Oleh: Sil Joni*)
Tilik, BULIR.ID – Problem utama dalam demokrasi representatif adalah keterbatasan ruang bagi publik untuk memanifestasikan kedaulatannya dalam proses pengambilan kebijakan politik. Padahal, secara teoretis, demokrasi mensyaratkan pengimplementasian kekuasaan publik itu sendiri. Namun, ketika saluran politik resmi sudah dimonopoli oleh segelintir elite dan lembaga politik, maka publik mesti menggunakan wadah alternatif agar kekuasaan itu bisa dinyatakan secara produktif.
Pembentukan pelbagai komunitas atau forum diskusi publik, hemat saya bisa menjadi opsi yang rasional dalam mewujudkan kedaulatan publik. Dalam dan melalui komunitas diskusi semacam itu, publik dengan bebas menyuarakan opininya terkait dengan perkembangan dinamika sosial dan politik yang bermuara pada terciptanya dimensi kemaslahatan publik.
Komunitas Komodo Lawyers Club (KLC) yang dikukuhkan secara resmi oleh Kapolres Mabar pada Kamis, (8/4/2021) tentu saja menjadi salah satu wadah ideal untuk mengatasi realitas ‘ketersingkiran publik’ dalam proses penentuan dan pelaksanaan pelbagai kebijakan publik. Setidaknya, melalui forum itu, publik dapat menyuarakan kegelisahan mereka terkait karut-marut persoalan hukum, sosial, budaya, politik, pariwisata, pendidikan, dll untuk digemakan secara elegan ke ruang kekuasaan politik formal.
Karena itu, pertama-tama kita mengucapkan profisiat dan apresiasi kepada para inisiator KLC, yaitu Plasidius Asiz De Ornai, S.H, Jon Kadis, S.H, dan Muhamad Toni, S.H yang dengan ‘jenius’ membaca konteks politik Mabar di mana ‘keterlibatan publik’ dalam proses formasi opini, masih relatif terbatas. Mereka coba mengkreasi ruang alternatif agar proses penggodokan opini publik yang argumentatif dan dialektis bisa terealisasi secara optimal.
Nama Komodo Lawyers Club mengingatkan kita pada kiprah Indonesia Lawyers Club masa lalu yang setiap pekan mengadakan diskusi berbobot yang dihadiri oleh para pakar dalam bidang masing-masing dan disiarkan secara langsung oleh salah satu stasiun Televisi swasta di tanah air. Acara itu, pada masanya, menarik perhatian dari banyak pemirsa Televisi. Sayang, forum itu sudah mati dan acaranya pun tidak tayang lagi.
Tetapi, saya kira para pendiri KLC tentu tidak sekadar ‘mencatut nama’ itu untuk mendongkrak popularitas forum itu. Mereka pasti mempunyai pertimbangan dan strategi tersendiri dalam ‘mengelo’ wadah itu. Pak Plasidius sebagai ketua KLC dalam seremoni peresmian itu, dengan tegas mengatakan bahwa KLC bukan hanya ‘forum tukar gagasan’ semata, tetapi juga siap memberikan layanan hukum kepada masyarakat melalui jalur non litigasi.
Kendati demikian, tak bisa dielak bahwa upaya menghidupkan tradisi diskursif menjadi aktivitas dominan dalam komunitas ini. Masih menurut Plasidius, KLC akan secara rutin menyelenggarakan ‘diskusi publik’ dengan membicarakan pelbagai isu aktual yang terjadi di Kabupaten Mabar ini.
Kehadiran KLC sebagai ‘gelanggang pertarungan ide’ semakin urgen di tengah factum kemajemukan yang menjadi penanda kontur panggung politik Mabar di kekinian. Menyitir Habermas, filsuf generasi ketiga mazhab Frankfurt, dalam rangka mengatasi kompleksitas pada masyarakat modern yang memiliki kemajemukan gaya hidup dan orientasi nilai, praksis tindakan komunikatif bisa menjadi unsur kohesif yang rasional. Tindakan komunikatif yang terkespresi dalam bentuk diskursus di pelbagai komunitas adalah tindakan yang mengarahkan diri pada konsensus.
Artinya, setiap tindakan menjadi tindakan rasional yang berorientasi kepada kesepahaman, persetujuan dan rasa saling mengerti. Konsensus semacam itu, bagi Habermas, hanya dapat dicapai melalui diskursus praktis yang tidak lain adalah prosedur komunikasi. Diskursus praktis adalah suatu prosedur (cara) masyarakat untuk saling berkomunikasi secara rasional dengan pemahaman intersubjektif. Dalam tipe diskursus ini anggota masyarakat mempersoalkan klaim ketepatan dari norma-norma yang mengatur tindakan mereka.
Untuk mencapai konsensus rasional yang diterima umum, Habermas mengajukan tiga prasyarat komunikasi sebagai berikut: Pertama keikutsertaan di dalam sebuah diskursus hanya mungkin, jika orang mempergunakan bahasa yang sama dan secara konsisten mematuhi aturan-aturan logis dan semantis dari bahasa tersebut.
Kedua, kesamaan dalam memperoleh kesempatan dalam diskursus hanya dapat terwujud, jika setiap peserta memiliki maksud untuk mencapai konsensus yang tidak memihak dan memandang para peserta lainnya sebagai pribadi-pribadi otonom yang tulus, bertanggungjawab sejajar dan tidak menganggap mereka ini hanya sebagai sarana belaka.
