Memahami Pemikiran Heraklitus dari Ephesus Sebagai Filsuf Perubahan

0

FILSAFAT, Bulir.id – Heraklitus merupakan seorang filsuf Yunani yang tinggal di Efesus Asia Kecil (sekarang Turki) pada abad ke-6 SM. Dia adalah salah satu filsuf pra Sokratik paling populer, yaitu para filsuf Yunani yang mendahului Socrates.

Pemikirannya telah mempengaruhi pemikir yang beragam seperti Plato, Aristoteles, Stoa, Schopenhauer, Nietzsche, Hegel, Heidegger, Jung, Kafka, Lenin dan banyak lagi. Karyanya bertahan dalam fragmen kecil yang bersifat samar dan seringkali paradoks. Akibatnya, dia sering dikenal sebagai ‘Obscure’, ‘Riddler’ atau ‘Dark One’.

Kutipannya yang populer tidak hanya di kalangan mahasiswa filsafat kuno tetapi juga di kalangan masyarakat luas yang paling terkenal adalah pepatahnya bahwa “tidak ada yang pernah menginjak sungai yang sama dua kali”.

Filsafat Heraklitus mengajarkan bahwa segala sesuatu berubah, terus berubah. Heraclitus juga berbicara tentang api sebagai elemen alam utama. Ia mengemukakan konsep berpengaruh tentang kesatuan yang berlawanan dan merupakan filsuf pertama di Yunani yang menggunakan istilah ‘Logos’ untuk menggambarkan tatanan kosmik.

Dalam artikel ini, kita akan menjelajahi kehidupan dan karya Heraklitus melalui kutipannya yang paling terkenal.

Kehidupan Heraklitus

Heraklitus lahir di Efesus, sebuah kota Ionian Yunani yang kaya di Asia Kecil (sekarang Turki) sekitar tahun 535 SM. Dia keturunan dari keluarga aristokrat tetapi, menurut cerita kuno, dia tidak tertarik dengan politik. Faktanya, dia dikatakan telah menolak gelar (kehormatan) raja Efesus demi saudaranya.

Meskipun masih belum diketahui secara pasti apa tugas seorang raja di Efesus pada saat itu, penolakan Heraklitus jelas menunjukkan bahwa dia tidak bersedia berpartisipasi dalam kehidupan politik kota tersebut.

Sejak saat itu, para filsuf tidak perlu berusaha untuk memainkan peran aktif dalam kehidupan politik kota mereka. Sebaliknya, banyak yang mengaku melayani tujuan yang lebih tinggi.

Heraklitus dengan sempurna mewujudkan penghinaan terhadap urusan publik ini. Diogenes Laerius, sumber utama kehidupan filsuf Yunani, menulis bahwa Heraklitus lebih suka bermain knucklebones di kuil Artemis (salah satu dari tujuh keajaiban dunia kuno, jangan disamakan dengan kuil Artemis di Corfu) daripada ikut serta dalam politik.

Belakangan, ketika orang Efesus mengenali kebijaksanaannya, mereka memintanya membuat undang-undang untuk kota itu, praktik umum pada saat itu bagi para filsuf. Namun, Heraklitus menyangkal dan memilih untuk menjalani kehidupan monastik.

Kematian Heraklitus

Menurut Diogenes Laertius, yang hidup lebih dari tiga abad setelah Heraklitus, filsuf Yunani itu meninggal karena busung air (edema) sekitar tahun 475 SM. Kematiannya, katakanlah unik.

Heraklitus sudah terbiasa dengan kehidupan monastik. Setelah menghabiskan bertahun-tahun berbicara dalam teka-teki dan paradoks, dia menjadi tidak dapat berkomunikasi dengan orang lain.

Ketika dia mengalami gejala sakit, dia mengunjungi para dokter di kota itu dan bertanya apakah mereka bisa membuat kekeringan setelah badai. Tidak ada dokter yang bisa mengerti apa maksudnya dan Heraclitus pergi tanpa bantuan. Ketika gejalanya semakin parah, dia memutuskan untuk menangani situasi tersebut.

