Perang Pecah di Timur Tengah: Dampaknya terhadap Kehidupan Berbangsa dan Bernegara

0

Oleh: Chairurahman Wahab

Jakarta, BULIR.ID – Ketika perang iran-israel kemarin Kembali menjadi sorotan dunia, seakan kita disadarkan bahwa sejatinya stabilitas dunia ini sangat rapuh. Konflik kekerasan terlebih konflik angkat senjata bukan hanya sekedar menjadi urusan dua negara yang sedang berperang, namun menjadi pemantik ketegangan global yang lebih luas dan kompleks, mengganggu ekonomi, memicu pengungsian massal, bahkan mempolarisasi opini publik dunia.

Indonesia sendiri meski tidak terlibat langsung, bukan berarti bebas dari dampaknya. Di era globalisasi seperti sekarang ini, dimana semua individu dapat terhubung satu sama lain, perang nun jauh di sana tetap bisa menmbulkan efek domino terhadap kehidupan yang kita jalani.

Perang dan Disrupsi Kemanusiaan

Perang bukan hanya peristiwa militer, namun dari kacamata yang lebih besar ini adalah tragedi kemanusiaan. Serangan peluru mungkin hanya menyasar target strategis, tetapi akibatnya menyasar semua, anak-anak, perempuan, warga sipil, fasilitas sosial dan fasilitas umum. Yang runtuh bukan hanya bangunan, tapi harapan, rasa aman, dan masa depan.

Narasi perang yang disiarkan setiap hari lewat media juga menciptakan disrupsi psikologis. Polarisasi narasi “kita vs mereka” menyusup ke dalam percakapan publik, membentuk opini yang kerap kali tidak rasional. Di Indonesia, hal ini bisa memicu ketegangan antarwarga, terutama dalam masyarakat yang majemuk dan mudah terpengaruh arus informasi tidak utuh.

Ketahanan Nasional dalam Ujian Global

Dampak ekonomi menjadi sektor yang paling cepat terasa. Ketika konflik bersenjata mengganggu jalur distribusi global, seperti yang terjadi dalam perang Rusia-Ukraina atau ketegangan di Selat Hormuz, harga energi melonjak. Indonesia, yang masih bergantung pada impor bahan bakar minyak dan bahan pangan, langsung terasa dampaknya.

Situasi ini menguji sejauh mana ketahanan nasional kita cukup kuat untuk menghadapi krisis eksternal. Bukan hanya soal cadangan logistik, tapi juga daya tahan sosial. Apakah masyarakat bisa tetap tenang? Apakah pemerintah mampu menjaga keseimbangan antara kepentingan politik luar negeri dan kebutuhan rakyat?

Tantangan untuk Tetap Konsisten pada Konstitusi dan Literasi Perdamaian

Sikap Indonesia atas konflik-konflik dunia sering kali berada di posisi “netral aktif”. Tapi dalam konteks sekarang, netralitas tidak bisa berarti diam. Konstitusi Indonesia menegaskan bahwa salah satu tujuan politik luar negeri adalah “ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.” Ini mandat moral dan politik yang tidak bisa diabaikan.

Indonesia perlu bersuara lebih jelas dalam setiap konflik internasional, apalagi jika menyangkut pelanggaran hak asasi manusia dan hukum kemanusiaan internasional. Ini bukan semata soal diplomasi, tapi bentuk komitmen pada prinsip kemanusiaan yang jadi fondasi berdirinya negara ini.

Kehidupan berbangsa tidak bisa lepas dari realitas dunia. Semakin dini masyarakat memahami dinamika global, semakin siap pula mereka menyikapinya dengan rasional. Tanpa itu, kita hanya menjadi penonton yang terseret arus, bukan subjek aktif dalam sejarah dunia.

Perdamaian Harus Diperjuangkan

Perang selalu menimbulkan kerugian yang sangat besar, bukan hanya infrastruktur yang hancur, tapi juga dalam psikologis dan benak kolektif masyarakat global. Di tengah dunia yang semakin terfragmentasi oleh konflik, ketimpangan, dan kebencian, bangsa Indonesia dihadapkan pada pilihan, menjadi bagian dari suara-suara yang menyerukan perdamaian, atau hanya menjadi penonton pasif.

Menjadi bangsa yang besar bukan berarti punya senjata canggih atau pengaruh politik global, tapi punya komitmen kuat untuk memperjuangkan kemanusiaan dan keadilan seperti cita-cita para pendiri bangsa Indonesia dan juga kembali pada cita-cita adiluhur bangsa Indonesia untuk melaksanakan perdamaian abadi.