oleh Gerard N Bibang*)
Lihat lelaki itu
beranjang sana di sebuah belahan bumi empat musim
apa yang ia cari, tak satu pun yang tahu
ia memaklumkan Allah sudah mati
makhluk paling sepi-lah, ia
jangan-jangan yang ia kejar adalah bayang-bayang yang tidak pernah ada
yang meluncur beringas merangsek jiwa dan raga
di jalan itu, ia sendirian
kesepian adalah saudaranya seperjalanan
menimbun masa-masa bersesak sukma
jiwa meronta dibayang-bayang suram
apa arti merindu selagi ia hidup?
ialah hanya maya
maka untuk apa mendambakan cinta
bila memasuki hutan terlarang tanpa beralas kaki
bila batu cadas menghadang telah menjadi nubuat sunyi
ke mana-mena di sudut jalan nampak tebing ditoreh belati
ada lelehan darah
tahun kelahiran tiap ciptaan tertulis di sana
di bayang-bayang oleh kematian yang adalah saudaranya
makhluk tercipta dengan terkepak sayap-sayap patah
mengejar untuk mendapati sang surya
terhimpit- terkucil
hakekat ciptaan dari sananya sudah teralienasi
terpecah-pecah bagai buih menepis bibir pantai
terlempar ke tengah dunia
adalah hakekat makhluk ciptaan
ber-ada sekaligus ‘ada-bersama’
jadilah manusia seorang pemberontak
menguliti nasibnya sendiri
menyusup melalui lubang pori-pori
siapakah ia di depan malam kelabu
saat senjakala merah memenggal berhala
saat nilai-nilai diaduk memudar bagai pesulap di balik layar
pujian apa, makian apa, semuanya adalah cermin pantulan
dari kaki lincah penggoda yang hanyut dalam gairah menyimpan kutukan
apa yang ada hanyalah telinga purna tersumbat kasih sayang
dan mata tajam terpejam kecemburuan alam
semesta bangkit menjelma peperangan
bungkukan lembut bersimpan belati maut
kegusaran hebat menampilkan canda
apa yang dipermainkan benar-benar menjadi teka-teki yang sulit ditebak
lorong-lorong jalan sepi
di bawah terik mentari
di bawah garis kathulistiwa atau di tempat empat musim
sama saja tabiatnya: lelaki kesepian itu menyepi sambil melucu-lucu
menertawakan kesementaraan hidupnya adalah lucu-lucu yang sungguh-sungguh
saat meraba-raba dengan kejelian pandang sambil berteduh
sembari mencari jalan kembali ke kampung halaman
entah di mana, tak satu pun yang tahu
benar bahwa ia memiliki kampung halaman
hanya tidak tahu halamannya berapa
lucu-lucu memang menebarkan jala kemungkinan
meniti jalan sepi menuju kepulangan
maka hari-hari adalah babak pisah dari buku kehidupan
buku yang sia-sia membedahklan keajaiban rindu
semua yang tercinta bosan dibaca
semua bagai bunyi serangga yang tak henti-henti menjelang subuh
sebelum segalanya menghilang ditelan keremangan kata
menit-menit perjalanan mengambang di antara cabang-cabang bakau
akhirnya ia tahu kematian kapan saja datang berlabuh
mungkin di dermaga sana
mungkin di sini dan sekarang
*
(gnb:tmn aries, jkt:juni ’21, terinspirasi dari puisi Friedrich Nietzsche (1844-1900): Vereinsamkeit (=Kesepian).
*) Gerard N Bibang adalah dosen sekaligus penyair kelahiran Manggarai, Flores NTT. Ia adalah penyair yang menahbiskan dirinya sebagai petani humaniora. Gerard saat ini berdomisili di Jakarta.