“He buried himself in a cowshed, expecting that the noxious damp humour would be drawn out of him by the warmth of the manure. But, as even this was of no avail, he died at the age of sixty.” Diogenes Laertius, IX.1.3

Diogenes juga menceritakan bahwa:

“…being unable to tear off the dung, he remained as he was and, being unrecognizable when so transformed, he was devoured by dogs.” Diogenes Laertius, IX.1.4

Sebelum kita menangis atau menertawakan kemalangan Heraklitus, kita harus ingat bahwa cerita ini kemungkinan besar adalah mitos yang diciptakan oleh Diogenes Laertius. Mengarang kisah kematian para filsuf Yunani, adalah praktik yang sangat populer selama periode Helenistik.

Filsuf Yunani yang ‘Tidak Jelas’

Heraklitus dikatakan hanya menulis satu karya berjudul On Nature dan mendedikasikan satu-satunya salinan untuk kuil Artemis kesayangannya. Artinya, dia ingin karyanya dibaca dalam suasana mistis candi. Menurut penyair tragis kuno Scythinus, pembaca buku tidak boleh:

“…be in too great a hurry to get to the end of Heraclitus the Ephesian’s book: the path is hard to travel. Gloom is there and darkness devoid of light. But if an initiate be your guide, the path shines brighter than sunlight.” as quoted in Diogenes Laertius, IX.1.16.

Tetapi mengapa Scythinus membandingkan pekerjaan Heraklitus dengan jalan yang sulit dilalui, suram dan gelap? Heraklitus adalah pengagum oracle Delphi dan ucapan misteriusnya.

Dia menyukai paradoks, teka-teki, dan memadatkan makna kompleks menjadi kalimat singkat. Akibatnya, sangat sulit bagi siapa pun untuk menguraikan makna yang tersembunyi di balik teka-tekinya.

Tetap saja, Scythinus percaya bahwa filsuf Yunani itu menantang tetapi tetap layak untuk ditelusuri karena, pada akhirnya, yang diinisiasi dengan benar akan menemukan jalan yang “bersinar lebih terang dari sinar matahari”.

Hari ini karya Heraklitus hilang secara permanen. Satu-satunya cara untuk mengenal filsuf Yunani adalah melalui penggalan-penggalan karyanya yang dikutip oleh penulis-penulis kuno lainnya, seperti Plato, Aristoteles, Diogenes Laertius, para filsuf Stoa dan para pemikir Kristen awal.

Pandangan Sokrates Tentang Heraklitus

Sokrates memiliki pandangan yang mirip dengan Scythinus. Menurut sebuah legenda, ketika Euripides penulis drama tragis, bertanya kepada Sokrates apa pendapatnya tentang buku Heraklitus. Sojrates menjawab bahwa apa yang dia pahami sangat bagus, dan begitu pula bagian-bagian yang tidak dia pahami.

Sokrates, salah satu filsuf paling terkenal dalam sejarah, menganggap Heraklitus menantang dan dia memiliki akses ke teks asli dan juga dapat membacanya dalam bahasa aslinya.

Maka tidak mengherankan bahwa pada Abad Pertengahan, orang-orang menganggap Efesus hampir tidak dapat dipahami. Ini juga menjelaskan bagaimana Heraklitus disebut julukan seperti ‘Tidak jelas’, ‘Gelap’, dan ‘Riddler’.

Filsuf yang Menangis

Heraklitus dikenal selama berabad-abad setelah kematiannya sebagai ‘filsuf yang menangis’. Mengapa? Seperti yang dicatat oleh sumber-sumber kuno, dia menghabiskan waktu bertahun-tahun sendirian, jauh dari masyarakat.

Dia dikaitkan dengan serangkaian pernyataan pesimistis (atau lebih tepatnya elitis) di mana dia mengeluh bahwa mayoritas orang tidak dapat memahami Logos (rasionalistik kosmik).

‘Filsuf yang menangis’ menjadi gelar yang biasa dalam seni abad-abad berikutnya dan Heraklitus sering muncul menangis di samping Demokritus yang tertawa, yang dinamai ‘filsuf yang tertawa’ karena filsafatnya tampak lebih ceria bagi para sarjana selanjutnya.

