Kumpulan Puisi Welhelmus F. N. Runesi

0

Tilik-Bulir.id – Kumpulan Puisi Welhelmus F. N. Runesi

Sepucuk surat untuk seorang wanita bernama IBU

”Keriput dilehermu adalah kesetiaan yang terukir direntang usia.
Rabun matamu adalah kesabaran yang tertoreh dijalan hidupmu.
Tatih jalanmu adalah ketekunan yang yang menapak dipengabdian”

Kau yang empunya kelembutan
Berpuisi diriuh tangis masa kecilku
Kau yang empunya kidung
Melagukan gitanjali menghantar tidur
Kau yang empunya jiwa
Tempat segala keluh bertemu sapa

Serupa senja, perasaanmu eksotis
Bagaikan doa, bisikmu mistik
merapal kata semoga yang tajam membelah waktu.

Kupang, 14 April 2021

Aku harus Pulang

Ada suara yang terdengar samar memanggil pulang
Ada bayang keriput wajah melukis sepi
Sebab pohon-pohon disajikan saat jamuan para buldoser
Dan burung-burung kehilangan kicau

Kupang, 15 November 2019

Sebuah kampung bernama Battuna

Mungkin nanti aku akan merindukan lagi
sebuah rumah dinding yang bisu
jalan berbatu yang sepi
disebuah kampung bernama Battuna

mungkin nanti aku akan merindukan lagi
desa yang sunyi namun menyimpan luka sederhana
yang tercatat dalam kitab penciptaan

aku akan merindukan lagi orang-orang
“yang menanam jejak didesa
Tempat eros lahir
Jumbui romantisme desa”

Aku akan merindukan bintang-bintang yang bersinar di langit desa
jalanan becek usai gerimis hujan salami dedahan
dengkur para petani melepas lelah
di sebuah rumah di Battuna
dihalaman rumah-rumah Battuna
disebuah kampung bernama Battuna

Liliba, 05 April 2021

Kita dan waktu

Berlalu waktu dalam hening jalan kita, telisik ingat
akan cerita masa itu.
kita yang masih searah, ingin-ingin gesit melari dalam budi-budi
putih
bergeliat merekah dipagut usia kata-kata kita
disini, dipenghujung musim berselimut mega
kita membangun kata;
aku,
kamu,
mereka,
kita semua,
dalam pagi yang beranjak gelora sukma kita bangun,
merangkai jalan dalam lelah usai cerita kita timbu.

Hari-hari yang telah lalu menoreh kisah berbalut segala rasa
seraya kita ditimbun hasrat menghidupi mimpi
ditabur debu-debu keegoisan
terkadang melupa bahwa pagi yang rekah dan senja yang temaram
menampak warna yang sama, kemegahan awan yang bersalin rupa
merah jingga.
Siang dan malam, diksi berwajah kelabu
tersebab suka dan luka kita rangkai pada tiap derap paling nestapa,
susuri lorong penuh teka-teki

pada bekas kaki yang tertinggal
tergambar jelas kegelisahan yang dipasung nada-nada minor dan melankolia
dan sengaja mengubur mimpi tak tergapai dalam liang luka kesibukan.

Sedang waktu terus melaju membuka ruang-ruang kenangan yang terpatri pada dinding keabadian, menggores segala rasa dalam raga yang terus dibasuh keringat-keringat sibuk

Dimalam yang telah lalu
kita yang pernah berjumbu dalam desah paling purba
semakin hanyut dalam putaran waktu.
Ketika kita tersadar, waktu telah berkawan ruang
membikin resah. kita kembali membangun kata;
Aku,
Kamu,
Mereka,
Kita semua.
Dengan nada tanpa notasi dan lagu tanpa narasi
Dalam lelah, kita berlari mengejar waktu seraya berharap dipersimpangan jalan nanti
tiada lagi sekat-sekat waktu bagai hembus angin dirimba belantara menembus masa lalu mengubah masa depan.
Dan kita semua, sama-bersama digantung waktu.

Kupang, 28 Oktober 2018

Tuan dan Puan yang Terhormat

Izinkan aku berpuisi atas nama risau yang berbinar,
sebab padamu telah terlukis rindu yang lembut pada bentangan sabana berumput sutra
tempat kita memadu kisah yang tak hengkang dibasuh hujan-hujan masehi

Tuan dan puan yang terhormat, izinkan aku berpuisi atas nama resah dan gelisah
Yang terbesit disudut waktu.
Sebab disini, detik waktu terus mengusik tunggu

Tuan dan puan yang terhormat, izinkan aku berpuisi atas nama imaji dan ilusi
Yang perlahan melintas pada batas titian-titian rindu
dan mimpi-mimpi paling mulia, tempat bersemayam segala janji yang tak pernah lesap

tuan dan puan yang terhormat
tuan dan puan yang terkasih
izinkan kau berpuisi tentang masa penghabisan agar menjawabi janji
yang telah kau ucapkan dibawah awan putih

Liliba, 07 Agustus 2020

Aku Jatuh Cinta

Tubuhmu molek menggoda
padang kuning dan belalang birahi
rerumput kering memintal kemarau

gunung yang menopang langit
serupa seribu payudara ibu
yang meneteskan sari kehidupan

bukit hijau adalah takhta
tempat Rahim perempuan
menumbuhkan iman yang pasrah

laut biru adalah lumbung
tempat ayah memanen segala doa

Kampus Sanata Dharma, 30 Juni 2019

*) Welhelmus F. N. Runesi merupakan mahasiswa Fakultas Filsafat Unwira – Kupang, NTT.