Ketiga, harus ada aturan-aturan yang dipatuhi secara umum yang mengamankan proses diskursus dari tekanan dan diskriminasi. Melalui diskursus praktis dengan prosedur komunikasi yang rasional, Habermas yakin bahwa risiko ketidaksepakatan yang menggiring masyarakat pada disintegrasi dapat dibendung.
Para personel KLC sedapat mungkin mengikuti secara konsisten panduan komunikasi yang digagas Habermas dalam melaksanakan sesi perbincangan publik yang difasilitasi oleh KLC. Saya kira, tiga prasyarat yang dijelaskan tadi sangat membantu KLC dalam menjalankan perannya sebagai ‘pembuka keran diskursus partisipatoris dan demokratis. Dengan itu, hasrat publik untuk berparitisipasi dalam proses penentuan kebijakan publik, bisa tersalurkan dengan baik.
Jika ruang partisipasi dalam menyatakan argumen terbuka lebar, maka sebetulnya kita sedang menerapkan apa yang menurut teoretisi politik sebagai ‘demokrasi deliberatif’. Kata deliberatif berasal dari kata Latin deliberatio atau deliberasi (Indonesia) yang artinya konsultasi, musyawarah, atau menimbang-nimbang.
Itu berarti demokrasi dikatakan bersifat deliberatif jika proses pemberian alasan atas suatu produk kebijakan publik diuji lebih dahulu lewat konsultasi publik, atau diskursus publik. Demokrasi deliberatif ingin meningkatkan intensitas partisipasi warga negara dalam proses pebentukan aspirasi dan opini agar kebijakan-kebijakan dan undang-undang yang dihasilkan oleh pihak yang memerintah semakin mendekati harapan pihak yang diperintah.
Intensifikasi proses deliberasi lewat diskursus publik ini merupakan jalan untuk merealisasikan konsep demokrasi secara substansial sebagai pemerintahan oleh rakyat itu sendiri. Jadi, demokrasi deliberatif memiliki makna tersirat yaitu diskursus praktis, formasi opini dan aspirasi politik, serta kedaulatan rakyat sebagai prosedur. yang ditekanakan dalam demokrasi deliberatif adalah proses dan prosedur dalam mendesain dan mengeksekusi sebuah kebijakan politik.
Menurut Reiner Forst, “Demokrasi deliberatif berarti bahwa bukan jumlah kehendak perseorangan dan juga bukan kehendak umum yang menjadi sumber legitimasi, melainkan proses pembentukan keputusan politis yang selalu terbuka terhadap revisi secara deliberatif dan diskursif-argumentatif.” Dengan demikian, demokrasi deliberatif dapat dipahami sebagai proseduralisme dalam hukum dan politik.
Demokrasi deliberatif merupakan suatu proses perolehan legitimitas melalui diskursivitas. Agar proses deliberasi (musyawarah) berjalan fair, terlebih dahulu diperlukan pengujian secara publik dan diskursif. Habermas menekankan adanya pembentukan produk hukum dengan cara yang fair agar dapat mencapai legitimitas.
Dalam demokrasi deliberatif, keputusan mayoritas dapat dikontrol melalui kedaulatan rakyat. Masyarakat dapat mengkritisi keputusan-keputusan yang dibuat oleh para pemegang mandat. Jika masyarakat sudah berani mengkritisi kebijakan pemerintah, maka secara tidak langsung mereka sudah menjadi masyarakat rasional, bukan lagi masyarakat irasional. Opini publik atau aspirasi berfungsi untuk mengendalikan politik formal atau kebijakan-kebijakan politik. Jika tidak ada keberanian untuk mengkritik kebijakan politik, maka masyarakat sudah tunduk patuh terhadap sistem.
Mengacu pada alur pikir di atas, KLC sudah seharusnya menjadi ‘sarana’ menjaring dan mengolah opini kritis publik dan selanjutnya dihantar ke ruang kekuasaan. Hasil refleksi dan analisis kritis publik dalam KLC bisa menjadi salah satu referensi bagi para penguasa untuk menelurkan kebijakan yang pro pada kepentingan publik.
Untuk itu, meski namanya Komodo Lawyers Club, para partisipan ketika berdilalektika, tentu tidak terbatas pada kelompok pengacara atau mereka yang berlatar studi hukum semata. KLC bukan wadah eksklusif dari para ‘sarjana hukum’. Forum itu mesti terbuka untuk semua kalangan yang mempunyai ‘kehendak baik’ dalam membangun demokrasi deliberatif di Mabar.
Akhirnya, kita tak sabar lagi menanti kiprah dan kontribusi konkret dari KLC bagi pembudayaan kebiasaan tradisi berdiskursus dalam ruang publik yang egaliter. Keberhasilan KLC dalam ‘mewadahi’ dan menyalurkan bakat diskursif dari publik Mabar, menjadi satu sumbangan politik yang sangat besar arti dan pengaruhnya bagi perkembangan peradaban politik demokratis di tanah wisata ini.
*Sil Joni adalah pemerhati masalah sosial dan politik.
Catatan Redaksi: Opini pada kolom ini merupakan pandangan pribadi penulis dan sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis, tidak mewakili pandangan redaksi Bulir.id.