SETELAH INI-14:
MELINTASI TANAH ORANG
setelah ini, aku terperangkap sunyi
engkau dan aku tidak bersama-sama di sini
bagaikan seekor burung musim terlibas badai
sayap-sayapku terkepak melintasi tanah orang
entah ke mana, tidak perlu semua orang paham
engkau pun sudah tahu
jalanku ini sudah lama kutempuh
setelah nasib menentukan perjalan kita sampai di situ
jalanku adalah jalan air, bukan jalan api
ialah jalan yang anti melukai, apalagi mengkhianati
hanya ingin terbang keluar dari zona aman
mengangkasa dan mengangkasa
demi menjadi-diri menuju kepenuhan kasih bersamamu
berkelana meniatkan cinta murni melumat waktu
setelah ini, orang-orang pasti tertawa
mengira aku sudah kehilanganmu
ah mereka tidak tahu apa yang terjadi sebenar-benarnya
meski perasaan berkata: “aku telah kehilangan!”
tapi sejatinya tidak….
ah, apa artinya sebuah rasa jika tidak ada gunanya bila dibahas?
aku memang merasa sendiri
meski lalulalang orang ramai, bersama-sama atau sendiri-sendiri
aku hanya seorang manusia pencinta
berikhtiar membunuh kesendirian dengan tekad menjadi pencinta
entah di tanah kelahiran, entah di tanah orang
*
(gnb:jkt:mei ’21)
SETELAH INI-15:
JALAN TIADA
setelah ini, yang tampak adalah engkau tiada
aku di sini, engkau di sana
ketiadaanmu menyisakan rindu membara akan hadirmu kembali
dan ini bukan ilusi
maka, aku sejatinya sedang meniti jalan tiada
menyuburkan rindu untuk suatu ketika, ada bersama
jalanku ialah jalan tiada
yang melapangkan keluasan jiwa, kelonggaran mental, dan kecerdasan pikiran
yang selalu melihat sisi baik dari kepribadianmu
yang menjadikan prasangka baik dan kesiagaan bersyukur sebagai kuda-kuda utama menyikapimu
yang tidak memelihara kesenangan untuk menemukan kesalahanmu, apalagi memperkatakannya
yang memaklumi kegagalanmu dan terhadap kesalahanmu, aku selalu memaafkan
engkau pun selalu berbuat demikian kepadaku
untuk hal itu, aku selalu menangis terharu
jadi, engkau dan aku sebenarnya sama-sama meniti jalan tiada
di atasnya kita mengemas kontradiksi-kontradiksi cinta kita menjadi indah
bahwa kesedihan ataupun kegembiraan tidak pernah abadi
bahwa setiap kali kesedihan datang akan tiba waktunya kegembiraan mengalir
bahwa setiap kegembiraan selalu menyimpan sebuah kesedihan
hal baik dan buruk selalu berdamping
engkau dan aku sudah yakini hal ini
maka, jalan tiada ini berkata:
tidak ada yang datang yang tak pernah pergi
tidak ada ke-TIADA-an yang abadi
yang abadi hanyalah cinta
walau kadang-kala nasib tidak harus mempertemukannya
*
(gnb:jkt:mei ’21)
SETELAH INI-16:
SIAPA SANGKA
apakah yang terjadi setelah ini?
ialah kepingan-kepingan sunyi datang dan pergi
birama kehidupan asesoris jiwa
merawat cinta yang pernah sekali diucapkan
dari kepingan sunyi demi kepingan sunyi
siapa sangka aku kehilangan diri?
aku telah menemukan identitasku, wahai kekasih
aku tak pernah seutuhnya integral hanya dengan dan oleh diriku sendiri
diriku adalah jamak, yah, engkau dan aku, satu
ada-nya kita hanya niscaya oleh cinta dan kasih sayang
yang terasah oleh waktu
engkau dan aku sudah tahu
maka apakah identitasku di kala sendiri?
pertanyaan menggelitik di atas kepingan-kepingan sunyi
dan inilah jawaban dari sunyi:
‘ wahai manusia pencinta, jati-dirimu mesti dirangkai dari berbagai serpihan
yang harus diendus dalam beragam kepingan-kepingan narasi’
maka, siapa sangka aku di sini, sendiri dan sendirian?
semua salah sangka
aku tetaplah aku yang bergulir di antara kepingan-kepingan cerita
sejak saat pertama perjumpaan
tak musnah oleh prahara dan berburuk sangka
*
(gnb:jkt:mei ’21)
*) Gerard N Bibang adalah dosen sekaligus penyair kelahiran Manggarai, Flores NTT. Ia adalah penyair yang menahbiskan dirinya sebagai petani humaniora. Gerard saat ini berdomisili di Jakarta.