Hakim Pengadilan Agama Kupang Diduga Jadi Calo Tes CPNS, Gelapkan Dana Miliaran Rupiah

0

KUPANG, Bulir.id – Nama seorang hakim di Pengadilan Agama Kupang, Irwahidah MS, S.Ag, MH, terseret dalam dugaan praktik penipuan dengan modus calo penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS).

Ia dilaporkan sejumlah korban karena diduga menggelapkan dana hingga miliaran rupiah dengan iming-iming mampu meloloskan anak-anak korban dalam seleksi CPNS.

Salah satu korban, SLD, warga Kelurahan Manumutin, Kecamatan Kota Atambua, mengaku percaya karena status Irwahidah sebagai hakim sekaligus panitia seleksi CPNS.

“Kami percaya karena yang bersangkutan adalah hakim dan mengaku sebagai panitia seleksi CPNS. Namun setelah uang disetor, janji tidak pernah ditepati,” ujarnya, Senin (23/9/2025).

SLD tidak sendiri. Bersamanya, ada 12 korban lain dari Kabupaten Belu dan Malaka yang menyetor uang dengan nominal berbeda-beda.

SLD, yang pernah menerima penghargaan Patriot Bela Negara dari mantan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, mengaku sudah tiga kali bertemu langsung dengan Irwahidah di Kupang untuk menuntut pengembalian uang. Namun, pertemuan itu berakhir dengan janji kosong.

“Saya sudah berulangkali ditipu ibu hakim. Karena itu, saya ke Jakarta dan meminta perlindungan hukum melalui teman-teman pengacara di sini. Saya harap ini bisa beri jalan keluar buat saya,” katanya.

Modus dan Jalannya Penipuan

Korban menyebut, Irwahidah mengaku sebagai panitia seleksi CPNS di Kementerian Hukum dan HAM. Ia meyakinkan setiap peserta yang menyetor uang akan dijamin lulus, sementara tes hanya formalitas.

Juliana Soi, salah satu korban, mengisahkan awal perkenalannya dengan Irwahidah melalui pasangan Muhammad Faisal dan Zaenab di Atambua, Juni 2024. Ia dijanjikan dua anaknya akan diluluskan dengan syarat membayar Rp175 juta per orang.

“Pertama saya transfer Rp5 juta tanggal 3 Juni 2024, lalu Rp50 juta tunai di rumah Muhammad Faisal pada 13 Juni 2024, dan beberapa kali transfer lagi ke rekening pribadi Ibu Irwah hingga total mencapai Rp250 juta,” jelas Juliana.

Dari jumlah itu, Juliana hanya menerima pengembalian Rp40 juta, sedangkan sisanya sekitar Rp210 juta tak kunjung kembali.

Korban lain, Duarte Tilman, juga menceritakan pengalaman serupa. Ia menyetorkan Rp225 juta untuk menjamin kelulusan anaknya.

“Saya sudah setor tunai Rp25 juta di Atambua, lalu transfer Rp80 juta, Rp30 juta, Rp20 juta, dan Rp10 juta ke rekening Ibu Irwah pada Juli 2024. Total Rp165 juta, dan sampai hari ini tidak ada pengembalian sama sekali,” ungkap Duarte.

Desakan Hukum

Kuasa hukum korban, Chandra Goba, menilai kasus ini tidak bisa dianggap biasa karena berpotensi mencoreng lembaga peradilan.

“Modus penipuan ini sungguh mencoreng institusi pengadilan. Karena itu, saya meminta Kepala Pengadilan Agama Kupang untuk menindak tegas hakim terlapor,” tegasnya kepada awak media, Selasa (23/9/2025).

Ia mendesak agar seluruh dana korban dikembalikan mengingat sebagian besar berasal dari keluarga ekonomi terbatas.

Senada, pengacara Dolan Coling menegaskan pihaknya siap menempuh jalur hukum.

“Jika dalam waktu dekat hakim tersebut tidak segera mengembalikan seluruh uang yang diambil, kami akan melaporkan kasus ini ke Kapolda NTT,” katanya.

Hingga berita ini diterbitkan, hakim Irwahidah belum memberikan keterangan resmi atas tuduhan tersebut.

Fenomena Gunung Es

Kasus di Belu dan Malaka ini ternyata bukan yang pertama. Pada Juni 2024, seorang warga Manggarai Timur, Tadeus Melang, pernah melaporkan Irwahidah ke polisi setelah menyetor Rp100 juta demi janji meloloskan anaknya di tes CPNS Kejaksaan Agung.

Uang itu baru dikembalikan setelah kasus bergulir, meski awalnya hanya Rp10 juta yang sempat dibayarkan.

Laporan Tadeus membuka jalan bagi korban lain. Fidelis Hardiman mengaku menyerahkan Rp60 juta, kerabatnya Lorens Jebagut membayar Rp138 juta untuk dua anaknya, sementara Agustinus Nenggor berutang Rp75 juta ke bank demi janji kelulusan.

Korban lain, Muhammad Nur Ibrahim dari Sambi Rampas, menyetor Rp100 juta agar anaknya diterima sebagai sipir di Kemenkumham.

Fidelis menyebut, Irwahidah tidak bergerak sendiri. Ia menyinggung keterlibatan mantan anggota DPRD Manggarai, Rian Mbaut, yang rumahnya kerap dijadikan lokasi pertemuan, sosialisasi, hingga penandatanganan kesepakatan.

Kasus ini semakin menambah daftar panjang problem integritas di tubuh lembaga peradilan. Meski dilakukan secara pribadi, perbuatan oknum hakim tersebut mencederai kepercayaan publik terhadap institusi pengadilan.*