Menyoal Kritik Aksi Sidak Bupati: Tanggapan atas Pernyataan Ketua Umum LPK-DM

0
Bupati Manggarai Barat, Edi Endi

Oleh: Sil Joni*

Tilik, BULIR.ID – Hegel, seorang filsuf idealisme Jerman meradikalkan ‘teori dilektika’ Platon dengan menarik teori itu dari wilayah epistemologi ke ranah ontologi. Segala sesuatu, demikian Hegel bersifat dialektis. Segala sesuatu kontradiktif, mengandung pertentangan, tidak hanya pada dirinya sendiri, tetapi juga dalam relasinya dengan entitas yang lain.

Mengacu pada ‘ide Hegel’ ini, maka sebuah gagasan atau pernyataan tentang sesuatu selalu terbuka untuk ‘ditentang’ karena memang unsur kontradiktif telah menjadi bagian inheren dari gagasan itu.

Ketika Ketua Umum Lembaga Pengkajian Kebijakan Daerah Mabar (LPK-DM) Manggarai Barat (Mabar, Lorent Logam misalnya, mengkritisi ‘aksi inspeksi mendadak (Sidak)’ dari Bupati Mabar, Edistasius Endi (EE), maka hendaknya hal itu dimaknai dalam terang ‘teori dialektika’ tersebut. Lorent coba mengonstruksi semacam ‘anti-tesis’ dari kerja politik bupati tersebut.

Seperti yang dilansir media dalam jaringan (daring) ini, Bulir.Id, (23/3/2021), sang Ketua Umum LPK-DM ini menilai bahwa aksi sidak bupati EE ke pelbagai Organisasi Perangkat Daerah (OPD) merupakan halusinasi, gerakan refleks, dan sebatas euforia. Basis argumentasinya dijangkarkan pada fakta bahwa EE ‘tidak pernah melakukan aksi serupa’ selama menjadi anggota DPRD Mabar 4 periode.

“Kalau kita lihat itu sebagai bentuk ciri khas kepemimpinan beliau kan nggak juga. Bupati EE kan bukan orang baru di lingkungan eksekutif dan legislatif di Mabar. Beliau terbilang politisi ulung yang menghabiskan waktunya sebagai DPRD Mabar”, tegas Lorens. Bahkan menurut Lorent, pembangunan yang buruk di Mabar itu justru terjadi semasa EE sebagai anggota legislatif.

Fakta masa lalu di mana EE dan lembaga DPRD tidak menjalankan fungsi kritisnya dengan cara melakukan Sidak ke setiap OPD dijadikan ‘basis empiris’ bagi Lorent untuk menjustifikasi kesimpulannya bahwa Sidak yang sekarang ini bersifat halusinatif, gerakan refleks, dan euforia belaka.

Bola kritik yang digelindingkan Lorent dalam ruang publik terbungkus dalam tiga istilah teknis: halusinasi, refleks, dan euforia. Tentu kita perlu mengapresiasi kritikan ini. Setidaknya, dengan melakukan kritik pedas semacam ini, bupati EE bisa berpikir dan bertindak lebih cerdas, arif, dan efektif. Lorent ‘mengingatkan bupati’ agar jangan bertindak halusinatif, refleks, dan penuh euforia dalam mendesain dan mengeksekusi sebuah kebijakan publik seperti kegiatan Sidak itu.

Kendati demikian, pernyataan Lorent itu saya kira sangat debateable. Saya coba membedahnya dari dua perspektif. Pertama, ketepatan penggunaan tiga istilah yang diutarakan Lorent itu. Pertanyaan kuncinya adalah apakah kandungan makna istilah halusinasi, gerakan refleks, dan euforia sudah tepat untuk menggambarkan sisi negatif dari aksi Sidak itu?

Secara leksikal, halusinasi adalah gangguan persepsi inderawi dalam kondisi sadar tanpa adanya rangsangan nyata terhadap indera tersebut. Misalnya, seseorang mendengar ‘suara aneh’ yang sebenarnya tidak ada sumber suara tersebut. Senada dengan itu, menurut Stuart dan Sundenn (1998) halusinasi adalah gangguan pencerapan panca indera tanpa adanya rangsangan dari luar.

Pertanyaannya adalah apakah aksi Sidak bupati EE itu dilatari oleh persepsi politik yang keliru atau halusinasi? Saya justru menilai bahwa Sidak itu berangkat dari ‘pembacaan yang akurat’ terhadap persoalan mendasar yang terjadi dalam tubuh birokrasi kita. Pak bupati tidak sedang berhalusinasi seolah-olah kondisi dalam lingkungan birokrasi baik-baik saja dan pak bupati ‘mendengar suara aneh’ bahwa ada yang tidak beres di sana. Jadi, istilah itu tidak tepat untuk ‘menilai sisi lemah’ dari aksi Sidak itu.

Kenyataan bahwa EE dan DPRD tidak melakukan “Sidak” sebelumnya, tidak bisa dipakai sebagai alasan untuk menyebut Sidak itu sebagai halusinasi. Saya justru menilai bahwa ‘persepsi politik’ pak EE semakin waras ketika beliau secara rutin melakukan Sidak. Mengapa? Indeks profesionalisme ASN di Mabar untuk empat aspek: Kapasitas, kompetensi, kinerja dan disiplin sangat rendah. Jika bupati ‘duduk manis di Kantor’ dan merasa bahwa semuanya baik-baik saja maka kita pantas menilainya sedang berhalusinasi.

