FILSAFAT, Bulir.id – Apa tujuan mempelajari politik dan teorinya? Siapa yang diuntungkan dari pengetahuan ini dan bagaimana manfaatnya? Artikel ini menggali wawasan Aristoteles tentang pertanyaan-pertanyaan tersebut. Dimulai dengan mengeksplorasi peran politik dalam kerangka kerja Aristoteles yang lebih luas tentang ilmu dan pengetahuan.
Kita kemudian akan membahas konteks politik di mana karya Aristoteles harus dipahami. Artikel ini lebih lanjut membahas tujuan dari teori politik, keterbatasan yang diberlakukan pada pemerintah dalam upaya untuk membentuk kembali masyarakat, dan pentingnya pendekatan Aristoteles terhadap politik.
Politik Aristoteles dalam Konteks Keseluruhan Karyanya
Politik Aristoteles harus dipahami dalam konteks pembagian pengetahuannya ke dalam tiga ilmu. Pertama, ada ilmu-ilmu kontemplatif, yang melibatkan pengejaran kebenaran atau pengetahuan itu sendiri. Selanjutnya, ada ilmu-ilmu praktis, yang bertujuan untuk menentukan tindakan yang tepat dalam berbagai konteks. Terakhir, ada ilmu-ilmu produktif, yang melibatkan penciptaan benda-benda secara harafiah.
Politik secara tegas termasuk dalam ranah ilmu praktis. Bahkan, politik dicirikan sebagai ilmu yang mengatur semua ilmu praktis lainnya, seperti ilmu militer, manajemen rumah tangga, dan retorika. Meskipun mungkin tampak tidak biasa untuk mempertimbangkan semua ini, terutama retorika, sebagai bentuk ilmu pengetahuan, penting untuk dipahami bahwa bagi Aristoteles, “ilmu pengetahuan” terutama mengacu pada kumpulan pengetahuan yang terorganisir. Oleh karena itu, pada prinsipnya, bidang apa pun dapat dipelajari secara ilmiah.
Relevansi Politik Athena
Sebagaimana kita perlu memahami politik Aristoteles dalam konteks pemikirannya yang lebih luas, kita juga perlu mempertimbangkan latar belakang politik pada saat itu. Sebagian besar karier Aristoteles berlangsung di Athena, tempat ia belajar di Akademi Plato.
Aristoteles mendirikan sekolahnya sendiri, dan kemungkinan besar menulis banyak teks Aristotelian yang kita miliki saat ini untuk memberi kuliah dan mengajar berdasarkan teks-teks tersebut (beberapa di antaranya masih ada dalam bentuk catatan).
Aktivitas filosofis di Athena, khususnya teori politik, harus dipahami dengan latar belakang struktur pemerintahan demokratis yang luar biasa yang ada pada periode tersebut. Mari kita melihat sistem demokrasi Athena dan fungsinya.
Tujuan demokrasi Athena adalah untuk membangun sistem pemerintahan di mana warga negara yang memenuhi syarat dapat berpartisipasi langsung dalam proses pengambilan keputusan. Patut dicatat bahwa kewarganegaraan merupakan kriteria utama partisipasi politik. Siapapun yang merupakan warga negara dapat, dan didorong untuk, berpartisipasi dalam proses demokrasi. Namun, kewarganegaraan dibatasi pada laki-laki cukup umur yang memiliki properti.
Salah satu ciri utama demokrasi Athena adalah Majelis, badan utama yang bertanggung jawab atas pengambilan keputusan. Majelis ini terdiri dari semua warga negara laki-laki yang memenuhi syarat yang memiliki kekuatan untuk mendiskusikan dan memberikan suara pada hal-hal seperti undang-undang, kebijakan, dan masalah-masalah penting. “Dewan 500” bertanggung jawab untuk mempersiapkan agenda Majelis dan melaksanakan keputusannya. Anggota dewan dipilih melalui sistem undian untuk memastikan keterwakilan warga yang luas.
Sistem peradilan Athena terdiri dari pengadilan di mana warga negara bertindak sebagai juri. Pengadilan-pengadilan ini mengadili kasus-kasus dan membuat keputusan, termasuk keputusan mengenai masalah pidana dan tuntutan hukum. Secara keseluruhan, demokrasi Athena bertujuan untuk memberikan warga negara yang memenuhi syarat hak untuk bersuara dalam pemerintahan negara kota tersebut. Tujuannya adalah untuk mendorong kesetaraan, mencegah pemusatan kekuasaan, dan melibatkan warga negara dalam proses pengambilan keputusan.
1. Apa Tujuan Teori Politik?
Aristoteles membuat analogi antara ilmu politik sperti ilmu kedokteran. Ilmu politik adalah kumpulan pengetahuan yang dapat digunakan oleh para politisi ketika membuat keputusan politik, sama halnya dengan ilmu kedokteran yang merupakan kumpulan pengetahuan yang digunakan oleh para dokter ketika membuat diagnosis dan melakukan pembedahan.
Menurut Aristoteles, politisi terutama terlibat dalam perumusan undang-undang, pengembangan adat istiadat hukum dan politik, dan pembentukan lembaga-lembaga di satu sisi, sementara di sisi lain, mereka terlibat dalam pemeliharaan hukum, adat istiadat, dan lembaga-lembaga tersebut.
