Tabur, BULIR.ID – Sidang perdana atas kasus yang menimpa eks Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Mohammad Rizieq Shibab yang digelar secara online Jum’at (19/3/21) kemarin, melahirkan polemik baru. Terdakwa berada di Rumah Tahanan Bareskrim, POLRI di Jakarta Selatan sementara persidangan itu sendiri diselenggarakan di PN Jakarta Timur.
Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan (TP3) menilai hal ini secara jelas merugikan MRS selaku terdakwa. Secara teknis persidangan ONLINE tersebut ternyata mengalami ganggungan audio secara fatal, dimana suara Terdakwa tidak bisa jelas dimengerti seluruh hadirin persidangan. Sebaliknya bagi Terdakwa, MRS, juga tidak bisa mendengar secara jelas apa yang diucapkan oleh pejabat-pejabat pengadilan di persidangan.
Selain itu terjadi juga diskoneksi antara hakim dan jaksa di satu pihak, dan Terdakwa di lain pihak.
Secara hukum, persidangan ONLINE seperti itu adalah suatu CONTRA LEGEM atau Pelanggaran Hukum secara Nyata oleh lembaga peradilan Indonesia. Suatu pencederaan atas azas “fair trial” pada umumnya, dan secara khusus merupakan pemangkasan hak terdakwa untuk membela diri di depan persidangan.
KUHAP adalah aturan main dalam beracara di pengadilan pidana. KUHAP diberlakukan dengan undang-undang (UU No.8/1981), yang kedudukannya dalam hirarkhi perudang-undangan adalah urutan ketiga setelah UUD 1945 dan TAP MPR.
Sementara itu persidangan ONLINE, diberlakukan berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No.4/2020, yang kedudukannya bukan saja dibawah UU, tetapi juga menurut UU No.12 /2011, PERMA tidak dikenal dalam hirarkhi perundang-undangan di Indonesia.
Menurut KUHAP, Terdakwa harus dihadapkan ke ruang sidang secara fisik dan dalam keadaan bebas. Berarti perintah KUHAP adalah mengharuskan persidangan dilakukan secara OFFLINE dan tidak dalam keadaan ditahan. Untuk menyimpangi ketentuan ini, maka harus merubah KUHAP dengan instrumen UU juga. Tidak boleh disimpangi dengan perundang-undangan selevel PERMA.
“Atas dasar hal-hal di atas, mengingat kasus HRS ini tak dapat dipisahkan dari peristiwa pembunuhan enam anggota Laskar FPI, maka Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan (TP3) Enam Laskar FPI menyatakan sikap,” bunyi rilis TP3 yang diterima Redaksi BULIR.ID, Selasa (23/3).
Pertama, mendesak PN Jakarta Timur yang mengadili kasus HRS agar menjalankan proses peradilan secara konsisten sesuai dengan aturan hukum yang berlaku dengan senantiasa menghadirkan terdakwa secara OFFLINE di muka persidangan.
“Kedua, meminta MA agar mengawasi dan memeriksa Jaksa maupun Hakim yang mengadili HRS yang menunjukkan sikap tidak independen, melanggar HAM, serta mengadili dengan tidak berasaskan presumption of innocent,” tegas pernyataaan itu.
Ketiga, mengingat kasus ini dinilai mengada-ada dan menjadi sebuah peradilan politik, maka transparansi dan makna “terbuka untuk umum” harus benar-benar dijalankan sebaik mungkin. Akses Penasehat Hukum kepada terdakwa dibuka seluas-luasnya demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Keempat, terhadap perilaku tak pantas yang dilakukan oknum Jaksa maupun petugas yang terlibat dalam proses peradilan HRS, merupakan catatan yang harus ditindaklanjuti dengan sanksi hukum yang semestinya. Penghormatan kepada siapapun harus dilakukan, terlebih HRS adalah da’i, ulama, dan salah satu tokoh Islam.
“Kelima, mendesak agar memberi penangguhan penahanan kepada HRS mengingat yang bersangkutan telah cukup usia, kondisi kesehatan, serta jaminan untuk tidak lari atau menghilangkan bukti. Wibawa hukum dan pengadilan patut untuk dipulihkan kembali setelah dua kali persidangan yang memperlihatkan kegaduhan, invalid secara hukum, dan tidak menunjukkan proses peradilan yang berwibawa,” tutup bunyi pernyataaan itu.
Demikian gugatan TP3 yang ditandatangani M. Amien Rais selaku Dewan Penasehat dan Abdullah Hehamahua selaku ketua TP3 dalam Siaran Pers yang disampaikan pada tanggal 22 Maret 2021 di Jakarta.*