KRAENG YANI, APOL DAN FLORY DI CAFÉ TERAS DE LUCAS

0

Oleh Gerard N Bibang*)

Di café Teras de Lucas, di tepi kota sejuk Ruteng, di kaki gunung Mandusawu, Manggarai, Flores, NTT, bertemu di ujung senja dua sahabat lama: Apol dan Flory. Dua puluh lima tahun lalu selama enam tahun siang malam mereka seatap seperjuangan di lembah Kisol. Pemilik café Teras de Lucas, Kraeng Yani, adalah juga sahabat masa kecil mereka. Sebutlah sore itu, reuni spontan kecil-kecilan alumni lembah Kisol.
***

Oe Apol, kau masih hidup ka, saya kira kau sdh lama lewat e, kata Flory membuka obrolan

Apol, yang di bulan-bulan ini sedang sosialisasi untuk kursi DPRD dari Partai Gerindra itu, ngakak sejadi-jadinya: memang kau ini Flory, basa basi sedikit kenapa; baru ketemu setelah 25 thn, tanya khabar dulu kek, ini main langsung skak

Mendengar itu, hampir tersembur kopi dari mulutnya Kraeng Yani karena merasa lucu:
Ta Apol, kau tahu toh Flory ini, langsung-langsung saja; percuma lama di Jawa dia, tidak mau belajar etika sedikit, hahahahahaha; lagian, ireng de rei nenggitu e (= tabu menanyakan begitu), Flory!

Flory, seorang banker dan yang akhir-akhir ini memilih tinggal di Ruteng untuk menggapai idaman politiknya, hanya tertegun:
Ta Kraeng Yani, itu namanya gaya bahasa ka, bermakna sebaliknya; memang kamu dua ini tidak pernah belajar bahasa Indonesia, pantesan dulu kamu di Kisol dapat nilai bahasa Indonesia pas-pasan dari Pater Frans Mido

Serempak mereka bertiga terpingkal-pingkal memecah kesunyian senja kota Ruteng.

Profesimu apa sekarang Apol, tanya Flory sembari menikmati kompiang panas

Saya malu e, takutnya kamu gak ngerti

Wan kaut ta (= bilang aja) Apol, kata Kraeng Yani: masa belom di beritahu, langsung anggap kami gak ngerti; hitu kim hau (=kau tu biasa begitu), jangan berprasangka buruk

Ya sudah, bilang aja, profesimu apa sekarang, toh kita di sini bukan membahas hal ilmiah, lanjut Flory

Dengan sedikit menerawang, Apol berkata: sejak lama saya mengatakan kepada diriku sendiri bahwa saya ini berprofesi orang kaya

Hah, orang kaya? Kraeng Yani dan Flory terheran-heran

Iyah, profesi orang kaya

Sejak kapan kau jadi kaya, tanya Flory: rumahmu juga seperti rumahku, tidak lebih mewah; ta Apol, jangan putar balek ini omong ka, yang benar sedikit profesimu ini, baru kali ini saya dengar ada profesi orang kaya

Tapi saya pengen tahu kaya yang kau maksudkan itu apa, kata Kraeng Yani; apa definisi kekayaanmu, jangan-jangan beda dengan definisi pada umumnya: banyak uang, banyak harta dan banyak istri, bila perlu

Maka-nya dengar dulu ka, jawab Apol: kamu dua ini belum apa-apa sudah mengadili saya, kayak bapak-bapak hakim aja; begini ya: selama saya hidup, artinya selama masih diberi nafas, yah, saya orang kaya; bisa ketawa, bisa kerja apa saja, bisa sekolah sampai di Jawa, punya istri cantik dan anak yang lucu-lucu, punya rumah, punya sahabat-sahabat keren seperti kamu dua, yang kapan aja saya butuh, kamu ada untuk saya; so, mau apa lagi; wat is er nog meer? bukankah ini kekayaan?

