Oleh: Tarisya Maharani Ohorella
Tilik. Bulir.di – Perang selalu memiliki dampak yang besar pada kehidupan masyarakat di negara yang terlibat. Tidak hanya dampak langsung seperti korban jiwa dan kerugian material, namun juga dampak dalam aspek ekonomi, politik, dan sosial serta psikologis. Tanpa disadari, banyak sekali dampak yang tidak terlihat dan seringkali terabaikan pada masa perang maupun pasca perang. Salah satu dampak sosial adalah berkaitan dengan seks dan prostitusi, dimana menargetkan perempuan sebagai korbannya (Laite 2012). Pada perang yang terjadi antara Rusia dan Ukraina, perempuan pengungsi memiliki kerentanan untuk menjadi budak seks. Fenomena ini disebut dengan sex trafficking. Meskipun tidak secara langsung dipaksa bekerja pada rumah bordil, namun terdapat fenomena sex trafficking yang terjadi dalam perang Rusia dan Ukraina. Selain itu, ada potensi penyebaran penyakit HIV dari rumah-rumah bordil tersebut.
Artikel ini ingin membahas bagaimana perang berdampak pada kelompok masyarakat tertentu, dalam konteks ini adalah perempuan yang terlibat dalam prostitusi. Perempuan sebagai korban human trafficking (sex trafficking), serta potensi penyebaran HIV sebagai dampak lanjutan dari fenomena prostitusi dalam perang sebagai ancaman keamanan personal dalam keamanan insani.
Sex trafficking dan kejahatan lintas batas negara
Perang antara Rusia dan Ukraina menyebabkan banyak sekali pengungsi dari Ukraina. Lebih dari satu juta orang, sebagian besar wanita dan anak-anak, telah meninggalkan negaranya yang disebabkan oleh invasi Rusia (Meyer 2022). Pengungsi Ukraina ini tidak hanya memiliki kerentanan dalam mencari suaka, namun juga memiliki resiko sebagai korban human trafficking. Negara-negara yang didatangi oleh para pengungsi adalah sarang bagi geng kriminal dan penjahat human trafficking. Negara tetangga seperti Polandia, Moldova, Rumania, Slovakia dan Hungaria, menurut juru kampanye dari PBB, akan menciptakan lonjakan dalam perdagangan manusia (Hindustan News Hub 2022). Para kriminal akan melihat para pengungsi sebagai sumber kekayaan yang dapat mereka manfaatkan. Perang memberi kesempatan pada geng kriminal human trafficking untuk melakukan aktivitas. Akibatnya, perempuan dan anak-anak menjadi korban utama karena laki-laki dilarang meninggalkan Ukraina dan diminta untuk bergabung dengan tentara.
Terdapat tingkat kekhawatiran yang tinggi terhadap para pengungsi yang melarikan diri dari Ukraina akan berakhir sebagai pekerja seks, terlibat dalam kegiatan kriminal, perbudakan rumah tangga, atau kerja paksa. Dapat dipastikan bahwa seiring berjalannya waktu akan ada lonjakan jumlah yang disebabkan oleh pengungsi yang dieksploitasi oleh pedagang dan berpotensi menjadi pekerja seks, terlibat dalam geng kriminal atau kerja paksa dan perbudakan rumah tangga. Jumlah korban yang diperdagangkan diprediksi akan terus meningkat karena situasi perang. Secara statistik jumlah korban terbesar adalah perempuan pengungsi yang akhirnya dieksploitasi secara seksual. Menurut Daily Mail, telah ada beberapa laporan tentang perempuan dan keluarga muda yang menerima tawaran transportasi gratis untuk melintasi perbatasan ke negara tetangga. Kemudian, pengungsi ini jatuh ke tangan geng kriminal yang menuntut pembayaran dari pengungsi ini. Jebakan terjadi ketika mereka tidak dapat memenuhi tuntutan dari geng kriminal tersebut (Pisa 2022).
