Cerpen “Pakai Masker”

0

Oleh: Marsel Koka

Akan tiba saatnya,
Kau dan aku bagai ratu dan raja,
Berjanji menjadi sepasang kekasih,
Hingga keabadian.”

Puisi pendek itu dikirimkan Sandro pada Santy kekasih hatinya. Tak banyak kata-kata yang diucap. Santi hanya tersenyum kecil lalu diam.

Beberapa menit setelah Ia membalas. Singkat. Katanya “Sandro, Kau adalah tubuh puisiku dan mawar di taman hatiku. Ijinkan aku bermekaran bersamamu hingga keabadian.”

Tinggal hitungan hari saja, Sandro dan Santy menikah. Segala urusan sudah dipersiapkan. Acara pernikahan pelan-pelan dirancang. Gaun pengantin sudah dijahit dan dites. Cocok untuk kedua pasangan.

Undangan sementara diprint dan siap dibagikan. Pokoknya semuanya sudah dipersiapkan, tinggal tunggu hari H. Hanya urusan adat yang belum dibuat. Namun dalam waktu dekat akan terjadi.

Katanya akan ada pesta pernikahan sederhana. Setelah berkat nikah di Gereja, ada resepsi kecil-kecilan bersama keluarga besar baik dari pihak Santi maupun Sandro. Pokoknya tidak mewah tetapi yang datang pasti akan puas dan bahagia tentunya.

Di hari pernikahan Santy terlihat sangat cantik di balik gaun pengangtinya yang putih bersinar. Dia akan sangat angun apalagi dengan sedikit makeup dan segala macamnya. Sandro juga demikian. Sebagai pengantin pria, dia akan tampil menawan dan gagah.

Pokoknya mereka akan menjadi raja dan ratu untuk sementara waktu. Udangan yang datang akan membawa kado-kado special. Ada yang berukuran besar, ada yang berukuran kecil. Rasa-rasanya begitu istimewa. Akan ada banyak ucapan dan nasihat. Ramai menghiasi diding-dinding facebook, instagram, whatApp, dan twiter. Di hari penikahan, langit dan bumi akan mendoakan mereka. Itu pasti.

***

Malam itu seperti biasa. Setelah makan malam Santy dan Sandro duduk di sofa sambil mengarah ke TV. Duduk sangat dekat, sangat erat. Tak ada lagi jarak yang memisahkan keduannya.

Mungkin karena keduanya merasa saling memiliki, makanya mereka tak ingin ada yang memisahkannya lagi. Atau juga karena hari yang paling mereka nantikan semakin dekat, makanya mereka ingin merayakannya cepat-cepat. Barangkali.

Di hadapan TV, Sandro sekali dua kali merangkul Santy, menyeka rambut dan mengecup keningnya. Ia benar-benar sayang pada Santy. Setelah itu Santi membalas hal yang sama. Pantas sekali. Apalagi mereka adalah sepasang kekasih yang sedang menunggu hari jadi.

Namun ada yang berbeda malam ini. Di malam yang sudah-sudah, mereka lebih suka menonton film Korea atau film-film semacamnya, namun malam ini Santy lebih memilih menonton berita.

Ia terus-terus memaksa Sandro untuk sama-sama menonton berita nasional seputar Corona. Fokus dan serius sekali. Ketika mendengar angka korban terus berjatuhan, airmatanya jatuh. Tumpah ruah membasahi mungil pipinya. Ia merasa sangat sedih sekali.

Setelah malam sudah semakin larut, TV dimatikan. Pintu-pintu rumah dikunci lalu mereka menarik selimut masing-masing dan tidur. Di tempat tidur Sandro coba memejamkan matanya namun tak bisa.

Ia masih heran pada Santi kekasihnya. Di malam yang sudah-sudah, Ia tidak begitu peduli dengan Corona dan segala macamnya, selain film cinta dan drama romanstis kesukaannya.

***

Hari untuk urusan adat Sandro dan Santy sudah tiba. Keluarga dari pihak Sandro mulai berdatangan. Ada yang pake masker, ada yang tanpa masker. Ada yang dipakai namun tidak sungguh-sungguh dipakai secara benar.

Di pintu masuk ada sebuah tong berukuran kecil. Di sampingnya ada tulisan yang berbunyi, “cuci tangan di sini”.

Hampir semua yang datang antri menunggu giliran masing-masing, namun ada juga yang masuk tanpa cuci tangan. Langgar prokes.

Setelah sampai dalam rumah juga sama. Ada beberapa yang tetap bermasker namun ada yang cepat-cepat buka. Katanya tidak bisa bernafas dengan baik. Oke.

