Oleh: Sil Joni*
Tilik, BULIR.ID – Fokus uraian ini adalah penggunaan Bahasa Indonesia versi tulis yang terpajang dalam pelbagai ruang publik. Ada fenomen yang mengkhawatirkan bahwa kita cenderung ‘menulis’ dalam bahasa asing (Inggris) untuk memberikan informasi atau keterangan singkat sebuah objek di tempat-tempat umum.
Gejala bergesernya Penggunaan Bahasa Indonesia yang terlihat pada papan nama, spanduk, dan baliho yang terpasang di perkantoran, pemukiman, sekolah, rumah sakit, pasar dll, menjadi salah satu keprihatinan para pemerhati dan pencinta Bahasa Indonesia. Kondisi semacam ini tidak boleh dianggap sebagai hal yang lumrah.
Bahasa Indonesia merupakan salah satu simbol nasionalisme. Kesetiaan kita dalam menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam ruang publik, berkaitan erat dengan kadar kecintaan kita terhadap negara ini. Bahasa Indonesia mesti menjadi ‘tuan’ di negeri ini.
Sebetulnya, secara legal, Negara ini sudah mengatur ketentuan bagaimana seharusnya Bahasa Indonesia dipakai dalam menulis sesuatu di ruang publik.
Dalam UU Nomor 24 Tahun 2009 (2011) tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan misalnya, telah diatur tentang penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar di tempat umum. Aturan-aturan itu dijabarkan sebagai berikut.
Pertama, Bahasa Indonesia wajib digunakan untuk nama bangunan atau gedung, jalan, apartemen atau permukiman, perkantoran, kompleks perdagangan, merek dagang, lembaga usaha, lembaga pendidikan, organisasi yang didirikan atau dimiliki oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia (Pasal 36).
Kedua, Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam informasi tentang produk barang atau jasa produksi dalam negeri atau luar negeri yang beredar di Indonesia (Pasal 37).
Ketiga, Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam rambu umum, penunjuk jalan, fasilitas umum, spanduk, dan alat informasi lain yang merupakan pelayanan umum Pasal 38).
Namun, dalam kenyataannya kita masih menjumpai penggunaan Bahasa Asing yang begitu massif dalam ruang publik. Sepertinya kita kurang percaya diri jika informasi atau keterangan itu, ditulis dalam Bahasa Indonesia. Kita menderita kompleks inferioritas ketika berhadapan dengan produk kebudayaan lain.
Beberapa kata Bahasa Inggris yang sering dipakai dan kita baca dalam ruang publik adalah welcome, tailor, rest area, super market, money changer, Man, Ladies, Pantry, Barber Shop, Coffee break, Siloam Hospital, Tourist Information Center, danger, dan masih banyak contoh lain lagi. Tentu saja kata-kata ini tidak dimengerti oleh sebagian besar warga. Selain itu, secara tidak langsung kita hendak ‘membunuh’ hak hidup Bahasa Indonesia di ruang publik.
Perlu disadari bahwa publik itu bermakna umum atau siapa saja. Ruang publik itu ruang umum atau ruang siapa saja dan untuk siapa saja. Ruang publik di Indonesia merupakan ruang umum atau ruang untuk siapa saja khususnya masyarakat Indonesia yang terdiri atas berbagai suku bangsa. Realitas pluralitas yang menjadi penanda identitas kebangsaan itu, mengharuskan kita untuk menggunakan Bahasa Indonesia di ruang publik.
Karena itu, ada dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama, bahasa suku bangsa tertentu tidak boleh digunakan ruang publik. Bahasa Jawa misalnya, tidak boleh menjadi bahasa percakapan di ruang publik. Dengan digunakannya bahasa Indonesia di ruang publik, masyarakat Indonesia dari provinsi atau desa mana pun di Indonesia dapat memahami ungkapan yang ditulis dalam bahasa Indonesia itu.
Kedua, ruang publik juga tidak boleh digunakan sebagai ajang pamer bahasa asing, baik bahasa Inggris maupun bahasa asing lain. Tentu hal itu juga berkenaan dengan pemahaman tentang publik seperti yang dijelaskan di atas. Jika ditulis dalam bahasa asing, sebagian publik kemungkinan tidak memahami keterangan dalam ruang publik itu.
Hal lain yang patut disikapi adalah kekurangcermatan atau kesalahan dalam menggunakan Bahasa Indonesia. Masih banyak ditemukan kesalahan fatal baik dalam hal ejaan, penggunaan huruf kapital, diksi, tanda baca, maupun dari segi logika dan struktur kalimat.
Jadi, Bahasa Indonesia menghadapi dua tantangan serius, yaitu dominasi dan hegemoni Bahasa asing di satu sisi, dan tingkat kemahiran berbahasa yang masih jauh dari standar di sisi lain. Tantangan itu begitu gamblang ketika kita membaca tulisan yang dibuat dan dipajang dalam ruang publik.
*) Sil Joni adalah pemerhati masalah sosial dan politik.
Catatan Redaksi: Opini pada kolom ini merupakan pandangan pribadi penulis dan sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis, tidak mewakili pandangan redaksi Bulir.id.