“KEKASIH PERGILAH”

0

 

By: Marsel Koka

Bulir.id Aku bertemu dengannya di bandara. Lebih tepatnya di ruangan tunggu. Waktu itu. Kami menumpang di pesawat yang sama, menuju tempat yang sama pula. Tak sengaja, bertatapan lalu berkelanan setelahnya. Sangat singkat dan begitu cepat.

Aku Aurel dan dia Abel. Abjad A sama-sama. Jujur selama hidup, baru kali pertama saya menemui seorang pria yang seberani dirinya.  Pertama kali pula aku menjumpai seseorang laki-laki yang membuatku jatuh hati dalam sekejap. Jatuh cinta pada pandangan pertama. Seperti disambar kilat.

Lalu lalang orang-orang sekitar, tak kami pusingkan. Pokoknya di bandara sepertinya hanya kami berdua. Seolah-olah bandara, pesawat, langit dan awan tak ada. Hanya kami berdua.

Saat itu, sebetulnya jam penerbangan sudah tepat namun di delay. Ditunda beberepa jam kemudian. Katanya ada cuaca ekstrim menuju tempat tujuan. Pihak penerbangan tak mau ambil resiko. Makanya kami menunggu cukup lama. Saya gunakan itu sebagai kesempatan untuk mengenalnya lebih jauh. Dia juga demikian. Bahkan sangat bersemangat. Pokoknya walau delay, kami merasa biasa saja. Tidak apa-apa.

Ketika masuk pewasat, ternyata kami duduk berdekatan. Dia di kursi sebelahku. Pelan tapi pasti pesawat meninggal landasan pacu. Semakin tinggi semakin jauh. Lautan, daratan, gunung di bawahnya sangat kecil. Kami benar-benar di ketinggian.

Saya tiba-tiba memeluk tubuhnya, persis ketika pesawat mengalami turbelense. Sangat erat dan lama. Saya takut pesawat jatuh. Dia juga sama sebetulnya. Namun ia sembunyikan itu. Ya gengsi lah. Namanya laki-laki.  Saat itu kami seperti sepasang kekasih walaupun belum jadi. Mungkin untuk sementara waktu, benar.

Perkenalan kami, berhenti ketika pesawat mendarat. Sebelum berpisah, kami bertukaran nomor hape. Sejak perjumpaan di bandara saat itu, hubungan saya dan Abel berlanjut. Bilang saja. Kami sudah sedang menjalin hubungan spesial. Pacaran bahkan hampir tunangan.

Bagiku, dia adalah pria yang cocok bagi masa depanku. Dia adalah rindu yang sedikit lagi kutemu, dan laki-laki-laki yang sebentar lagi aku panggil suami. Persis seperti itu.

Dia pria yang pintar berpuisi. Sudah banyak yang ia tulis untukku. Satu yang kuingat dan sungguh mengugah adalah begini:

Kamu adalah sebuah mimpi yang ingin kuwujudkan

Rindu yang ingin kutemui

Secepatnya kita akan menjadi sebuah bagian dari masa depan!

*****

Sejak awal sebetulnya, kami mengawali perkenalan dengannya dengan sebuah tanda yang tidak bagus. Pesawat delay karena cuaca ekstrim. Apakah itu juga menjadi gambaran hubungan kami ke depan? Tidak tahu. Mungkin hanya Tuhan.

Semua berjalan lancar apa adanya. Pelan tapi pasti, relasi kami pun semakin asyik. Aku sudah mengenalnya juga keluarganya. Semua setuju kami akan membangun bahtera bersama. Waktu senggang selalu kami habiskan bersama. Apalagi akhir pekan. Selalu dinikmati berdua. Kadang ke pantai, makan di resturan dan tempat-tempat indah lainnya.

Hari Sabtu bulan Juni adalah hari ulang tahun hubungan kami. Genap lima tahun kami kami menjalin relasi. Saya pikir, itu adalah waktu yang sudah cukup matang bagi sebuah pasangan untuk memantapkan hubungan. Termasuk kami.

Agar moment itu tidak dilalui begitu saja, maka saya dan lebih-lebih Abel sepakat membuat syukuran sederhana. Tak banyak yang diundang hanya teman-teman kantorku. Satu di atarannya adalah Amel, teman curhatku. Dia adalah perempuan satu-satunya yang paling tahu semua peristiwa dan suka duka hidup yang kualami. Termasuk hubungan percintaan kami. Aku dan Abel.

*****

Hari-hari ini, Abel lebih banyak telat pulang dari kantornya. Mungkin karena beban pekerjaan membuatnya harus lembur hingga larut malam. Katanya tak ada jalan lain selain secepat mungkin menyelesaikan berkas-berkas yang perlu. itu saja.

Hari-hari dan minggu-minggu berikutnya. Juga sama. Dia masih telat pulang. Bahkan lebih ngeri. Alasanya juga macam-macam. Sibuk ini, sibuk itu. Aneh-aneh. Kalau ditanya pun jawabnya kasar dan marah-marah. Mungkin karena lelah. Ya begitulah. Dan saya sepenuhnya percaya. Saya tidak mau curiga yang bukan-bukan. Tidak bagus mencurigai calon suami sendiri. Nanti dosa. Orang seperti dirinya tak suka menipu. Dia masih Abel yang kukenal dulu. Jujur dan setia. Batinku menyakinkan.

Hari Sabtu di bulan yang sama. Juni. Hari ulang tahun kami menjalin relasi. Kami tidak merencanakan apa-apa. Saya hanya mengajaknya keluar. Ke pantai, tempat favorit kami. Sebentar saja sudah cukup. Tapi dia bilang tidak! Katanya, ada urusan yang harus dibereskan di kantor. Okelah.

Aku ke sana sendirian. Saat tiba pun senja hampir pergi. Menatapnya dari jauh sambil berandai-andai. Coba saja Abel disampingku pasti akan terasa indah. Kesendirian ini lebih membunuh dari yang sudah-sudah. Kucoba tegar dan biarkan rasa itu pergi bersama senja di depanku. Anggap saja kami berdua, saya dan Abel memandang senja bersama di sini.

Beberapa meter di depanku dua orang duduk rapat. Sesekali berpelukan. Mesrah sekali. Persis ketika senja hilang, keduanya pun tenggelam dalam ciuman yang amat sangat lama dan mengairahkan. Saat membalik ke arahku tenyata, mereka…, mereka…., mereka adalah Abel calon suamiku dan Amel teman curhatku.

Sakit, hancur, luka dan pulang.

****

Kamu bukan lagi sebuah mimpi yang ingin kuwujudkan

Bukan lagi rindu yang ingin ku temui

Kita sudah menjadi sebuah bagian dari masa lalu

Sekarang aku ke sini, kamu ke sana

Putus!!

Pergilah!!

Pesan terakhir dan selamanya dari Aurel.

 

N/B: Cerita ini hasil imaginasi penulis saja, ditulis sambil ditemani teh hangat dan senja yang perlahan-lahan pamit pulang. Maaf jika ada kesamaan nama dan kemiripan cerita.