Penggambaran Heraklitus yang paling terkenal sebagai filsuf yang menangis ada dalam lukisan terkenal Raphael Akademi Athena, di mana Raphael melukis Michelangelo sebagai Heraclitus duduk sendirian di latar depan gambar.

Konsep Kunci Filsafat Heraklitus

Semuanya Api?

Selama masa Heraklitus, para filsuf Yunani mencoba memahami alam semesta, sifat aslinya dan hukum yang mendasarinya. Terutama para filsuf Yunani dari kota-kota Ionia tertarik untuk mengungkap asal mula benda-benda itu.

Para pemikir ini juga disebut monis (monisme=keesaan) karena mereka mengklaim bahwa segala sesuatu yang ada terbuat dari satu unsur. Pertama datang Thales (c. 620-546 SM) dan mengatakan bahwa semuanya adalah air. Kemudian, Anaximenes (abad ke-6 SM) menyatakan bahwa itu adalah udara. Anaximander (c. 610-546 SM) mengusulkan bahwa substansi abstrak yang disebut Apeiron (tak terbatas) adalah dasar dari segala sesuatu.

Heraklitus mengambil sikap tentang masalah ini. Baginya, elemen asli dan paling dasar dari semuanya adalah api.

“This world, which is the same for all, no one of gods or men has made; but it was ever, is now, and ever shall be an ever-living Fire, with measures of it kindling, and measures going out.” Die Fragmente der Vorsokratiker by Diels and Kranz (DK), 30

Namun, ada perbedaan antara Heraklitus dan para monis lainnya. Dia tampaknya menggunakan api dengan cara yang lebih abstrak daripada Thales menggunakan air misalnya. Melihat lebih dekat ke bagiannya tentang api, tampaknya api Herakletean adalah sesuatu yang lebih dekat dengan energi, seperti yang dapat disimpulkan dari bagian di mana dia menyebut api sebagai ukuran untuk semua hal yang berubah:

“All things are an interchange for Fire, and Fire for all things, just like goods for gold and gold for goods.” DK, 90

Dapat juga dikatakan bahwa dia menggunakan api sebagai metafora yang hidup untuk perubahan, yang dia pahami sebagai dasar nyata dari alam semesta. Pikirkan api sebentar saja. Ia tidak pernah tetap sama, ia tidak pernah tetap tenang, ia selalu bergerak.

Heraklitus percaya bahwa ini adalah sifat dari segalanya. Semuanya terus berubah dan mengambil bentuk hal-hal lain. Kematian satu hal adalah kelahiran yang lain. Dalam lingkaran tak berujung, api menjadi udara, udara menjadi air, dan air menjadi bumi:

“Fire lives the death of air, and air lives the death of fire; water lives the death of earth, earth that of water.” DK, 76

Semuanya Mengalir (Panta Rhei): Kutipan Paling Terkenal dari Herajlitus

Kutipan Heraklitus yang paling terkenal tidak diragukan lagi adalah “Panta Rhei”, yang secara gamblang diterjemahkan menjadi “semuanya mengalir”. Menariknya, Heraklitus sendiri tidak pernah menggunakan kata-kata ini.

Namun, “Panta Rhei” dengan sempurna merangkum teorinya tentang perubahan konstan, yaitu gagasan bahwa satu-satunya yang konstan di alam semesta adalah perubahan. Dalam sistem pemikirannya, tidak ada apa- apa. Hal-hal selalu menjadi.

Kosmos tidak statis, tetapi mengalir. Benih tumbuh menjadi pohon, pohon ditebang menjadi rumah, dan akhirnya membusuk untuk memberi makan organisme lain. Oleh karena itu, alam semesta bagi Heraklitus adalah sebuah proses.

Pergerakan benda yang terus-menerus ini diekspresikan dengan kutipan sungai, yang dengannya filsuf Yunani membandingkan aliran dunia dengan arus sungai:

“You cannot step twice into the same rivers; for fresh waters are ever flowing in upon you.” DK, 12

Dan:

“We step and do not step into the same rivers; we are and are not.” DK, 49a

Tidak seorang pun dan tidak ada yang lolos dari sungai kosmik Heraclitus. Tidak hanya sungai yang selalu berubah, tapi juga subjeknya. Setiap saat yang berlalu menemukan dunia baru dan ‘kita’ yang baru.

