Tabur, BULIR.ID – Beberapa pekan terakhir, marak pemberitaan berbagai media nasional terkait kasus Gedung Indonesia 1 yang terletak di Jalan Thamrin, Jakarta Pusat, sebuah gedung prestisius yang hanya selangkah dari Istana Kepresidenan.
Sebagaimana diberitakan, PT Media Properti Indonesia (MPI), salah satu entitas usaha dari Media Group melaporkan perusahaan asal Tiongkok, bernama PT China Sonangol Media Investment (CSMI) ke Polda Metro Jaya pada medio Juli 2021 lalu.
MPI melaporkan CSMI terkait kasus dugaan penipuan dan penggelapan investasi pada pembangunan Gedung Indonesia 1.
Laporan polisi yang dilayangkan PT MPI direspon cepat oleh Dirkrimum Polda Metro Jaya dan melakukan pemeriksaan awal terhadap pelapor yakni (MPI), yang diwakili kuasa hukumnya, Rahim Lasupu guna memverikasi bukti yang diajukan.
Hingga saat ini, kasus antara MPI dan CSMI ini pun terus bergulir. Pihak MPI pun mempercayakan sepenuhnya kepada pihak kepolisian untuk mengungkap dan menemukan dalang di balik kasus ini.
Bergulirnya kasus Gedung Indonesia 1 yang pembangunannya diresmikan oleh Presiden Jokowi sendiri pada 2015 silam, tepat setahun mantan Walikota Solo itu menduduki posisi nomor satu di negeri ini, membuat CEO Media Group, Mohammad Mirdal Akib buka suara.
Ditemui media ini di kantornya di Gedung Plaza Office Tower, Mohammad Mirdal Akib blak-blakan soal kasus yang menimpa salah satu entitas usahanya. Dalam pertemuan ini, CEO Media Group ini didampingi Vice President Media Group, Kioen Moe dan Direktur Utama PT Media Properti Indonesia, Dewi Ayu serta Vice President Corporate Communication Media Group, Fifi Aleyda Yahya.
Mirdal mengungkapkan bahwa ada dua hal yang menyebabkan pihaknya memutuskan menyerahkan kasus ini kepada pihak kepolisian dengan melayangkan laporan ke Polda Metro Jaya beberapa pekan lalu.
Pertama, adanya corporate action yang dilakukan oleh pihak CSMI ataupun CSRE di Singapora tanpa melibatkan pemegang saham yang lainnya yakni PT Media Properti Indonesia (MPI). Apalagi, tegasnya, jika corporate action itu dilakukan offshore atau di luar Indonesia.
“Inilah yang membuat kami bersuara agar siapapun yang kemudian mau melakukan deal baik itu akuisisi, pembelian saham dan lain-lainnya yang sudah diatur dalam undang-undang perseroan dimana harus melibatkan pemegang saham lainnya agar segera dihentikan,” kata Mirdal di Jakarta, Rabu (4/8/21).
“Nah, di sini saya mewanti-wanti betul, jangan sampai terjadi transaksi legal coporate action seperti itu tanpa melibatkan pemegang saham yang lainnya. Ini sangat tidak etis,” tegas Mirdal menambahkan.
Kedua, Mirdal menyampaikan, pihaknya merasa terzolimi karena finalisasi administrasi sebagai pengakuan terhadap saham Media Properti Indonesia (MPI) yakni 10 persen, yang mestinya sudah diselesaikan sejak tahun 2016, hingga saat ini belum direalisasi oleh CSMI.
“Kami merasa terzolimi karena administrasi kami belum dibakukan. Dimana administrasi pengakuan saham MPI yakni 10 itu kemudian belum direalisasi sampai hari ini, tapi kemudian CSMI maupun CSRE melakukan corporate-corporate action, yang mestinya melibatkan MPI sebagai pemegang saham,” ungkap Mirdal.
Lebih lanjut, Top Eksekutif Media Group ini menegaskan bahwa situasi seperti ini dapat terjadi pada pengusaha nasional lainnya. Sehingga penting bagi Media Group untuk bersuara keras sebagai pembelajaran bersama para pihak.