Potensi penyebaran HIV dari aktivitas prostitusi
Aktivitas seksual ilegal juga akan berpotensi terhadap ancaman kesehatan global. Ukraina memiliki epidemi HIV terbesar kedua di Eropa Timur dan Asia Tengah, dengan perkiraan 250.000 orang yang hidup dengan HIV (Be In The Know 2022). Angka-angka ini, sebagian besar, didorong oleh militerisasi dan konflik di negara tersebut, faktor-faktor yang secara tidak proporsional mempengaruhi perempuan, meningkatkan kerentanan mereka terhadap infeksi HIV dan memaparkan mereka pada stigma, marginalisasi dan kekerasan. Kerusakan yang dihasilkan oleh invasi Rusia dengan cepat meningkatkan risiko infeksi HIV dan kekerasan yang menyertainya bagi para perempuan Ukraina.
Pada 2016, Ukraina memiliki populasi 80.100 wanita pekerja seks, dengan 5,2 persen HIV positif. Persentase ini meningkat pesat di daerah konflik dan diperkirakan mencapai 38,2 persen di Donetsk (Henn 2022). Ini menjelaskan bahwa adanya korelasi antara prostitusi dan militerisasi. Pemindahan tempat tinggal dan kemerosotan ekonomi yang disebabkan oleh perang, menyebabkan banyak perempuan kehilangan rumah dan penghasilan. Oleh karena itu, prostitusi adalah satu-satunya cara yang tersedia untuk mencari nafkah, terutama bagi perempuan kelas pekerja yang seringkali tidak memiliki akses ke pendidikan. Sehingga dalam situasi genting seperti ini juga menjadi faktor meningkatkan risiko eksploitasi dan perdagangan manusia.
Personal security, health security, dan kejahatan lintas batas
Tentu fenomena ini sangat membahayakan. Dalam konteks Hubungan Internasional, fenomena ini menjadi ancaman dalam dua dimensi. Dimensi pertama adalah dimensi keamanan insani. Perempuan secara spesifik yang menjadi korban dalam kegiatan sex trafficking yang secara tidak langsung merupakan dampak dari perang. Korban sex trafficking menjadi kelompok masyarakat yang hak hidup sejahteranya dilanggar dan direnggut oleh kelompok kriminal. Fenomena ini berkaitan dengan keamanan personal dalam Human Development Report (HDR) 1994, yang mencakup ancaman dari individu atau geng terhadap individu atau geng lain (kejahatan, kekerasan jalanan) dan juga ancaman yang ditujukan terhadap perempuan (pemerkosaan, kekerasan dalam rumah tangga) (United Nations Development Programme 1994). Selain itu, potensi penyebaran HIV juga merupakan ancaman dari health security, yang menjadi bagian dari kekhawatiran dalam konsep keamanan insani.
Dalam dimensi selanjutnya, fenomena ini juga dapat ditilik melalui kacamata kejahatan transnasional. Perdagangan seks termasuk bentuk perdagangan manusia dan juga merupakan bentuk perbudakan modern (Centers for Disease Control and Prevention 2022). Fenomena sex trafficking pada perang Rusia dan Ukraina adalah masalah kesehatan masyarakat yang serius yang berdampak negatif terhadap kesejahteraan individu, keluarga, dan masyarakat. Perdagangan manusia terjadi ketika seorang pedagang mengeksploitasi seseorang dengan kekerasan, penipuan, atau paksaan untuk membuat mereka melakukan seks komersial atau pekerjaan. Sex trafficking yang dialami oleh perempuan pengungsi ini adalah bagian dari kejahatan transnasional yang bersifat lintas batas dan mengancam keamanan negara.
Oleh karena itu, sudah sepatutnya fenomena ini menjadi perhatian global dan perlu ditindak lanjuti. Hal ini berkaitan dengan prinsip keamanan insani, dimana penanganan isu-isu keamanan insani akan lebih mudah dilakukan melalui pencegahan dini dari pada intervensi kemudian. Lebih mudah untuk mencegah ancaman ini di hulu daripada di hilir. Selain itu, fenomena prostitusi memiliki potensi sebagai bom waktu di masa mendatang, khususnya di kehidupan pasca perang Rusia-Ukraina apabila tidak ada penanganan serius dari sekarang.
***
Penulis adalah seorang mahasiswi aktif Universitas Brawijaya Malang jurusan Hubungan Internasional. Penulis sangat aktif dalam berorganisasi juga sring menulis artikel-artikel pada media online terutama topik yang berhubungan dengan perempuan.
***
