Utama, BULIR.ID – Presden Joko Widodo dalam dua periode kepemimpinannya tengah sibuk membangun berbagai macam fasilitas publik untuk mendongkrak perekonominan bangsa. Salah satunya adalah membangun bendungan berkapasitas besar yang tersebar di seluruh pelosok Nusantara. Termasuk bendungan Napun Gete sebagai salah satu proyek strategisnya.
Jadwal peresmian Bendungan Napun Gete sempat tertunda kurang lebih tiga kali diakibatkan oleh beberapa alasan yang mendasar. Namun Presiden dipastikan hadir untuk meresmikan Bendungan Napun Gete yang berdaya tampung air mencapai 11 juta meter kubik pada Selasa (23/02/21).
Moment kehadiran ini begitu penting bagi Jokowi dan segenap masyarakat Maumere. Hal ini perlu dimaknai secara mendalam oleh kita semua. Saya membacanya dalam tiga perspektif yang berbeda.
Pertama, moment kehadiran Jokowi untuk masyarakat Maumere sebagai sebuah “keniscayaan.” Jokowi memang sosok yang merakyat. Dia tampil apa adanya bak sinterklas dalam ceritera klasik kekristenan Eropa.
Kehadirannya mau memberikan sesuatu harapan baru bagi masyarakat Maumere. Dia tampil sebagai super hero baru di tengah keterpurukan ekonomi. Dalam konteks Napun Gete, ia ingin mendukung ketahanan air dan pangan nasional. Sebagai seorang presiden ini adalah sebuah “keniscayaan” untuk mencapai bonum commune.
Ketersediaan air menjadi kunci pembangunan di NTT yang memiliki curah hujan lebih rendah dibanding daerah lain. Dengan ketersediaan air tersebut cita-cita besar swasembada pangan akan terwujud. Napun Gete menjadi tidak hanya sekedar harapan bagi masyarakat Maumere melainkan sebagai “keniscayaan” agar terlepas dari ketergantungan beras dari daerah lain.
Bendungan Napun Gete merupakan bagian dari kebijakan Pemerintah untuk memanfaatkan potensi sumber daya air bagi kesejahteraan masyarakat. Sebagai ketersediaan air baku, pengendalian banjir serta sebagai pembangkit listrik.
Sebagai pemimpin bangsa tentunya kehadirannya itu niscaya. Kehadiran untuk melihat dan merasakan keterbelakangan rakyatnya. Kehadiran adalah kunci untuk menciptakan kebijakan yang pro rakyat yang tentunya juga humanis.
Kedua, kehadiran sebagai sebuah “Kerinduan.” Kerinduan seringakli datang dari yang lain (alteritas) terhadap sosok yang didambakan. Ada semacam penantian ketika sosok itu kepenuhannya belum hadir atau ada di depan kita.
Kehadiran selalu tersirat makna cinta. Meskipun pernah tertunda kedatangannya dan sedikit mengecewakan namun kehadirannya tetap dinantikan. Sebab dalam penantian seringkali diikuti dengan harapan. Hanya karena ada harapan maka ada penantian.
Cintalah yang menguatkan mereka untuk menantikan kehadiran Presiden Joko Widodo. Ada semacam harapan besar yg dinantikan ditengah keterpurukan sistem yang telah lama membelenggu dan menindas.
Berpuluh tahun NTT selalu dianaktirikan dalam hal pebangunan. NTT yang sering dipelesetkan menjadi Nanti Tuhan Tolong itu tengah dilirik Presiden Joko untuk hadir ditengah kedigdayaan mereka. Dialah bak mesias yang dinantikan rakyat NTT.
Ketiga, kehadiran sebagi tanggung jawab. Presiden memiliki tanggung jawab besar dalam mengemban amanat UUD 1945. Dalam konteks Napun Gete, presiden berkewajiban untuk mewujudkan bonum commune. Ini menunjukkan bahwa presiden ingin memberikan suatu sikap moral ketika ia berjumpa secara konkret dengan rakyatnya yakni sikap tanggung jawab. Sikap tanggung jawab atas orang lain itulah yang membuat dia sungguh-sungguh bereksistensi sebagai manusia sekaligus sebagai pemimpin bangsa.
Setiap manusia memiliki tanggung jawab atas kemanusiaan diri dan yang lain. Emmanuel Levinas salah seorang pemikir postmodern yang cukup terkenal pada abad ke-20 khususnya dalam bidang etika berbicara juga tentang tanggung jawab atas alteritas.
Menurutnya pada hakekatnya, tanggung jawab bagi Yang Lain (alteritas) bukan berasal dari inisiatifku, melainkan menduhului kebebasanku. Tanpa diperintah oleh pihak lain, saya sudah dan harus bertanggung jawab pada wajah yang tampil. Inilah yang terlihat pada wajah Presiden Joko Widodo. Dia menampilkan tanggung jawabnya sebagai seorang Presiden untuk mengentaskan kemiskinan dan kemelaratan di bumi NTT.
Bertanggung jawab terhadap orang lain bukanlah suatu perintah. Karena bukan suatu perintah, maka saya tidak dapat mengelak dari tanggung jawab itu (Nuyen, 2000: 414). Levinas mengatakan, “pada saat orang lain memandang saya, saya bertanggung jawab terhadap dia dan tanggung jawab itu bertumpu pada saya” (Levinas, EI, 1985: 96).
Tanggung jawab adalah data pertama yang mendasari segala sikap yang diambil. Tanggung jawab menjadi data paling mendasar dan titik tolak segala sikap dan tindakan, yakni saya ada demi orang lain.
Manusia dalam segala penghayatan dan segala sikapnya didorong oleh sebuah impuls etis yakni tanggung jawab terhadap sesama. Kenyataan paling mendasar adalah perjumpaan dengan seseorang.
Perjumpaan tersebut mengundang untuk bertanggung jawab. Lewat prinsip inilah, maka tanggung jawab itu senantiasa terarah pada yang lain, melalui Orang Lain (through the Other – par Autrui).
Levinas ingin menegaskan bahwa subjek bukanlah bagi dirinya (pour-soi), tapi seorang untuk Orang Lain (l’unpour-l’autre). Subjek menjadi subjek karena bertanggung jawab atas Orang Lain. Senada dengan Levinas, Jokowi dengan kerendahan hatinya ingin menyerahkan sepenuhnya untuk melayani rakyat NTT pada umumnya.
Meski demikian tidak hanya Presiden yang bertanggung jawab terhadap masyarakat Maumere melainkan juga sebaliknya. Masyarakat Maumere mesti juga bertanggung jawab terhadap apa yang sudah diberikan oleh Presiden.
Tanggung jawab etis mesti dilihat sebagai fakta terberi eksistensial dan membuat saya unik dari orang lain. Inilah wajah perjumpaan yang sesungguhnya antara aku sebagai masyarakat Maumere dan aku sebagai Presiden.*
Salam Redaksi
Djanuard Lj