“Madah Kesunyian,” oleh Gerard N Bibang

0
Gerard N Bibang

MADAH KESUNYIAN

1/

dalam sunyi aku bermadah; wahai dunia, biarlah kau berporak-poranda di alam maya dan nyata, di layar kaca dan di atas kasur renyah; biarlah kau putar balik yang benar jadi salah, yang salah jadi benar, yang palsu diperkatakan terus menerus sampai-sampai kepalsuan itu diterima sebagai kebenaran; lalu kau baptis pekerjaanmu itu dengan nama indah: post truth; dan cinta antara manusia kau ikat atas nama ilmu

teruslah kau memecah-mecahkan manusia dalam kavling kami dan kamu; kami lebih suci dan kamu bau tengik; kami masuk surga dan kamu ke neraka; teruslah mengabadikan waktu dan memfanakan keabadian; menjadikan dunia surga dan meyakini surga hanya urusan nanti sesudah kematian; teruslah merajut jeratan-jeratan, mempersulit diri dan orang lain dengan ikatan-ikatan, dimuati manusia yang antre panjang memasuki sel-sel penjara

dengarlah, inilah madahku dalam kesunyian; cintaku tak diikat dunia dan kasih sayangku tak terpanggul oleh ruang dan waktu; bahwa hanyalah kasih sayang yang membebaskanku dan melenggangkan derapku hingga ke Tuhan; bahwa cintaku tak diukur oleh tata hidup, perkawinan, kebudayaan dan sejarah, yang semuanya telah kau jadikan gumpalan sepi, dendam dan kemalangan

2/

aku bermadah bahwa hanyalah sunyi yang sanggup mengajarkanku untuk tak mendua dalam mencinta; untuk akhirnya dalam kebeningan dapat mencerna dan mendengarkan suara hati, yang adalah suara Tuhan

bahwa hanyalah sunyi yang berwarta bahwa jangan paksa orang untuk mencintaimu; tapi tagihlah dirimu untuk mencintai siapapun; bahwa cinta di dunia bukanlah bertahan seberapa lama tetapi seberapa jelas dan ke mana arahnya; bahwa ukuran kedewasaan mencinta ialah empati; bahwa hanya dalam empati, kenyataan berikut ini kau lakukan tanpa parih; jikalau kekasihmu haus, kau yang gugup mencarikan air minum; jikalau kekasihmu terluka, perasaanmu-lah yang mengucurkan darah

maka hanya dalam empati; yang mustahil menjadi mungkin; kau bisa mencintai meskipun tanpa cinta

3/

wahai kalian di dunia, tiada sedetik pun tanpa kalian sibuk ke sana ke mari untuk mendapatkan apa yang kalian sangka kebahagiaan; apa yang kalian cari sebenarnya? dari madah kesunyian kudengar jawaban: yang lebih kalian cari bukanlah kebaikan melainkan kekayaan, yang lebih kalian buru bukanlah keluhuran melainkan kenyamanan, dan pada posisi seperti itu kalian selalu merasa lebih tinggi derajat dibanding orang kecil

kalian berkata: kami memburu ilmu, dengan sekali mengklik sejuta informasi diraih! namun madah kesunyian bertanya: apa gunanya ilmu kalau tidak memperluas jiwamu sehingga kalian berlaku seperti samudera yang menampung sampah-sampah?

kalian berseru gegap gempita tentang negara hukum, tentang peraturan di atas segala-galanya; namun madah kesunyian berkata: peraturan dan undang-undang tidak selalu sama dengan keadilan; ia bahkan bisa saja bertentangan dengan prinsip keadilan; undang-undang memiliki relativitasnya sendiri dan tidak mutlak sebagaimana SABDA TUHAN

kalian mengibarkan klaim untuk selalu bersaing; karena abad ini penuh kompetisi; tapi madah kesunyian mengingatkan: hidup ini bukan kalian sukses atau tidak, bukan menang atau kalah; namun apakah kalian bertahan berjuang bergantung pada Allah dalam keadaan apapun juga, itulah hidup di dunia yang sebenar-benarnya

4/

geteran demi getaran membombardir jiwa-raga tanpa jelas siapa yang memicu siapa; siapa yang mau digerakkan, sudah jelas sebab musababnya; karena banyak yang bersikukuh untuk bergerak demi keuntungannya sendiri, demi golongannya sendiri, demi agamanya sendiri, demi perut dan usus kekuasaanya sendiri

aku bermadah untuk selalu berkendara pada kesunyian, berguru pada keheningan; agar kaki-kakiku yang berjejak terus pada beton dan besi tidak lupa bilamanakah merebah di tanah-tanah basah; agar mulutku yang terus mengunyah pengawet dan berbusa-busa untuk kata-kata yang tidak bermakna, tidak lupa pada tetumbuhan yang sejuk yang bisu

aku bermadah di tengah berbagai kebuntuan untuk harus sesekali mengambil jedah; sembari melanjutkan perjalanan menyepi dari keramaian, melakoni jalan sunyi; menyusuri punggung zaman, menyibak ratusan ranting-ranting informasi; karena hanyalah sunyi yang mengantarkanku ke tempat itu, tempat yang menawarkan air jernih sekaligus cahaya rembulan, meski dengan lilin-lilin redup yang bercahaya

5/

semburat pelangi merah jingga
sebersit mentari menguak angkasa
di bawah kolong langit, ibu-ibu datang menimba air
dan air terus mengalir membentuk telaga
pengembara pencari hidup mampir sejenak mengusap peluhnya
ada kehidupan dan keseimbangan berpijar dari telaga
energi jiwa selama perjalanan di dunia
hanya bagi mereka-mereka yang yang peka
maka demi ENGKAU wahai Tuhan, aku bermadah: tiada-lah aku kecuali karena kehendak-MU; aku berikrar dengan sungguh-sungguh bahwa bukan kejayaan dan kemenangan yang kudambakan, bukan keunggulan dan kehebatan yang kulaparkan, serta bukan kekayaan, kekuasaan dan nama besar yang kuhauskan

demi ENGKAU wahai Tuhan, aku tidak menempuh dunia, aku tidak memburu akhirat, hidupku hanyalah rindu tanpa henti menatap-MU sampai kembali hakikat tiadaku
**
*(gnb:tmn aries:jkt:penghujung oktober ’21)

*) Gerard N Bibang adalah dosen sekaligus penyair kelahiran Manggarai, Flores NTT. Ia adalah penyair yang menahbiskan dirinya sebagai petani humaniora. Gerard saat ini berdomisili di Jakarta.