Tangan Besi Gubernur Viktor Laiskodat

0
Rian Agung, S.H adalah paralegal, Alumnus Fakultas Hukum Universitas Esa Unggul, Jakarta

Oleh Rian Agung, S.H*)

Tilik, BULIR.ID – Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT), Viktor Bungtilu Laiskodat (VBL) kembali bikin gaduh. Kali ini Ia berhadapan langsung dengan masyarakat Sumba Timur. Dalam pertemuannya dengan masyarakat di sana (Sumba-red), Viktor secara terang-terangan mengancam memenjarakan warga dan mengatai mereka monyet. Detailnya bisa disaksikan secara langsung lewat video adu argumentasi Viktor Vs Masyarakat yang sudah tersebar di media sosial.

Pemerintahan Tangan Besi

Sikap dan gaya komunikasi VBL di atas, secara tidak langsung telah menelanjangi dirinya sendiri sebagai pemimpin yang bergaya otoriter dan memerintah dengan tangan besi. Viktor sesungguhnya telah kehilangan empati dan keberpihakan.

Ia cenderung ingin menang sendiri dan mengabaikan suara orang lain termasuk suara rakyat yang ia pimpin. Pada level yang paling genting, orang dengan tipe kepemimpinan tangan besi akan menggerakkan bawahan termasuk rakyatnya sendiri dengan pendekatan yang mengandung unsur paksaan dan ancaman.

Persis itulah gaya Viktor saat berdialog dengan salah satu tokoh adat Sumba Timur terkait sengketa tanah di wilayah itu. Konon, tanah ini diakui oleh masyarakat sebagai tanah ulayat tetapi Viktor mengklaimnya sebagai tanah Pemda.

Sebenarnya tidak terlalu sulit untuk mengetahui alas hak tanah sebagai tanah ulayat jika mengacu pada Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), yaitu UU No. 5 tahun 1960. UU ini mengakui adanya hak ulayat yang sekurang-kuranya dibuktikan dengan dua syarat, yakni mengenai eksistensinya dan mengenai pelaksanaanya.

Di pasal 3 UU ini dijelaskan, hak ulayat diakui, “sepanjang menurut kenyataanya masih ada”. Dengan demikian, tanah ulayat tidak dapat dialihkan menjadi tanah hak milik apabila tanah ulayat tesebut menurut kenyataan masih ada, misalnya dibuktikan dengan adanya masyarakat hukum adat bersangkutan atau kepala adat bersangkutan.

Sampai di sini, saya kira sudah sangat jelas, tuntutan masyarakat sangat masuk akal dan punya landasan hukum yang kuat. Lebih-lebih mereka yang datang menemui Gubernur waktu itu adalah perwakilan komunitas adat. Mereka yang telah lama tinggal dan menggantungkan hidupnya pada kekayaan alam sekitar, dan tanah bagi mereka adalah Ibu yang menyusui agar bisa bertahan hidup.

Sementara yang berdebat panas dengan Gubernur adalah Ketua adatnya, orang yang sangat dihormati di kalangan masyarakat adat Sumba tetapi dikatai Monyet oleh Tuan Gubernur.

Tetapi saya bisa memaklumi mengapa VBL ngotot mengkalim tanah tersebut sebagai tanah Pemda. Alih-alih memperjuangkan status tanah Pemda yang kemudian disertai penjelasan, “akan digunakan untuk kepentingan umum” (membangun peternakan Sapi), Viktor tahu betul implikasi hukum ketika tanah itu beralih status menjadi milik Pemda (Negara).

Berdasarkan UUPA, status tanah ulayat dapat dijadikan hak milik perseorangan apabila status tanah ulayat tersebut sudah menjadi “tanah negara”. Karena itu kuat dugaan saya, manuver sang gubernur dengan membawa-bawa Pemda tidak lebih dari kamuflase untuk mengamankan agenda pribadinya.

Dugaan ini mendapatkan titik terangnya jika dihubungkan dengan temuan akun YouTube Kanal Anak Bangsa soal keterlibatan anak Kandung VBL sebagai pengelola ternak Sapi yang dalam rencananya akan dibangun di Sumba Timur itu.

Jika ini benar adanya, maka otoritarianisme kepemimpinan VBL menemukan bentuknya yang sempurna. Sebab salah satu kecenderungan pemimpin otoriter adalah menjadikan kekuasaan sebagai sarana untuk mengakumulasi modal dan kekayaan pribadi, kelompok dan kroni-kroninya.

Akibat lanjutnya, Pemerintahan Provinsi, juga Kabupaten/Kota sebagai keterwakilan Negara tidak lebih dari sebuah Organisasi atau perusahaan yang dianggap sebagai milik pribadi dan atasan memiliki hak penuh atas semuanya itu. Selebihnya, rakyat dan bawahan hanyalah sebagai alat semata untuk mencapai tujuan perusahaan atau organisasi (negara).

Rekomendasi

VBL tentu tak ingin dikenang sebagai pemimpin bergaya otoriter dan berwatak premanisme. Untuk itu, belum ada kata terlambat untuk mengevaluasi diri, sistem, kebijakan dan komunikasi-komunikasi politik.

Langkah paling awal untuk mengubah citra kepemimpinan itu adalah membuat pernyataan publik dengan meminta maaf dan mengakui kelemahan-kelemahan pemimpin, baik sebagai individu maupun sebagai organisasi (Satuan kerja). Ini akan kelihatan lebih elegan dan gentlemen.

Setelah itu, VBL harus memiliki kesediaan dan keberanian untuk mengubah persepktif, kultur, pola pendekatan dan gaya komunikasi politik yang berorientasi pada penguatan etika berdemokrasi. Penguatan etika demokrasi berlandaskan pada satu cara pandang yang khas, yakni: pemimpin adalah pelayan, suri tauladan, pembawa damai dan sumber kesejukan.

Sebagai pelayan, pemimpin harus memiliki hati yang tulus untuk melayani kompleksitas kebutuhan masyarakat yang dilayani. Kepemimpinan juga diuji sejauh mana ia membawa kedamaian dengan tidak menyulut api konflik, caci maki dan umpatan di tengah-tengah masyarakat.

Pada level kinerja, ia harus terus mengasah profesionalitas, kapabilitas sehingga kerja-kerja pemerintahan berjalan maksimal dan mencapai target. Yang tidak kalah penting, pemimpin harus memiliki benteng pertahan diri yang kuat dengan terus membina integritas diri sehingga tidak mudah jatuh dalam kubangan korupsi, kolusi dan nepotisme. Sebab kalau ini yang terjadi, kita tidak layak disebut pemimpin melainkan perampok, preman dan diktator.

*) Rian Agung, S.H adalah paralegal, Alumnus Fakultas Hukum Universitas Esa Unggul, Jakarta