“Madah Lelaki Tua,” oleh Gerard N Bibang

0
Gerard N Bibang

MADAH LELAKI TUA

(1)

aku bermadah tentang seorang lelaki tua; yang menghamparkan samudera; tidak di bumi, melainkan di kedalaman dada; yang bermandikan kucur keringat karena dipanggang terik matahari; yang di depan rembulan, ia berkaca; merias diri dalam sunyi; untuk memastikan anak-anaknya tidak sendiri-sendiri; menyongsong kaki langit; mungkin sebelum tiba di sana, ia sudah mati

engkau, lelaki tua, tanpa langkah surut menunjukkan sebuah jalan; menuju ke dalam dada, ke riak-riak samudera; meski bumi sakit berkepanjangan; meski kering kerontang melucuti pepohonan; meski muntah sampah dan kebusukan, bertahun-tahun lamanya

engkau menelan semua itu dengan samuderamu; mengendapkannya jadi mutiara; mempersembahkannya buat anak-anak tercinta; yang setiap kali mereka tersilap; engkau hukum mereka dengan nasihat; seringkali dengan diam tanpa kata; yang setiap kali mereka kecewa, engkau bangun di malam sepi lalu berdoa

engkaulah jalan untuk mengenalkan mereka kepada Tuhan; engkau menapak sendirian selama hayat dikandung badan; sejauh-jauh rekuh langkahmu mendarat di alas tiba

(2)

kepadamu lelaki tua kupersembahkan segala api keperihan
di dadaku ini demi cintaku kepadamu
melakoni jalan yang engkau mulai dalam kesenyapan
meski bukan dari rahimmu
aku tahu dahi keriputmu telah menjadi sejuta warta
tentang cinta yang melampui ruang dan waku
aku mempersembahkan kepadamu sirnanya seluruh kepentingan diri demi mempertahankan kemesraan rahasia, yang teramat menyakitkan ini, denganmu; terima kasih engkau telah pilihkan bagiku rumah berupa sebuah jalan ke mana aku membuang wajah dan langkah; berupa persemayaman dalam jiwaku yang remuk redam; yang dengan jalanmu aku ambil sehingga suka duka aku dekap; aku panggul dan tak pernah kubuang; juga ketika duka derita menancapkan pisau ke dadaku, mengucur darah tapi aku bersegera mengusapnya,
kusumpal, kubalut dengan sobekan-sobekan bajuku; suka duka adalah birama kehidupan; jalan keutamaan menuju pemanusiaan

(3)

menangis dalam tertawa bersatu dalam jiwa; bersedih dalam gembira atau sebaliknya merekah sepanjang hayat; tak ada kekaguman, kebanggaan, kehura-huraan; segala belenggu mulus dalam nilai satu; suka duka menyatu dalam kalbu; menjadi nyanyian sunyi; untuk kepedihan sejauh-jauh perjalanan sepi

ego dan nafsu menumpas ingat diri; oleh cinta, nyawa kehidupan selalu dikembalikan; meski lengan tangannya tanggal sebelah karena terik mentari yang gerah; karena deru mesin ekonomi yang membekukan tubuhnya; karena cambuk cinta membuat cita-citanya harus dinyatakan tuntas

hari-hari tiada lain kecuali berpacu mempersaingkan hari esok; bekerja dan berdoa; tak pernah pula melupakan cinta di kandungan cakrawala; kalau cemas karena dihantam badai samudera; berkacalah ia pada sunyi di gua rahasia; di depan Ibunda yang selalu tersenyum kepadanya

(4)

aku ingin kembali, wahai lelaki tua; pulang ke teduh matamu; berenang di kolam yang engkau beri nama rindu

aku ingin kembali untuk menghitung buah mangga yang ranum di halaman; untuk menanam batang-batang padi sambil menyanyi; untuk menyiang rumput di ladang kering sambil tertawa; tapi jalan-ku sudah jauh dan panggilan kehidupan tak mengizinkan; mereka selalu mengetuk daun pintu saat aku tertidur; menggaruk-garuk bantal saat aku mendengkur

aku ingin kembali ke rumahmu, wahai lelaki tua; tapi nasib memanggilku entah ke arah mana; dalam rindu aku memohon bawalah daku terbang melintasi waktu dan dimensi kata-kata; karena ketika aku menyebut pulang, mereka bilang tak pernah ada rumah; ketika menyebut kampung halaman, mereka bilang kampung halaman tak pernah ada

rinduku mencipta banjir dari genangan air mata; cintamu berbekas hingga cakrawala tak berbatas

(5)

orang bilang, apa yang ada di depan manusia hanya jarak; dan batasnya adalah ufuk; begitu jarak ditempuh sang ufuk menjauh; yang tertinggal jarak itu juga abadi; di depan sana ufuk yang itu juga-abadi; tak ada romantika cukup kuat untuk dapat menaklukan dan menggenggamnya dengan tangan-jarak dan ufuk abadi itu

dalam nyanyian rindu yang bisu; aku membathin semua itu dengan kata syukur; engkau telah menunjukkannya sejak lama; nun jauh ke sebelah sana, ke tanah bahagia, langkahku harus melangkah

**(gnb:tmn aries:jkt:selasa:12.10.’21)

*) Gerard N Bibang adalah dosen sekaligus penyair kelahiran Manggarai, Flores NTT. Ia adalah penyair yang menahbiskan dirinya sebagai petani humaniora. Gerard saat ini berdomisili di Jakarta.