Marsianus Jawa mengatakan sampai pada triwulan III, realisasi investasi NTT mencapai Rp3,6 triliun dari target nasional Rp 7,2 triliun.
“Hari ini baru sampai Rp 3,2 triliun,” kata Marsianus.
Marsianus lantas membeberkan alasannya. Dia mengatakan investor mengalami kesulitan di bidang perizinan. Walakin, investor menganggap investasi di NTT tidak efisien.
“Keluhan itu masih ada sampai hari ini. Dalam suatu investasi proses izin itu ada kewenangan bupati, gubernur, dan pusat. Sehingga masih ada kesulitan,” kata Marsianus.
Namun, kata dia, pihaknya mencoba berusaha memberikan pelayanan terbaik kepada investor. “Kami mencoba untuk memberikan pelayanan secara baik kepada semua investor yang berinvestasi di NTT,” kata Marsianus.
Ketua Panitia Trian Walem mengatakan diskusi itu dilaksanakan sebagai bentuk respons persoalan investasi yang hadir di NTT saat ini.
Sebab, kata pria asal Manggarai Timur itu, investasi dan konflik agraria ialah satu kesatuan yang tak terpisahkan ketika melihat sejumlah persolan yang masif mendominasi pada usaha ekstraktif.
“Eksploitasi sumber daya alam menjadi sasaran utama,” kata Trian. Trian menegaskan investasi kerap tak melibatkan peran rakyat, sehingga muncul berbagai masalah.
“Karena banyak investasi dan segala bentuk aktivitasnya hanya berorientasi pada sisi profit atau mengali keuntungan tanpa memikirkan pembangunan berkelanjutan,” katanya.*