Menjelajahi Pemikiran Aristoteles: Substansi, Esensi, dan Aktualitas Ada

0

FILSAFAT, Bulir.id – Aristoteles merupakan salah satu tokoh paling berpengaruh dalam filsafat Barat, terutama dalam ranah metafisika. Gagasan-gagasannya terus membentuk tidak hanya filsafat tetapi juga sains, etika, dan bahkan pemikiran politik modern.

Dalam metafisikanya, Aristoteles memperkenalkan konsep-konsep inovatif yang mendefinisikan ulang cara kita memahami realitas. Ia menyelidiki hakikat ada, mengajukan pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang ada, mengapa mereka ada, dan apa hakikat sejati mereka.

Karya metafisika Aristoteles berpusat pada gagasan tentang substansi, esensi dan perbedaan antara potensialitas dan aktualitas. Gagasan-gagasan ini tidak hanya menjadi tulang punggung sistem metafisikanya tetapi juga berfungsi sebagai fondasi untuk memahami dunia di sekitar kita.

Ada sebagai Ada

Pemikiran metafisika Aristoteles terutama berkaitan dengan pemahaman “ada” atau, dalam bahasa Yunani, “ousia” sebagai ada. Ini berarti bahwa metafisika, bagi Aristoteles, adalah studi tentang aspek-aspek realitas yang paling fundamental, prinsip-prinsip dan sebab-sebab yang berlaku bagi segala sesuatu.

Aristoteles menyebut bidang studi ini sebagai “filsafat pertama” karena membahas aspek-aspek eksistensi yang paling mendasar dan universal. Perbedaan antara “filsafat pertama” dan cabang-cabang filsafat lainnya penting: sementara ilmu-ilmu lain seperti biologi atau fisika berfokus pada aspek-aspek realitas tertentu, metafisika berfokus pada ada dalam pengertiannya yang paling umum.

Penyelidikan metafisika Aristoteles tidak sekadar abstrak; ia bertujuan untuk menjawab pertanyaan: Apa hakikat realitas itu sendiri? Apa yang mendasari segala sesuatu yang ada?

Bagi Aristoteles, segala sesuatu yang ada memiliki “substansi”, dan substansi inilah yang menjadi subjek utama penyelidikan metafisika. Namun, apa sebenarnya substansi itu, dan bagaimana kaitannya dengan segala sesuatu di dunia ini? Di sinilah Aristoteles memperkenalkan gagasan tentang forma, materi, dan perbedaan potensialitas-aktualitas yang terkenal, yang membentuk inti kerangka metafisikanya.

Konsep Substansi

Substansi (ousia) merupakan inti dari sistem metafisika Aristoteles. Baginya, substansi adalah sesuatu yang ada secara independen dan merupakan realitas fundamental yang menopang segala perubahan. Substansi bukan sekadar objek atau benda yang terisolasi; ia merupakan gabungan antara forma dan materi.

Tidak seperti Plato, yang percaya pada Forma-forma abstrak dan abadi yang ada terpisah dari dunia fisik, Aristoteles berpendapat bahwa forma dan materi tidak dapat dipisahkan dalam dunia benda-benda nyata. Setiap substansi, menurut Aristoteles, merupakan gabungan dari forma (hakikat esensialnya) dan materi (keberadaan fisiknya).

Ketika Anda melihat sebuah kursi, misalnya, Anda melihat material fisiknya (kayu, paku-pakunya) dan forma (desain yang membuatnya dikenali sebagai kursi). Bagi Aristoteles, baik forma maupun materi sama-sama nyata dan tidak dapat eksis tanpa satu sama lain.

Materi adalah substansi dasar yang memberi kursi identitas khusus di dunia fisik, sementara bentuklah yang menjadikannya sebuah “kursi”, alih-alih, katakanlah, sebuah meja. Dengan demikian, substansi adalah kombinasi bentuk dan materi yang eksis di dunia nyata.

Forma dan Materi: Sifat Dualitas Realitas

Metafisika Aristoteles berakar pada gagasan bahwa segala sesuatu di dunia merupakan gabungan dari dua prinsip dasar: forma dan materi. Dualitas ini memungkinkannya menghindari ekstremisme para filsuf kuno lainnya, seperti idealisme Plato dan materialisme kaum atomis.

Teori forma dan materi Aristoteles menciptakan pandangan dunia yang seimbang, di mana segala sesuatu tidak sepenuhnya abstrak maupun sepenuhnya fisik.

Bagi Aristoteles, forma bukan sekadar bentuk atau struktur suatu objek, melainkan esensinya hal yang menjadikannya seperti itu. Forma pohonlah yang menjadikannya pohon, bukan batu atau kursi. Materi, di sisi lain, adalah bahan penyusun pohon, kayunya, daunnya, dahannya.

Forma dan materi bukanlah entitas yang terpisah; keduanya saling terkait erat, dengan materi yang memberikan bentuk eksistensi fisik di dunia. Bersama-sama, keduanya membentuk substansi, yaitu sesuatu yang ada di dunia dan dapat berubah.

Hakikat dan Eksistensi

Ketika Aristoteles berbicara tentang “esensi” suatu benda, ia merujuk pada hakikat sejatinya, serangkaian sifat atau karakteristik yang membentuknya. Esensi berkaitan erat dengan forma, karena forma suatu benda merangkum esensinya.

