MENGINTIP CAKRAWALA-1 :
BUKAN BODOH
bukan bodoh jika aku mengintip cakrawala
ke atas sana aku menitipkan harapan
wahai kekasih, aku tidak ingin menjadi manusia suci
apalah artinya menjadi suci jika kata-kata selalu nyinyir
tak lebihlah aku dari bangunan sobekan-sobekan
mencintaimu hanya untuk sebuah sandiwara
siapakah orang bodoh itu, tanyamu
ialah orang yang kemarin bilang begitu, hari ini bilang begini, bolak-balik-bolak-balik, jawabku
tidak bodoh, engkau, katamu
sekali telah mencinta terkembanglah sauh
langkah pergi telah dimulai
tanpa menoleh ke arah kembali
menuju penyempurnaan cinta
maka aku pun selalu mengintip cakrawala
**
(Jkt:’21)
MENGINTIP CAKRAWALA-2:
TERSERET MAGNIT
ia, perempuan baru baya, tanpa jeda mengintip cakrawala; membuat degap jantungnya jadi gentar; di tengah kesenyapan pekat malam; jujur, perempuan ini takut; serbuan dan ancaman bayangan membuntut
kangen untuk bertemu sudah tiba, demikian perasaannya sesaat setelah mengintip cakrawala; rasa yang mengalir dari empat penjuru jalan; bermuara pada suatu tempat yang tak terencana; menempel pada dinding sukma seperti paku-paku yang terseret magnit; perempuan ini dan kekasihnya memang tidak sedang sendiri-sendiri; mereka tampak sendirian tapi hanyalah tampak; cakrawala sudah tahu: dua anak manusia ini sendiri-sendiri tapi tidak sendirian
ah, apalah artinya sendiri-sendiri dalam bingkai cinta? ke mana dan di mana-mana, rasa selalu menyatu; tak akan berniat mendua, toh kedua-duanya hanyalah tampak raga tapi jiwa dan hati sudah satu, senyata-nyatanya
MENGINTIP CAKRAWALA-3:
MEMBENTAK KESUNYIAN
perempuan ini membentak kesunyian:”ah, gulita pekat malam! kau menghisap rasa cengengku! membakar rindu di depan mata! menggelinding rasa dari ubun-ubun hingga jari kaki!”
di antara debu-debu jubin ruangan, perempuan ini menegakkan tubuhnya buat berani mengintip cakrawala; meski pundak terasa berat menerima tepukan asmara sang kekasih yang tidak sedang bersamanya; di bawah cakrawala, bayang-bayang kehangatan kekasih menyelimuti sanubarinya seketika; bermuara ke dalam kenangan; menyusun tapak-tapak perjalanan menjadi kisah; tentang dua insan yang saling mencinta.
*) Gerard N Bibang adalah dosen sekaligus penyair kelahiran Manggarai, Flores NTT. Ia adalah penyair yang menahbiskan dirinya sebagai petani humaniora. Gerard saat ini berdomisili di Jakarta.