Flory semakin tercengang: neka rabo (=maaf) tadi apa kau bilang, wat is er nog meer? bahasa apa itu

Hitu keta hau ho (= maka-nya kau ini), Flory, belajar juga bahasa asing, jangan melulu hafal go’et (= ungkapan puitik) Manggarai, itu juga perlu tapi bahasa orang juga perlu; ungkapan itu tadi dari bahasa Belanda

Eng pe (= Iya ka), sambung Kraeng Yani: apa artinya: wat is er nog meer

Apol: itu sama artinya dengan “apa lagi yang lebih dari itu”; saya tu mau kasi tunjuk kamu dua bahwa saya bisa gaya sedikit to, hahahahahaha

Ini jadi serius disikusinya, lanjut Flory: berarti kau selama ini hidup dengan definisimu tentang kekayaan itu ya; kau jelaskan dulu sedikit ka Apol, saya pengen tahu reasoning dan logikamu kenapa kau katakan begitu

Okey, reasoning saya sangat sederhana; saya orang kaya karena semua sudah diberikan kepada saya; artinya, tanpa saya pernah mencari kekayaan, memburu kekuasaan, mengejar kemasyhuran atau mengincar keduniaan apapun, saya sudah kaya

Dari mana kau tahu semuanya sudah diberikan, tanya Kraeng Yani

Neka keta rabo (= mohon maaf), alasan saya ini sangat teologis; saya sangat kaya karena Mori Keraeng (=Tuhan Allah) menganugerahiku semua yang tak kukejar itu; bagaimana tidak? apa kau pikir Mori Keraeng-ku tidak bertanggung jawab atas hamba-hambaNya di dunia, termasuk saya?
Mori Keraeng-ku bukan hanya Maha Dermawan, Maha Penyayang, Maha Pengasih tapi juga Maha Pelimpah Kekayaan; sifat-NYA Tak Terhingga mewujud dalam KASIH; nah inilah yang membuatku kaya raya; saya paham, definisimu tentang kekayaan berbeda dengan definisi saya; bagi saya, fine-fine ajalah; bahwa definisimu tentang kekayaan berbeda atau bahkan bertentangan dengan ukuranku, itu masalah kita masing-masing dengan Mori Keraeng

Pande beti sa’i (=bikin sakit kepala) kau punya teologi ini, kata Kraeng Yani

Mentalitas Orang Kaya

Tapi oke-lah, sambung Flory: kita hargai perbedaan pandangan dan definisi; saya ikuti logikamu dan pertanyaan saya, begini: kau bahagia kah dengan profesi sebagai orang kaya?

Hahahahahaa, Apol tertawa lepas: saya tahu arah pertanyaanmu; bahagia dalam arti tenang dan adem, iyah; toh apa yang kau cari lagi kalau segalanya sudah diberikan kepadamu? kalau kau tanya tantangannya menjadi orang kaya, iyah, ada; artinya, kalau orang kaya tidak mampu menjaga mentalitas kekayaannya, maka ia gampang tergelincir, bisa main kasar, bisa maling, bisa korupsi, bisa bernafsu-nafsu lebih dari nafsu kuda

Iyah, tantangannya apa, kejar Kraeng Yani

Ini saya beritahu; kau jangan bayangkan enak-enak saja jadi orang kaya; tantangannya besar; pertama, sebagian orang kaya raya menjadi makanan bagi pencuri dan bagi kekayaannya sendiri; kekayaan membuatnya tidak bisa menjadi pemberani atas hidupnya sendiri; ia gampang takut, gampang kehilangan, gampang merasa terancam, sehingga seringkali harus menindas suara hatinya sendiri; jalan keluarnya ada dua: ia mengubah hatinya menjadi tidak takut kehilangan kekayaan dan mengubah diri menjadi orang miskin saja

Kedua, orang kaya mudah menjadi sangat arogan, super power, lebih tahu dan celakanya menganggap diri lebih suci; arogansi ini membuat dia tidak akan mendengarkan siapa pun dan bisa merampok dan korupsi apa saja, bahkan dengan arogansi, dia menganggap korupsi sebagai kebajikan; padahal dalam sejarah peradaban manusia, semakin sombong seseorang maka sebenarnya yang terjadi ialah ia semakin mempertinggi jurang kejatuhannya

Ketiga, orang kaya, kalau korupsi, korupsinya besar-besar juga; karena standar hidupnya tinggi, maka makan uangnya juga tinggi; kalau ia buat kejahatan, maka kejahatannya cenderung berat dan besar-besar

Ohhhhhh, paham, paham saya sekarang, gumam Flory

Itu sebabnya, Flory, kau tu, kalau mau jadi pejabat teras di Manggarai, kau harus jadi orang kaya dulu, supaya nanti kau jangan korupsi APBD, jangan mark up harga proyek, jangan ngotot minta komisi ini dan itu, jangan libatkan istri, anak dan konco-konco serta keluargamu makan uang rakyat yang mereka berikan dengan keringat panas dan dingin

Wah, pedas betul ini nasihat e aeh; tapi Kraeng Yani, kenapa kau ndu’us (= murung) begitu; what is wrong with u, mate!