Esensi pohon adalah ia tumbuh dari tanah, bercabang, berdaun, dan menghasilkan oksigen. Inilah hakikat esensialnya, hal-hal yang harus dimilikinya agar dapat dikenali sebagai pohon. Esensi suatu benda adalah yang memberinya identitas.

Namun, esensi saja tidak menjelaskan hakikat sejati suatu benda. Ia juga harus ada. Ada berarti hadir di dunia, menjadi sesuatu yang memiliki aktualitas. Jadi, bagi Aristoteles, menjadi sesuatu berarti memiliki esensi dan eksistensi.

Esensi berkaitan dengan apa adanya sesuatu, dan eksistensi berkaitan dengan fakta bahwa sesuatu itu hadir di dunia. Ketika digabungkan, esensi dan eksistensi menjadikan sesuatu nyata di dunia.

Gagasan-gagasan ini membantu Aristoteles menjelaskan bagaimana makhluk yang berbeda dapat berbagi esensi yang sama (misalnya, semua pohon berbagi esensi “kepohonan”) tetapi tetap menjadi entitas yang berbeda (setiap pohon adalah eksistensi yang terpisah dan individual).

Perbedaan Potensial-Aktualitas: Dari Kemungkinan ke Realitas

Mungkin aspek paling terkenal dari pemikiran metafisika Aristoteles adalah pembedaannya antara potensialitas (dunamis) dan aktualitas (energeia). Pembedaan ini penting untuk memahami perubahan dan perkembangan di dunia alami.

Aristoteles menggunakan pembedaan ini untuk menjelaskan bagaimana segala sesuatu di dunia berubah dari potensial menjadi aktual, dan bagaimana proses ini membentuk dasar bagi pertumbuhan, gerak, dan bahkan tujuan akhir segala sesuatu di alam semesta.

Potensialitas mengacu pada kapasitas atau kemungkinan sesuatu untuk menjadi sesuatu yang lain. Secara sederhana, potensialitas adalah tentang apa yang mungkin terjadi. Misalnya, biji mangga memiliki potensi untuk menjadi pohon mangga, tetapi belum menjadi pohon mangga.

Aktualitas, di sisi lain, adalah pemenuhan potensi ini merupakan apa adanya sesuatu ketika telah mencapai bentuk penuhnya. Biji mangga yang telah tumbuh menjadi pohon mangga adalah contoh aktualitas; pohon itu bukan lagi sekadar potensi, melainkan wujud yang sepenuhnya terwujud.

Pandangan Aristoteles adalah bahwa segala sesuatu di dunia ini merupakan campuran antara potensialitas dan aktualitas. Segala sesuatu berada dalam keadaan potensialitas hingga mereka mengaktualisasikan bentuk inherennya. Proses menjadi, atau “entelechy” (dari bahasa Yunani “entelecheia”, yang berarti “berakhir di dalam”), adalah pengembangan potensi ini menjadi aktualitas.

Proses ini tidak acak atau tanpa tujuan; melainkan, bagi Aristoteles, bersifat teleologis, yang berarti bahwa segala sesuatu bergerak menuju tujuan atau akhir tertingginya (telos). Gagasan tentang perubahan yang didorong oleh tujuan ini fundamental untuk memahami bagaimana realitas berkembang, menurut Aristoteles.

Penggerak yang Tak Digerakan: Tuhan dan Penyebab Perubahan

Saat Aristoteles mengeksplorasi hakikat perubahan dan gerak di dunia, ia memperkenalkan konsep “Penggerak Tak Digerakan” sebuah elemen kunci dari pemikiran metafisikanya. Dalam “Metafisika”, Aristoteles berpendapat bahwa semua gerak di alam semesta pasti memiliki sebab, dan pasti ada sebab utama yang tak tergerak. Inilah Penggerak Tak Digerakan, yang merupakan aktualitas murni dan tidak memiliki potensialitas. Ia adalah sebab utama dari segala sesuatu yang ada, sumber dari semua gerak dan perubahan di alam semesta.

Penggerak yang Tak Digerakan, menurut Aristoteles, juga merupakan apa yang bisa kita sebut “Tuhan.” Namun, konsep Tuhan dalam Aristoteles bukanlah dewa yang personal dan antropomorfik seperti dalam banyak tradisi keagamaan. Sebaliknya, Tuhan dalam Aristoteles adalah aktualitas yang sempurna dan tak tergoyahkan, yang hakikatnya adalah merenungkan dan memahami wujud tertinggi dari keberadaan itu sendiri. Perenungan ini, pada gilirannya, menyebabkan segala sesuatu di alam semesta bergerak dan berubah. Tuhan, bagi Aristoteles, adalah prinsip tertinggi realitas, sebab pertama yang menjelaskan keberadaan semua sebab lainnya.

Kesimpulan: Kedalaman Metafisika Aristoteles

Metafisika Aristoteles adalah sistem yang mendalam dan kompleks yang telah memengaruhi pemikiran filsafat selama berabad-abad. Dengan memperkenalkan konsep-konsep kunci seperti substansi, esensi, dan perbedaan potensialitas-aktualitas, ia menyediakan kerangka kerja untuk memahami dunia sebagai proses dinamis menjadi dan mengaktualisasi.

Dunia bukanlah kumpulan objek yang statis; dunia adalah realitas yang hidup dan berubah di mana segala sesuatu berjuang mencapai potensi penuhnya. Perspektif tentang hakikat realitas ini tidak hanya membentuk sistem-sistem filsafat selanjutnya, tetapi juga meletakkan dasar bagi perkembangan sains, etika, dan teologi modern.*