MENGINTIP CAKRAWALA-13:
MAKA RINDUKU
terlukis di cakrawala sebuah kerinduan yang dapat abadi; yang dapat memeluk dirinya sendiri seperti bayi yang memeluk dirinya sendiri saat melucur dari rahim ibunya; ia sendirian namun tidak sendiri; meski dalam sepi, sunyi dan tangis
maka rinduku dari jauh bukan kesendirian, bukan pula penderitaan; namun kesadaran akan sebuah rasa yang telah genap sejak ia dilahirkan; dan kebanggaan atas cinta yang bertaut jiwa-raga
maka rinduku bukan beban di pundak yang membabak-belur; merasa bersama pada kesedihan dan kegembiraan adalah mau-ku; kadang terjatuh karena ragaku yang rapuh; kejatuhan adalah seperti menyerap air mata yang telah tersuling menjadi air murni
agar cinta yang bersemai dapat abadi
maka rinduku bukan kerumunan dan itulah pula yang paling membuatku lelah; ialah jikalau rinduku dipaksa berada di tengah kerumunan yang terdengung dan di antara suara-suara tawa yang ribut; rinduku bukan kerumunan yan berlari sekencang-kencangnya namun tidak tahu apa yang dikejar; rinduku bukan isi batok kepala di kulkas yang tak pernah disentuh sehingga ia mengeras menjadi daging beku
MENGINTIP CAKRAWALA-14:
MELEMBAYUNG
kasih-sayangmu me-lembayung di bawah bayang-bayang biru langit cakrawala; jelas dan tak terbantahkan diintip dari sini saban waktu; tanpa silau, tanpa redup
di sana ada titik-titik cahaya dalam kerumunan kelabu; naungan berteduh di saat-saat gersang; tapi mengalirkan kehangatan jiwa sepanjang waktu; entah di musim hujan, entah di musim kerontang
kasih-sayangmu melembayung, kekasihku; di setiap derap kaki dan lorong-lorong hidup muzafir cinta sepanjang jalan; aku-lah muzafir itu; engkau pun sudah tahu
cintamu melembayung, tak tergerus waktu; aku katakan ini sebuah kebenaran; maka akan kugapai, entah sampai kapan dan di mana; ke sana, jalan terjal akan berani kutapak; sejengkal pun, tak’an kumundur*); kerikil dan cadas, berani kulalui; demi cinta yang telah aku sebutkan dalam hati; ialah ikrar tanpa kata, melembayung sepanjang hayat
maka kulalui jalan rindu; sejengkal pun ta’an kumundur; demi kebenaran, sesulit apa pun aku berani meniti; yah, demi cinta abadi
**
· …tak’an mundur sejengkal = terjemahan bebas dari “pro veritate adverse diligere,” motto Kardinal Carlo Maria Martini, SJ: “Demi cinta kebenaran, berani memilih situasi-situasi sulit”
MENGINTIP CAKRAWALA-15:
LAYAR BIOSKOP
tiba-tiba cakrawala menjelma layar bioskop yang memutar narasi cinta kita; jelas dan tak terbantahkan bening air muka dan sinar matamu, di sebuah paruh waktu, di ibukota; senyummu terkulum di balik pintu; sensual sekaligus dingin saat matahari menyingsing di ufuk timur; membuat mataku yang menyimak bagai nuansa alam mimpi
sejak lama aku di sini; sejak lama aku terperangkap dalam kepedihan; yang aku sebut sebagai kontradiksi yang tak kasat mata; ialah merasa bersatu namun yang tampak mata; kita sendiri-sendiri dan sendirian; berdua namun sekaligus sendiri-sendiri; ramai namun sekaligus sepi; tertawa namun sekaligus lara; dekat namun sekaligus menjarak
aku intip sekali lagi ke cakrawala; layar lebar itu masih bernarasi; kontradiksi demi kontradiksi hadir bagai labirin; aku membathin: beginilah cinta yang sudah dimulai dan tak pernah kenal kata akhir
*) Gerard N Bibang adalah dosen sekaligus penyair kelahiran Manggarai, Flores NTT. Ia adalah penyair yang menahbiskan dirinya sebagai petani humaniora. Gerard saat ini berdomisili di Jakarta.