Filosofi Dari Kata Tanya “Mengapa”

Manusia tak bisa lepas dari bertanya. Setiap pertanyaan punya maksud dan tujuan tertentu. Begitu pula setiap kata tanya punya filsafat tersendiri.

0

Utama. Bulir.id. Manusia punya insting dasar untuk bertanya: “Mengapa?” Manusia tidak hanya ingin “mengetahui”, melainkan juga ingin “mencari sebab” atau “mengetahui alasan”; ia ingin “memahami”. Insting dasar mencari sebab hal ikhwal ini sekaligus salah satu hal paling penting dalam pendidikan. Mengapa?

Pertama; mengetahui alasan atau sebab, merupakan salah satu tanda bahwa orang bukan hanya tahu, melainkan tahu dengan baik; tanda bahwa orang memahami. Dalam hidup sehari-hari, tahu dengan baik bisa menolong secara praktis. Saya tahu teman sementara demam. Namun, dokter yang paham tentang gejala demam tersebut akan menolongnya dengan obat yang efektif, karena dokter paham bahwa jenis demam tersebut adalah demam tifoid atau demam malaria. Virgil menulis: “Bahagianya manusia yang mampu mengetahui sebab dari hal ikhwal” (felix, qui potuit rerum cognoscere causas). “Mengetahui alasan” dari hal ikhwal dapat membantu orang hidup lebih baik, lebih bermakna, dan dengan sendirinya lebih bahagia.

Kedua; dalam ilmu, mengetahui alasan di balik sesuatu menunjukkan ciri keilmiahan suatu hal. Orang dianggap punya pengetahuan ilmiah, jika ia bukan hanya mengetahui suatu fakta, melainkan “alasan” di balik fakta. Sebagai contoh, orang tahu apa itu gerhana bulan. Cukup jika gerhana terjadi, dan orang ditunjukkan bahwa fenomena tersebut dinamakan sebagai gerhana, maka orang akan tahu. Namun, walau orang tahu fakta yang ada, namun seorang disebut punya pengetahuan ilmiah tentang gerhana bulan, jika ia tahu “alasan” di balik gerhana. Dalam contoh Aristoteles, orang kebanyakan dapat membuat defenisi tentang gerhana bulan, misalanya “bulan menjadi gelap tanpa halangan bagi visibilitasnya” (awan, daun lebat, dan sebagainya). Namun, defenisi tersebut ilmiah kalau orang mengetahui alasan. “Bulan menjadi gelap tanpa rintangan bagi visibilitasnya, ‘karena’ bumi berada di antara bulan dan matahari”. Sikap ilmiah, dengan demikian adalah sikap yang cenderung mencari sebab atau alasan di balik fenomena, bukan hanya sekadar puas dengan fenomena seadanya.

Ketiga; mengetahui sebab atau alasan juga merupakan awal dari kebijaksanaan atau filsafat. Filsafat selalu bermula dari pertanyaan: “mengapa?” Mengapa begini, dan bukan begitu? Mengapa sesuatu ada, bukannya tiada? Apa alasan bahwa demokrasi atau masyarakat madani mesti dipertahankan? Jika orang hanya mendefenisikan arti dari demokrasi atau masyarakat madani, misalnya, ia hanya membuat teori politik. Namun, jika secara argumentatif orang mencari alasan terakhir, sebab dasariah dari adanya demokrasi atau masyarakat madani, maka orang melakukan filsafat (politik); ia menyediakan suatu alasan rasional bagi suatu fenomena (politik).

Keempat; pertanyaan mengapa, dapat menghantar pada Allah. Jika secara ilmiah orang dituntun pada “sebab” di balik realitas, maka orang pun dapat sampai pada pertanyaan tentang “sebab di balik sebab realitas”. Sebagai contoh, dalam ilmu orang bertanya tentang asal mula dunia. Apa sebab atau awal mula adanya dunia? Jawaban secara ilmiah: “Ledakan Besar” (Big Bang). Namun, orang yang kritis dan mempunyai kebiasaan bertanya “mengapa”, tentu bertanya: “Mengapa Big Bang?” Jika Big Bang adalah “sebab dari semesta”, lalu apakah sebab dari Big Bang, atau “sebab dari ‘sebab semesta’” tersebut? Jawaban ilmuwan ateis: “tidak ada sebab dari Big Bang”. Big Bang adalah sebab terakhir, semacam Tuhannya kaum ateis. Namun, secara rasional orang tahu bahwa Big Bang adalah sebuah peristiwa, sebuah”proses”, bukan “sebab” inteligibel. Jika “Big Bang” ada, maka harus ada “Big Banger”, atau sebab dari “Big Bang”. Sebab tersebut musti berintelek, karena tidak mungkin makhluk brutal irasional dapat menjadi sebab keteraturan kosmos. Sebab tersebut harus juga menjadi sebab terakhir dari semesta yang mencukupi keberadaan dirinya, karena tidak mungkin dipikirkan adanya deretan tanpa henti sebab sementara. Sebab dari “sebab semesta” (Big Bang) tersebut, secara religius dinamakan Allah.

Banyak orang di masa ini yang mengabaikan pertanyaan “mengapa”, dan lebih sibuk dengan soal “proses” atau “tekhnik” dengan pertanyaan pokok “bagaimana”: bagaiamana menjadi kaya, bagaimana menjadi terkenal, bagaimana mejadi terpuaskan, dan sebagainya.

Di antara kaum intelektual, orang sering tidak serius mencari alasan rasional dari hal ikhwal, dan kemudian hanya mengutip satu dua ide, yang bila diterapkan dalam konteks yang salah sebenarnya bisa jadi sebentuk propaganda ideologis.

Rasionalitas kerap digantikan rasionalisasi dan penghakiman berdasarkan asumsi, dan kaum intelektual sering berubah jadi jaksa dan hakim yang tidak adil.

Karena itu, insting untuk bertanya “mengapa” adalah insting dasar yang perlu dikembangkan dalam pendidikan. Ada gejala bahwa insting ini bertumbuh secara alamiah saat kecil, namun dalam kurun waktu tertentu dimatikan secara sosial. Kita sering dengar jawaban: “Anak kecil tahu apa?”, “Anak kecil jangan banyak tanya!”, Anak kecil mau tahu juga”, dan seterusnya, yang justru mematikan insting mencari alasan di balik fenomena.

Seorang anak yang bertanya banyak memang sering menjengkelkan. Namun, betapapun menjengkelkannya, tetap bahwa insting ini yang membuat orang berkembang sebagai manusia yang penuh, juga menjadi salah satu sebab perkembangan ilmu, filsafat, dan peradaban. Ia juga dapat membawa orang pada suatu religiositas yang sehat.

 

*sumber: FanPage Dunia Filsafat-Ledalero. Dengan judul “Mengapa”. Penulis: P. Silvester Ule, SVD. Di upload atas izin admin fanpage.