Kronologis
Mirdal menuturkan, awal mula kerjasama antara salah satu perusahaan Media Group yakni PT Media Properti Indonesia (MPI) dengan perusahaan asal China bernama China Sonagol Real Estate (CSRE) berjalan sebagaimana bisnis pada umumnya. Kerjasama keduanya terjalin dalam rangka proyek pembangunan Gedung Indonesia 1.
“Nah CSRE dan Media Properti Indonesia kawin, jadilah China Sonagol Media Indonesia (CSMI). Proyeknya adalah pembangunan Gedung Indonesia One, dengan 57 lantai dan merupakan Green Platinum Building,” tutur Mirdal.
Dalam proses berjalan, tambahnya, pembangunan gedung ini kemudian diresmikan Presiden Jokowi pada 2015 silam. Hal ini sekaligus menjadi momentum untuk memperlihatkan bahwa bisnis Media Group sangat diandalkan mitra asingnya di dalam negeri.
Proyek ini pula menjadi monumental penting yang sarat makna. Nama yang dipilih Indonesia 1, ingin menunjukkan pada dunia bahwa Indonesia adalah satu dalam persatuan setelah sempat ada polarisasi dalam proses politik Pilpres 2014. Dan, Indonesia menunjukkan semangat tumbuh bersama dan komitmen kemitraan penuh persahabatan terhadap investasi.
Dalam komitmennya pertama kali, kata Mirdal, MPI memiliki hak saham sebesar 30 persen, sedangkan sisanya menjadi hak CSRE. Berhubung saat itu, terang Mirdal, proses pembangunan Gedung ini harus segera berjalan, segala hal terkait administrasi awal dan sebagainya belum dilegalkan dan disepakati akan dilakukan pada RUPS berikutnya.
Namun, seiring proses pembangunan berjalan, owner CSMI berubah. Dari sinilah, ujar Mirdal, semuanya mulai terkatung-katung. Semangat persahabatan yang dibangun sejak awal sama sekali tak dianggap oleh manajemen baru CSMI.
“Kemudian turunlah komitmen menjadi 10 persen. Kami pun juga masih menunggu, kalo ada perubahaan seperti itu kan harus ada RUPS, pemberitahuan kepada kami sebagai pemegang saham,” imbuhnya.
Sementara menunggu kepastian adminitrasi saham 10 persen atau 30 persen itu, lebih lanjut Mirdal menuturkan. Terakhir, pihaknya justru mendengar kabar bahwa CSMI digugat pailit oleh para kontraktor utama pembangunan Gedung Indonesia 1 ke PKPU.
“Dalam proses seperti itu, siapa yang jadi garda terdepan? Tetap aja Media Group. Padahal kami sebenarnya masih pasif dan seluruh operasional masih dijalankan oleh CSMI. Nah, kami melakukan kewajiban kami, tapi orang seluruh Indonesia menuding bahwa kami yang macet, gitu. Padahal belum ada peralihan apa-apa, gitu. Seumur Media Group berdiri, tidak pernah bisnis kami bermasalah apalagi macet. Reputasi yang kami rawat selama ini cidera karena kasus ini,” pungkas Mirdal dengan lugas.
Sampai di situ, pihaknya kemudian merasa perlu untuk segera memfinalkan administrasi tentang kepemilikan saham MPI melalaui RUPS. Namun pihaknya justru mendapati respon CSRE yang tidak proper dan sangat tidak etis.
“Belum lagi kemudian mulai dilakukan coporate action yang mestinya secara governance itu mestinya diberitahukan juga kepada pemegang sahamnya yang lainnya,” tandasnya.
Secara de jure, jelasnya, karena MPI memiliki 10 persen saham, maka sudah sepatutnya CSRE memberitahukan pihak MPI terkait segala corporate action yang terjadi dengan CSMI. Namun nyatanya, pihaknya justru mendengar dari pihak lain.
“Kami malah mendengar dari pihak-pihak lain. Contohnya, seperti perjanjian damai dengan kreditur. Padahal kami yang selama ini menghadapi dan menjawab semua hal di lapangan,” tutup Mirdal.*(Rikard Djegadut).