Catatan Pinggir Bulir: Harga Sebuah Kota

0

Oleh: Gery

OPINI, Bulir.id – Salah satu lagu yang paling populer dari Ahmad Albar tahun 80-an adalah lagu berjudul “Rumah Kita”. Lagu ini seolah melukiskan dilema atau tegangan antara dua dunia, dunia yang ideal dan dunia yang chaos; dunia dalam ketakjuban dan kecemasan. Dunia perkotaan yang bagi sebagian orang dirasa paling aman tapi terancam sekaligus.

Kota menyimpan apa yang terlihat dan tersembunyi seen dan unseen. Bagi seorang planolog kota adalah sebuah keteraturan yang ideal karena itu mesti ditata dengan sebuah perspektif tertentu. Namun pada dasarnya, kota adalah sebuah cerminan fenomenologis dengan segala aspek di dalamnya.

Dalam kacamata Marxis, kota adalah sebuah representasi kelas. Relasi yang dibangun di dalamnya adalah relasi kekuasaan. Represi dan ekslusi berjalan sekaligus. Barometernya adalah profesionalisme dan integritas pasar. Apapun itu, kota selalu berwajah ganda. Di setiap sudut metropolitan selalu ada kisah dari mereka yang terpinggirkan.

Kota tetaplah kota sebagaimana diingat banyak orang. Ia merupakan sesuatu yang tak terdefinisikan. Batas-batas kebudayaan dan moral di kota selalu terdekonstruksi (Geertz) atau ter-deteritorialisasi. Inilah sebuah proses yang telah melahirkan privatisasi berbagai praktik sosial dengan pemaknaan berbeda dengan konteks yang general. Alhasil Identitas parsial terleburkan ke dalam bentuk yang univerasal. Meski yang universal itu pun tak selalu bisa diukur selain berupa kecendrungan yang dipaksakan. Sebab yang universal sendiri tetap problematis, setidaknya bagi kaum postmodernisme. Entahkah universalisme itu mungkin, mengingat kita selalu berbeda dalam beberapa hal?

Kota tak pernah bisa memberikan lokasi yang tepat atas keberadaan kita. Kota tentu menakjubkan, dipandang dan berfoto selfie. Di balik kemegahannya, ia selalu ambigu, ia selalu menyembunyikan sesuatu. Keajaibanynya membutakan. Tetapi seorang, pelacur seperti Aminah dalam novel Pramudia Anantatur tahu bahwa di dalam kota ada kekuasaan, represi dan eksklusi. Dari subjektivitas yang dalam ia menatap kota dari lorong yang asing.*


*Gery merupakan salah satu alumnus di Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero (IFTK).  Di tengah kesibukannya sebagai sfat pengajar di salah satu sekolah di Jakarta, ia selalu meluangkan waktu  untuk menulis berbagai artikel dan opini.