Analogi lain yang sering muncul dalam tulisan-tulisan politik Aristoteles adalah perbandingan antara politisi dan pengrajin. Meskipun keahlian dalam bidang keahlian lebih banyak berada dalam bidang ilmu-ilmu produktif dibandingkan ilmu-ilmu praktis (misalnya politik), keahlian ini relevan karena politik menganut prinsip-prinsip universal tertentu yang menjadi batasan sejauh mana politisi dapat membentuk kembali masyarakat.
Sebelum mempelajari rincian kendala-kendala ini, penting untuk memahami konsep dasar Aristotelian: sebab-akibat. Aristoteles mengidentifikasi empat jenis sebab-akibat. Penyebab material berkenaan dengan bahan pembuat benda, misalnya tanah liat untuk pot. Penyebab formal mengacu pada bentuk atau bentuk pot. Penyebab efisien mewakili agen atau kekuatan yang menyebabkan terciptanya pot. Terakhir, sebab final menunjukkan tujuan atau fungsi pot, misalnya menampung cairan. Teori sebab-akibat ini berlaku dalam politik dengan cara yang sangat langsung dan mencerahkan.
2. Menerapkan Empat Sebab Aristotelian dalam Politik
Seperti yang telah kami sebutkan, ada empat penyebab untuk setiap hal dalam pandangan Aristoteles: penyebab material, formal, efisien, dan final. Warga negara, tanah, dan sumber daya yang tersedia merupakan penyebab utama terbentuknya pemerintahan.
Aristoteles mendefinisikan penyebab formal suatu pemerintahan sebagai “keteraturan tertentu dari penduduk suatu negara kota,” yaitu apa yang sekarang kita sebut sebagai “konstitusi.” Banyak teori politik modern yang masuk akal dapat ditelusuri kembali ke fokus kita pada konstitusi, yang memberikan landasan teori bagi sebuah negara. Ini berfungsi sebagai pernyataan eksplisit tentang prinsip-prinsip dasar yang mendasari suatu negara.
Penguasa, atau di negara-negara dengan banyak penguasa, badan kedaulatan, bertindak sebagai penyebab efisien. Mereka menetapkan konstitusi dan memegang kekuatan yang operasional dan menentukan dalam negara. Tujuan terakhir negara, yang dianggap penting oleh Aristoteles dalam politik, adalah memberikan kehidupan yang baik bagi semua anggotanya.
Klaim ini tampaknya tidak kontroversial. Komunitas politik, sebagai komunitas tertinggi bagi Aristoteles, dapat mencapai tujuan akhir ini sepenuhnya. Karena setiap komunitas bertujuan untuk kebaikan dan komunitas politik memegang otoritas tertinggi, maka politik harus berjuang untuk kebaikan setinggi mungkin, menurut Aristoteles.
Salah satu implikasi penting adalah bahwa otoritas negara berasal dari kebaikan yang dapat dicapainya. Dengan kata lain, otoritas negara tidak sekadar membenarkan dirinya sendiri, juga tidak dibenarkan atas dasar teologis (seperti hak ilahi para penguasa, yang merupakan salah satu pembenaran paling umum bagi kekuasaan negara di banyak belahan dunia).
3. Aristoteles tentang Batasan Kekuasaan Negara
Negara-kota, yang meminjam terminologi Fred Miller, dapat dianggap sebagai “senyawa hilomorfik.” Pemahaman perspektif Aristoteles sangat bergantung pada istilah “hylomorphic,” yang secara luas mengacu pada konsep sesuatu yang memiliki komponen formal dan komponen material, atau menjadi bentuk spesifik yang dibentuk dari material tertentu.
Salah satu implikasi penting dari memahami politik dengan cara ini adalah bahwa menyatakan bahwa politik mempunyai elemen material yang memiliki sifat-sifatnya sendiri memberikan batasan terhadap apa yang dapat diharapkan oleh pemerintah untuk dicapai. Dengan kata lain, ada batasan sejauh mana pemerintah dapat mengubah masyarakat yang mereka kelola, dan batasan ini tidak semata-mata bersifat etis namun juga merupakan hal yang wajar. Pembuat undang-undang tidak boleh menyebabkan pemerintah bertindak bertentangan dengan sifat alamiah warga negara.
Pandangan ini dapat diartikan sebagai kritik tersirat terhadap teori politik Plato yang bersifat utopis dalam arti bahwa negara dapat melakukan perubahan sosial secara luas yang mempengaruhi setiap aspek kehidupan warga negara. Pada titik tertentu, Aristoteles secara eksplisit membedakan antara yang personal dan yang politis, dengan alasan bahwa sudah menjadi fakta alamiah manusia bahwa mereka paling menaruh perhatian pada harta miliknya dan kurang memperhatikan hal-hal komunal (kecuali jika komunalitas secara langsung bermanfaat bagi mereka).
Untuk memperluas poin ini, sementara konsepsi Plato tentang politik secara luas mengasumsikan bahwa negara harus melakukan apa pun yang secara hipotetis lebih baik baginya (dan karena itu dapat melakukannya), Aristoteles menegaskan bahwa untuk memahami apa yang dapat dilakukan oleh negara, pertama-tama kita perlu menjelaskan tentang sifat dasar manusia. Ini mewakili dua spesies teori politik yang berbeda, yang keduanya memiliki padanannya di masa kini. Pertanyaan-pertanyaan mengenai sifat manusia yang mudah berubah akan berinteraksi dengan pertanyaan-pertanyaan tentang totalisasi politik. Aristoteles menegaskan bahwa ada dunia politik, yang sangat penting dalam kehidupan, tetapi itu bukan keseluruhan kehidupan dan, dalam keadaan biasa, tidak boleh berusaha untuk menjadi seperti itu.*