Telpon Romo Rektor

Bukan ndu’us (= murung), jawab Kraeng Yani: saya semakin tidak paham dengan kalian punya omongan dari tadi; saya mengangguk-angguk tapi utk tata krama, sebenarnya saya tdk ngerti sama sekali; kenapa kita mempertentangkan definisi; aneh betul kita; bertengkar tentang definisi, apa gunanya; jadinya mbolot (=mumet)

Terus bagaimana, tanya Apol

Saya mau telpon romo rektor, Tuang Maximus, saja ta

Gimana emad Lukas (baca: Kraeng Yani), suara romo rektor di ujung telpon; Kraeng Yani langsung nyalakan speaker

Begini ka romo rektor, kami bertiga di sini hampir dua jam bertengkar siapa yang lebih kaya

Aeh, emad Lukas, sejak kapan kamu omong hal-hal tinggi begitu, hahahahahaha

Neka tawa ite ta (=jangan bercanda ka) romo rektor, kami ini tidak sepakat dengan definisi kaya; dari tadi Apol bilang pofesinya dia ialah orang kaya; saya dan Flory terheran-heran dan membantah; tapi Apol makin meyakinkan alasannya kenapa profesinya orang kaya; yang bikin saya beti sa’i (=pusing), Apol gunakan alasan teologis lagi

Hahahahahahaha, itu masalahnya; tentu ada beberapa definisi tentang apa itu kaya, ada definisi leksikal, ada definisi baku, tapi juga ada definisi berdasarkan persepktif tertentu

Jangan istilah tinggi-tinggi ka romo rektor, co’ o kali ami ga (=lantas kami ini bagaimana sudah)

Begini saja, kamu sepakat dulu di situ mana definisi kaya yang kalian terima; kalau tidak sepakat, yah, harus hormati perbedaan definisi itu; biarkan dia menjalankan definisinya sendiri

Lebih Dari Sekedar Cafe

Telpon selesai. Tampak keceriaan di wajah Kraeng Yani. Flory dan Apol feel released. Plong! Kopi panas sudah dingin saking semangatnya berdiskusi

Di meja sebelah sana duduk sekelompok pemuda yang benar-benar masih segar dan belia, umumnya mereka adalah mahasiswa dari Unika Santu Paulus, searching internet, minum kopi, juice serta aqua, sambil berdiskusi ramai sekali, diselang-selingi ketawa ketiwi, sambil colek satu sama lain sebagai layaknya anak muda.

Mereka bukan sekedar relaks tapi sedang santai berilmu dan berdiskusi.

Di sudut sebelah sana, ramai duduk ngobrol sersan (=serius tapi santai) beberapa pemuda matang. Artinya mereka bukan mahasiswa, sudah tidak belia lagi, tapi orang-orang sepantaran Kraeng Yani, Flory dan Apol.
Ada yang berkumis tebal, ada yang gundul, ada yang gondrong, ada yang rambutnya menipis, yah, macam-macam. Mereka omong tentang masa depan Manggarai, nusantara dan dunia.

Rupanya café Teras de Lucas ini lebih dari sekedar café untuk makan minum buat kekenyangan perut dan raga tapi sebagai tempat nyaman untuk makanan jiwa dan pikiran.

Lontoleok (duduk bersama) yang dikenal sebagai budaya Manggarai mendapatkan dimensi baru.

Lontoleok tidak lagi menjadi sebatas tombo-tombo hawi-haol (=omong kosong tiada juntrungan) tetapi menjadi ajang berilmu melalui syering pengetahuan, analisis dan pengalaman.

Memang demikianlah hakekat berilmu. Dengan berbagi, tidak akan kehilangan. Dengan mendengarkan akan semakin bertambah pengetahuan. Dengan berbicara akan lebih mempertegas apa yang diketahui sebelumnya dengan mendaur ulang sekaligus memperbaharui.

Dengar-dengar, Kraeng Yani ingin men jadikan sebagian ruangan di café ini sebagai perpustakaan mini. Sudah ada teman-teman, senior dan adik-adiknya yang menyumbang buku, termasuk romo rektor.

Memang beginilah filsafat sebagai induk peradaban, lahir dan berkembang sejak zaman Plato.

Konon, Plato dan Aristoteles melahirkan ide besar di café dan resto pinggir jalan dan sungai, bukan di ruang kelas ber-AC. Dan siapa kah mereka yang di sekitar Plato itu? Mereka adalah para pemuda.

Di Indonesia, Soekarno, sang proklamator kita, amat beriman kepada para pemuda sebagai aktor perubahan dunia.

“Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia” demikian kalimat saktinya yang tak pernah mati dan selalu bergaung di dalam sfukma para pemuda Indonesia.

Saya menduga iman yang sama sudah berkecambah di dalam sanubari Kraeng Yani. Selalu ramai di café ini oleh para pemuda yang datang dan pergi, datang lagi dan datang lagi. Mereka bukan hanya minum kopi. Dan mereka bukan peminum. Mereka berbagi dan berilmu tentang masa depan Manggarai, nusantara dan dunia. Kraeng Yani, Mori Keraeng memandangmu dengkir tain (= selama-lamanya), amin!

Korupsi Orang Kaya

Tak lama setelah berakhir dengan telpon romo rektor, suasana pertemuan Kraeng Yani, Apol dn Flory semakin cair. Tiba-tiba Flory nyeletuk.

Kamu sudah dengar ka, kenapa Kisol di hari-hari belakangan ini selalu disebut-sebut berkaitan korupsi triliunan di Jakarta, saya malu kenapa Kisol ditaut-tautkan

Apa yang salah, tidak ada kan? kata Apol; senior kita ka’e Jhonny, alumni kita kan

Betul, betul, sambung Kraeng Yani; hanya jumlahnya besar sekali, dari anggaran 10 triliun, 8 triliun yang dikorupsi; adohhhhh; padahal ka’e Jhonny sudah kaya, mau cari apa lagi e

Bodok de ghau (= bodoh kau), Kraeng Yani; masa kau lupa penjelasan saya tadi tentang orang kaya; mereka itu kalau korupsi, yah, jumlahnya tidak kira-kira; kau masih ingat kan tadi, beberapa tantangan profesi orang kaya; yah, ka’e kita ini adalah orang kaya yang sudah tergelincir

Sepakat, sepakat e Apol, kata Flory: ngaji kali ga (=kita berdoa saja) biar ka‘e Jhonny kuat menghadapi semua ini dan jangan lupa pegang prinsip praduga tak bersalah; dan kita jangan lupa ambil hikmahnya; kalau kau Kraeng Yani, apa hikmah yang kau ambil dari khabar buruk ini

Hau ho Flory, cama keta rei de romo (=kau ini Flory, nanya kayak romo aja); tapi ini ilmiah e, tentang hikmahnya, saya mau katakan begini: yang tergelincir di hari-hari ini ialah akal sehat dan hati nurani; Mori Keraeng yang menyaksikannya dari kaki langit sekarang ini mempertontonkan kepada segenap makhluk bahwa hidup kalian di bumi memang seperti sepandai-pandai tupai melompat, sekali waktu terjungkal juga; bahwa kebohongan dan tipu tapu tidak pernah punya paha, yang akhir-akhirnya sekali waktu pasti terkejar; bahwa arogansi adalah sayap-sayap patah yang semakin tinggi terbang semakin tinggi pula jurang kejatuhannya kelak

Apol tertawa keras dan beberapa meja tamu menoleh kepadanya; olee Kraeng Yani, kau omong atau sedang baca puisi ini; tumben kau punya bahasa begini bagus, biasanya belepotan, hahahahahaha

Kau e Apol, kau anggap sekali saya; maka-nya kau harus bergaul dengan orang-orang pintar; ingat e, sekarang ini berlaku rumusan peradaban baru, kau adalah dengan siapa kau berdiskusi dan bergaul, bukan lagi you are what you are saying atau you are the way you are saying; toe hanang hitu (= bukan hanya hitu)

Supaya kau tahu, saya hampir tiap hari telpon romo rektor; dia sih lebih banyak bercanda tapi isi omongannya itu ilmu semua, tanpa sadar saya ikut berilmu dan lihat hasilnya, saya lebih pintar dari kamu-kamu yang malas bergaul; jadi, kalimat saya tadi itu adalah inti yang saya sarikan dari telpon dengan romo rektor beberapa hari terakhir ini

Hahahahahaaha, serentak mereka bertiga ngakak memecah ruangan.

Suasana makin mencair, gelas kopi dari tadi tinggal ampas-ampas hitam di dasarnya, yang tentu berlawanan dengan isi kepala mereka yang cerah bercahaya dan terang benderang oleh berbagi dan berilmu secara café Teras de Lucas.

***(gnb:tmn aries:jkt:sabtu:20.5.23)

*)Gerard N Bibang adalah dosen sekaligus penyair kelahiran Manggarai, Flores NTT. Ia adalah penyair yang menahbiskan dirinya sebagai petani humaniora. Gerard saat ini berdomisili di Jakarta