Kesatuan yang Berlawanan: Kelahiran Dialektika

Gagasan tentang dunia yang selalu bergerak dan berubah ini menjadi dasar dari apa yang kemudian disebut oleh para filsuf sebagai dialektika. Metode penyelidikan filosofis di mana seseorang menemukan solusi untuk suatu masalah dengan memeriksa dua tesis yang bertentangan.

Jadi, mengapa Heraklitus disebut sebagai bapak dialektika? Heraklitus percaya bahwa hal-hal cenderung berubah menjadi kebalikannya dengan waktu yang cukup. Hidup menjadi mati, siang menjadi malam, dan sebaliknya. Jadi jika malam akan berubah menjadi siang, bagaimana kita bisa mengklaim bahwa mereka berlawanan?

Dalam skema besar, siang dan malam, seperti semua kebalikan lainnya, lebih seperti dua sisi mata uang yang sama, seperti yin dan yang dalam Taoisme. Gagasan ini dikenal sebagai kesatuan yang berlawanan. Mari kita lihat beberapa kutipan dari Heraclitus tentang masalah ini:

“The way up and the way down is one and the same.” DK, 60

“And it is the same thing in us that is quick and dead, awake and asleep, young and old; the former are shifted and become the latter, and the latter in turn are shifted and become the former.” DK, 88

Hal yang sama berlaku bahkan untuk manusia dan makhluk abadi (pahlawan dan dewa):

“Mortals are immortals and immortals are mortals, the one living the others’ death and dying the others’ life.” DK, 62

Perselisihan Dan Perang

Tapi apa yang benar-benar menjadikan Heraclitus sebagai bapak dialektika, adalah argumen harmoni berasal dari ketegangan antara kekuatan yang berlawanan:

“there would be no harmony without high and low notes, and no animals without male and female, which are opposites.” Aristotle Eudemian Ethics 7.1235a

“Men do not know how what is at variance agrees with itself. It is an attunement of opposite tensions, like that of the bow and the lyre.” DK, 51

Yang berlawanan selalu berselisih satu sama lain tetapi juga saling bergantung. Tanpa yang satu, yang lain tidak bisa:

“It is sickness that makes health pleasant; evil, good; hunger, plenty; weariness, rest.” DK, 110-1

Di alam semesta Heraklitean, perubahan tidak terjadi dengan sendirinya. Ada kekuatan yang mendorong hal-hal maju, dan itu adalah perselisihan. Ini sangat penting bagi Heraclitus, bahkan dia menegur Homer karena berharap perselisihan menghilang dari dunia!

Filsuf Efesus melihat perselisihan antara yang berlawanan sebagai penting, karena identitas satu hal bergantung pada perselisihannya dengan lawannya. Ini sangat penting sehingga Heraclitus bahkan mengklaim bahwa:

“War is the father of all and the king of all; and some he has made gods and some men, some bond and some free.” DK, 53

Beberapa sarjana menganggap kutipan ini sebagai dukungan perang. Mereka berpendapat bahwa Heraklitus hidup di zaman perang dan mengadopsi sikap sinis yang mengidealkan konflik sebagai bapak kerajaan dan budaya baru. Yang lain menganggap kutipan ini sebagai metafora untuk perang antara kekuatan yang berlawanan secara umum.

Logos: Konsep yang Menginspirasi Para Filsuf

Logos adalah istilah dengan banyak arti berbeda dalam bahasa Yunani, termasuk ucapan, argumen, kesadaran, proporsi, wacana, dll. Bagi Heraklitus, Logos adalah hukum kosmik, hukum yang menentukan cara segala sesuatu terjadi.

Heraklitus adalah yang pertama dalam barisan besar filsuf Yunani yang menggunakan Logos sebagai bagian sentral dari sistemnya, dengan cara yang menyukai abstraksi, yang merupakan kesadaran mengapa beberapa pemikir kemudian mengklaim bahwa Heraklitus adalah bapak metafisika.

Logos kemudian digunakan oleh Plato, Aristoteles, Stoa, Neo-Platonis, dan banyak lagi. Penulis Kristen awal juga suka menggunakan Logos sebagai nama Tuhan.*