Oleh: Sil Joni*
Tilik, BULIR.ID – Bagi yang bertipe perfeksionis, kesalahan dilihat sebagai ‘aib’ yang memalukan. Karena itu, mereka sangat hati-hati dan berjuang untuk meminimalisasi derajat kesalahan dalam setiap momen penampilan di depan publik.
Efeknya, kita sulit ‘mengukur’ tingkat kemajuan atau perubahan dalam diri mereka sebab semuanya terlihat begitu sempurna dan monoton. Orang yang ‘alergi’ berbuat salah, tentu tak punya kesempatan untuk mengambil hikmah dari setiap tindakan dan perilaku mereka.
Hemat saya, penegasian terhadap ‘dimensi kesalahan’ cenderung mengingkari status ontologisnya sebagai makluk yang terbatas. Factum keterbatasan itu membuat manusia ‘rentan’ terhadap kesalahan. Atas dasar itu, sebenarnya ‘kesalahan’ merupakan hakikat dasariah sebagai manusia.
“Kebenaran itu hanyalah kemungkinan-kemungkinan, sedangkan kesalahan itu suatu kepastian”, tegas filsuf rasionalisme-kritis, Karl Raimund Popper. Pengetahuan dan keterampilan kita pada bidang tertentu hanya bertumbuh melalui koreksi atas kesalahan yang kita buat. Kemampuan menulis misalnya, akan semakin berkembang jika dan hanya jika kita menyadari kesalahan dan kesediaan untuk belajar dari kesalahan itu.
Tidak perlu takut apalagi malu dalam melakukan kesalahan. Hanya dalam dan melalui ‘kesalahan’, kita bisa mengevaluasi perkembangan pengetahuan kita. Kesalahan menjadi semacam ‘alat bantu’ untuk meningkatkan kompetensi berpikir dan bertindak.
Berdiskusi atau berdebat tentang ‘bidang’ yang tidak kita kuasai, tentu bukan hal tabu. Jika analisis atau opini kita tentang sebuah ‘isu’ yang asing dengan basic keilmuan kita tidak benar, tentu itu hal yang lumrah. Yang terpenting kita tahu dan sadar bahwa kita ‘telah melakukan kesalahan’. Jika kita sampai pada level kesadaran semacam itu, maka ada hal baru yang kita timba, yaitu belajar dari kesalahan itu. Sikap rendah hati atau ugahari secara intelektual itu sangat berguna bagi kemajuan cara berpikir.
Sudah tidak terhitung pendapat dan perspektif kami tentang berbagai isu yang ditulis dalam ruang media sosial ini mengandung kesalahan elementer setelah mendapat ‘tanggapan balik’ dari warga-net. Pelbagai jenis kesalahan itu tidak membuat pengetahuan saya berkurang, tetapi justru bertambah sebab kesalahan itu ‘bisa diperbaiki’.
No man is perfect. Tidak ada manusia yang ‘serba tahu’ di dunia ini. Rasionalitas kita agak terbatas untuk memahami secara sempurna semua elemen di muka bumi ini. Kendati terbatas, kita selalu ‘tergerak’ untuk mencari tahu lebih dalam tentang apa yang masih samar dalam pikiran. Risikonya adalah kita pasti ‘tercebur’ dalam kolam kesalahan itu.
Oleh sebab itu, tentu sebuah kekeliruan jika kita ‘mengutuk’ kesalahan demi kesalahan yang dibuat oleh seorang anak atau peserta didik. Pendidikan dan pengasuhan anak, saya kira mesti dijiwai oleh spirit pedagogi berbasis kesalahan itu. Kita mesti bangga ketika anak atau siswa melakukan kesalahan.
Alih-alih ‘memarahi atau mengutuk’ , semestinya, kesalahan menjadi momentum untuk ‘mengarahkan siswa’ dalam menemukan kebenaran. Dengan itu, proses pendidikan kita sebenarnya bukan ‘mentransfer paket kebenaran ilmu’ yang sudah jadi, tetapi membuka ruang dan peluang bagi para siswa untuk bergumul dengan isu atau tema tertentu. Dalam pergumulan itu, kesalahan demi kesalahan pasti terjadi. Tugas guru adalah ‘membantu siswa’ untuk mengoptimalkan kemampuannya dalam menemukan kebenaran di balik kesalahan-kesalahan itu.
Guru coba membantu anak didik untuk berkembang dalam pencarian akan ‘yang benar’. Dalam pencarian itu, tak bisa dielak, para siswa mengalami ‘pengalaman jatuh dan bangun’. Guru mesti hadir dalam momen jatuh (melakukan kesalahan) agar anak didik sadar akan kerapuhan diri dan semakin percaya diri pada kesanggupannya untuk bisa belajar dari kesalahan demi kesalahan dalam hidupnya.
*) Sil Joni merupakan pemerhati masalah sosial dan politik. Saat ini penulis berdomisili di Labuan Bajo, Manggarai Barat, FLores NTT.
Catatan Redaksi: Opini pada kolom ini merupakan pandangan pribadi penulis dan sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.