MENGINTIP CAKRAWALA-4:
TIBA-TIBA
teringat aku tiba-tiba akan kerutan yang berombak di dahiku; dan juga rambutku yang mulai pecah memutih ke sebagian kepalaku; tiba-tiba aku teringat pohon itu, di saat engkau dan aku saat pertama kali bertemu; daun-daunnya yang kering kian hari kian jatuh; hancur di dalam tanah lalu menjadi humus; yahhhh…itu sudah lama berlalu….
aku sesungguhnya tak sanggup lagi berkata apa-apa; aku takut kehilanganmu yang kian menjauh ke sana; persis di saat keriput berkelok dan daun kering berjatuhan; persis di saat kesadaranku terhentak secara sempurna:
“ah, jangan-jangan riwayat cinta kita mungkin akan bernasib serupa! serupa dedaunan kering itu, hanya kelak menjadi humus”
tiba-tiba di telingaku terngiang isakan lirih dari ibuku yang dulu, di suatu saat, pernah berkata: “kita hanya manusia yang naif dan rapuh, yang tak tahu apa-apa kapan pohon kehidupan melepaskan kita dari tangkainya! ”
aduh…aku merunduk bagaikan seorang pecundang yang lusuh; ke cakrawala nun jauh di sana, aku mengintip dari kejauhan, sendiri, seorang diri; aku memang tak bisa apa-apa selain berjaga-jaga setiap waktu untuk mengimani apa yang disebut kebenaran; apa pun isinya, apa pun kemasannya; untuk mendengar apa kata akhir darimu; mungkin itu akan menjadi takdir untukmu dan untukku; mungkin juga menjadi nasib, siapa yang tahu
wahai cakrawala biru nun jauh di sana
kerapuhan ragaku adalah kodratiahku dari sananya
cinta kami adalah takdir
melampaui pola pikir menurut logika murni
MENGINTIP CAKRAWALA-5:
BELUM SELESAI
pagi dan petang adalah hamparan kertas
di atasnya jejak-jejak sunyi bertransfigurasi menjadi puisi
yang adalah getaran jiwa yang tak tertahankan
menjelang dan mendekati keberadaan kekasih di sini
adalah di atas hamparan kertas
aku menitipkan biji mataku mengintip cakrawala
menjejaki jalan sunyi
menyusun narasi yang belum selesai
menyulap musim menjadi warna bunga
membarakan rindu karena yang dinanti-nanti belum datang jua
mengintip cakrawala
adalah caraku berjalan menyusuri sendiri jalan yang dulu pernah dilewati
menziarahi bangunan sederhana dan megah
rahasia waktu ketika pernah berdua di sana
desir angin pun menjadi-jadi antara intipanku dan cakrawala nun jauh di sana
seperti ada yang tertahan di antara deru ombak
mungkin angin musim sedang mengendap di jalan sunyi
di sana ada seorang manusia sedang menyendiri
meniti jejak-jejak sunyi
yah, adalah aku, di sini
sendiri dan seorang diri
mengintip cakrawala dalam sunyi
menyiasati cinta nan abadi, di bumi
MENGINTIP CAKRAWALA-6:
REMBANG PETANG
terdengar seruan dari sekelompok gagak
menjelang rembang petang
mengolok-olok sesosok makhluk yang berlangkah pergi
di jalan sunyi
meninggalkan jejak-jejaknya di atas ribuan pasir pantai
yang berserak-serak
menyapu bersih jejak-jejak yang sudah tercipta
ke cakrawala dibuangnya pandangan
diintipnya dari kesunyian
ah, rembang petang adalah bahasa isyarat
tentang kerinduan yang tak pernah punah
telah diyakininya sebagai kredo
cintanya di bumi tidak diingininya kembali lagi ke titik nol
**
*) Gerard N Bibang adalah dosen sekaligus penyair kelahiran Manggarai, Flores NTT. Ia adalah penyair yang menahbiskan dirinya sebagai petani humaniora. Gerard saat ini berdomisili di Jakarta.