Oleh: Djanuard Lj
Editorial, Bulir.id – Sepanjang sejarah manusia, patokan dan nilai-nilai kehidupan baik, budaya, agama dan lain-lain tak jarang dibentuk oleh logika ekonomi. Sampai saat ini sebagian besar budaya di Flores menganggap manusia, terutama perempuan, sebagai makhluk ciptaan yang dapat diniagakan melalui belis atau mahar kawin.
Belum lama ini di Maumere, sebuah kabupaten kecil di Flores yang sangat kental dengan warisan budaya terjadi peristiwa yang cukup memprihatinkan. Seorang pria menggugat calon istrinya dengan alasan tertentu sehingga menuntut pengembalian mahar atau belis yang sudah diberikannya.
Pada masyarakat Maumere bahkan Flores pada umumnya, sebelum melanggengkan pernikahan secara agama dan sipil didahuli dengan kesepakatan adat antar kedua keluarga besar. Terdapat dialog transaksional alot di dalamnya untuk menentukan kata sepakat besaran mahar.
Logika Transaksional
Pada tataran itu belis yang merupakan produk dari budaya yang memiliki nilai-nilai luhur juga tidak luput dari logika untung rugi. Logika inilah yang berujung pada penindasan dan pelecehan terhadap martabat perempuan.
Padahal hakikatnya, belis merupakan sebuah bentuk perlindungan terhadap martabat kaum perempuan. Belis sebagai simbol penghargaan terhadap martabat perempuan, tak bisa dinilai dan dibeli dengan harga apa pun.
Dalam bahasa Maumere, ata du’a naha nora lin welin (perempuan harus memliki harga atau nilai). Kalimat ini bukan berarti harga dalam logika ekonomi melainkan mau menunjukkan orang Maumere sangat menghormati martabat perempuaan dengan memberi nilai lebih padanya berupa mahar yang telah disepakati.
Namun esensi belis mengalami bias makna, dari yang hakiki sebagai bentuk perlindungan martabat perempuan menjadi sarana transaksional. Belis semacam ini akan dilihat sebagai pasar dagang perempuan yang dilegalkan oleh keluarga kedua mempelai atau pun lembaga adat.
Perempuan menjadi pihak yang paling dirugikan sekaligus tak jarang meninggalkan penindasan dan pelecehan. Karena perempuan dianggap sudah dibeli dengan besaran harga belis atau mahar tertentu.
Perempuan tidak lagi menjadi perempuan pada dirinya sendiri melainkan sudah menjadi objek dagangan yang dinilai dengan seberapa banyak mahar atau belis yang diberi. Oleh karenanya perempuan tidak akan otonom sebagai mana mestinya.
Fenomena ini melahirkan pertanyaan, apakah benar harga diri seorang istri ditentukan oleh besarnya atau mahalnya belis atau mahar? Atau kebahagiaan seorang istri melampaui dimensi material tersebut?
Hal tersebut di atas menunjukkan bahwa harga diri seorang istri diukur berdasarkan harta benda. Padahal, harga diri perempuan tidak ditentukan atau dibatasi oleh dimensi material. Kebahagiaan setiap manusia tidak bergantung pada harta benda, melainkan pada pemenuhan kebutuhan batin dan hati manusia.
Tanamkan Kesadaran Akan Kemanusiaan
Sebagai entitas yang berkesadaran dan bermartabat, perlu menyadari dan menanamkan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan dalam setiap keluarga. Sehingga anggota keluarga bisa semakin menghargai manusia sebagai manusia yang tidak pernah boleh diobjekkan atau diperjual-belikan seperti barang dagangan lain.
Setiap orang tua dalam keluarga perlu menanamkan kesadaran dalam diri anak-anak supaya memperlakukan setiap manusia sebagai mestinya dan selalu menghargai sesama manusia.
Selanjutnya dalam lingkup yang lebih luas, lembaga adat mestinya merevisi dan mempertimbangkan kembali aturan-aturan adat yang pada prinsipnya menegasi kemanusiaan perempuan. Orang-orang yang dituahkan dalam lembaga adat mestinya juga memahami pentingnya menghargai martabat manusia.
Tetua adat perlu membangkitkan kesadaran masyarakat terkait belis sebagai suatu simbol penghargaan harkat dan martabat perempuan dan memberikan sanksi adat kepada mereka yang melanggar martabat perempuan.
Pemerintah melalui pihak-pihak terkait juga perlu melakukan riset lebih jauh terkait implikasi belis terhadap perempuan. Sehingga hasil riset dapat menjadikan acuan dalam memberikan edukasi dengan pendekatan tradisional bagi masyarakat yang masih memegang teguh adat istiadat. Sehingga adat-istiadat yang dianutnya ramah dan menjunjung tinggi nilai-nilai harkat dan martabat kemanusiaan manusia perempuan.*
*Djanuard Lj merupkan alumnus Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala Surabaya. Kini bekerja sebagai penulis tetap di media online Bulir.id. Lj panggilan akrabnya, kini tinggal dan bergulat dengan bisingnya kehidupan kota Jakarta.