Ada pula yang justru saling mengejek. Katanya, mendingan takut Tuhan dari pada takut Corona, benda tidak jelas itu.
Beberapa menit setelahnya, Sandro dan Santy datang di hadapan keluarga besar. Dua-duanya pakai masker.

Sama seperti yang lain, setelah cuci tangan, keduanya masuk rumah lalu bersalaman dengan keluarga yang lain. Ramai dan bahagia sekali di acara itu. Mereka pulang setelah acara sudah benar-benar selesai bersama keluarga yang lain.

Persis ketika tiba di rumah, Santy bersin satu kali, lalu dua kali, tiga kali, dan terus-terusan. Pilek campur batuk sepanjang malam hingga pagi. Hari berikutnya juga sama, bahkan tambah parah. Sesak nafas sampai tak sadarkan diri.

***

Jangan lupa pakai masker! Jaga dirimu dan juga cinta kita!
Itu kalimat terakhir Santy megingatkan Sandro kekasihnya, sebelum Ia buru-buru diangkut mobil ambulance.

Malam itu langit suram, tak berbintang. Bulan murung ditutupi awan tebal. Ia sendirian di Rumah Sakit. Tanpa anggota keluarga.

Setelah tiga hari bergulat dengan Corona, dalam kesepian ruangan ICU, Santi meninggal. Sendirian. Berdua dengan tabung oksigen, bertiga dengan jarum suntik, selebihnya infus dan obat-obatan yang belum selesai diminum.

Di kamar ICU itu, Santy pergi tanpa kecupan Sandro kekasihnya. Dia perpisah tanpa ada tangis anggota keluarga dan kerabat kenalannya. Terkapar dalam ketakberdayaan hanya peti mayat yang siap membungkus tubuhnya. Tanpa ada tabur bunga, tanpa pesan, tanpa berkat dan asap dupa. Dia sendirian pergi bersama kesunyian makam.

***

Kehilangan dan penyesalan. Itu perasaan yang paling kentara di wajah Sandro. Ia benar-benar remuk dan hancur. Rencana perkawinan dan segala macamnya, hanya khayalan yang tak benar-benar kesampaian.

Sandro mulai mengerti ternyata kematian itu sangat tipis dan mudah sekali. Ia bisa datang kapan saja dan di mana saja dengan berbagai cara. Seperti pencuri. Bebas dan pergi tanpa beban. Pasti dan akan.

Di depan pintu rumah sore itu, seperti yang tak pernah ia duga bahwa itu akan menjadi yang terakhir dan selamanya ia melihat Santy. Air mata yang Ia tumpahkan satu-satunya menjadi air mata kesedihan. Setelahnya, hanya perpisahan yang tak akan pernah datang kembali.

Jangan lupa pakai masker, jaga dirimu dan jaga cinta kita. Itu kalimat satu-satunya yang masih diingat Sandro. Yang lainnya Ia tak peduli.

Ia baru benar-benar percaya bahwa Corona itu mematikan, ketika Santy kekasihnya dicabut hidupnya dalam waktu yang tak pernah ia duga.

Tenyata orang yang menjadi belahan jiwanya menjadi satu dari ribuan yang pergi dalam kesuyian makam. Orang yang seharusnya dapat menyembuhkan luka dan duka dihatinya juga pergi tanpa kata terakhir.

“Santy, aku merindumu di sini, sejak fajar merekah hingga senja meremang. Namun hadirmu tidak mungkin lagi menjadi nyata, karena aku hanya memeluk kehampaan angan. Mimpi yang kita gantungkan di menara tertinggi, telah diraib oleh maut dalam waktu yang tak pernah kita mengerti. Kita adalah sepasang kekasih yang berpisah sebelum saling menyatuh. Kau adalah rinduku yang tak kesampaian,” batin Sandro.

Sampai cerita selesai ditulis, Sandro masih diam dalam bisu. Kepergian Santy kekasihnya, membikin lidahnya kaku untuk berbicara. Ya, gejolak jiwanya tak mampu lagi menemukan kata-kata.

Sekali lagi, kematian selalu meningalkan luka dan kebisuan.
Ia benar-benar berduka. Terpekur di sudut rumah sambil mengenakan masker di mulutnya. Hanya satu kata yang sempat keluar dari mulutnya. Jangan lupa pakai masker.*

 


*Penulis: Marsel Koka merupakan salah satu alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero kelahiran Minsi-Riung Barat, Bajawa, Flores-NTT. Kini ia mendedikasikan serta mempersembahkan dirinya sebagai pekerja di ladang Tuhan. Sekarang ia Tinggal  di Rogasionist Maumere-Flores, sebuah rumah pembinaan bagi para calon pekerja di ladang Tuhan.