Demikian halnya dengan istilah ‘refleks’. Menurut KBBI versi daring, refleks adalah gerakan yang dilakukan tanpa sadar dan merupakan respons segera setelah adanya rangsangan. Atas dasar apa Lorent menilai aksi Sidak Bupati itu sebagai ‘gerakan refleks”? Benarkah Sidak itu dilakukan secara tidak sadar dan spontanitas belaka?

Jika kita berpikir sedikit lebih jernih dan obyektif, maka sebenarnya aksi Sidak itu dilatari oleh pertimbangan yang sadar dan rasional. Sidak adalah salah satu metode untuk ‘menyadarkan ASN’ untuk tampil lebih optimal lagi karena memang performa birokrat kita masih jauh dari ekspektasi publik. Apakah hasil diagnosa permasalahan dalam tubuh birokrasi ini sebagai basis untuk melakukan Sidak tidak dilihat sebagai sebuah tindakan yang sadar?

Sedangkan kata euforia biasanya digunakan untuk menjelaskan sebuah luapan emosi positif yang berlebihan dan tidak terbendung. Benarkah aksi Sidak itu merupakan ekspresi emosi yang berlebihan atas pencapaian pak EE sebagai Bupati Mabar?

Saya berpikir, bupati EE tidak sedang ‘merayakan kemenangannya’ sebagai bupati Mabar. Sidak itu, dalam pandangan saya, semata-mata sebagai sebuah pembuktian kan komitmennya dalam mewujudkan misi reformasi birokrasi di Mabar. Rasanya aneh, jika bupati menjadikan kegiatan politiknya sebagai ‘medium pengungkapan emosi positif yang berlebihan dan tak terbendung atau euforia dalam istilah ketua LPK-DM.

Sedangkan kata euforia biasanya digunakan untuk menjelaskan sebuah luapan emosi positif yang berlebihan dan tidak terbendung. Benarkah aksi Sidak itu merupakan ekspresi emosi yang berlebihan atas pencapaian pak EE sebagai Bupati Mabar?

Saya berpikir, bupati EE tidak sedang ‘merayakan kemenangannya’ sebagai bupati Mabar. Sidak itu, dalam pandangan saya, semata-mata sebagai sebuah pembuktian akan komitmennya dalam mewujudkan misi reformasi birokrasi di Mabar. Rasanya aneh, jika bupati menjadikan kegiatan politiknya sebagai ‘medium pengungkapan emosi positif yang berlebihan dan tak terbendung atau euforia dalam istilah ketua LPK-DM.

Kedua, dari sisi ‘substansi kritik’. Hemat saya, kritik publik selalu berpangkal pada kenyataan bahwa ‘ada yang tidak beres’ dalam sebuah kebijakan. Karena itu, kita mesti ‘membentangkan pokok persoalannya’ di mana para pembuat kebijakan tidak bekerja secara maksimal sesuai dengan harapan kita.

Kritik Ketua Umum LPK-DM di atas, tidak berdasarkan ‘kajian yang komprehensif’ terkait masalah utama pelaksanaan Sidak itu. Beliau tidak menunjukkan kepada publik bahwa ‘ada persoalan serius’ dalam Sidak itu seperti isu regulasi, efektivitas Sidak, dan pelanggaran elementer yang dibuat bupati dalam aksi Sidak itu.

Sebaliknya, Lorent hanya bertumpu pada ‘realitas perubahan perilaku politik EE’ ketika menjadi anggota DPRD dan saat menjadi bupati sekarang ini. Celakanya, dengan serampangan dan gegabah ‘hasil perbandingan perilaku’ itu dijadikan basis untuk menilai aksi Sidak sebagai halusinasi, gerakan refleks, dan euforia.

Dalam penilaian saya, sebetulnya Lorent ‘menyesal’ mengapa sikap tegas dan kritis EE yang termanifestasi dalam Sidak itu, tidak diterapkan ketika EE menjadi bupati. Jika ‘dugaan’ saya ini benar, maka Lorent tidak ‘mempermasalahkan aksi sidak an sich’, tetapi menggugat EE mengapa ‘baru saat ini, ketika menjadi bupati Mabar’, Sidak baru dibuat secara rutin.

Lalu, pertanyaannya jika Lorent begitu kesal dengan perubahan sikap politik itu, mengapa Lorent begitu berani dan percaya diri menilai aksi Sidak sebagai halusinasi, gerakan refleks, dan euforia? Bukankankah perubahan sikap politik itu sangat ‘mendesak saat ini’? Jika EE masih mengikuti ‘gaya rezim sebelumnya’, maka mungkinkah visi Mabar Bangkit Menuju Mabar Mantap bisa terwujud? Apakah perubahan sikap itu dianggap sebagai ‘kecelakaan politik’? Apakah perubahan sikap itu tidak membawa dampak positif bagi peningkatan indeks profesionalisme ASN di Mabar?

Saya tidak sedang membela EE sebagai pribadi. Tetapi, saya hanya berusaha menganalisis secara fair ‘status quetionis’ dari polemik tentang Aksi Sidak dalam ruang publik. Jika Lorent menilai saya sebagai ‘buzzer’ seperti yang sering ditulis di salah satu grup percakapan WA, saya menghormatinya. Lorent boleh ‘berspekulasi’ tentang posisi politik saya dan menggunakan argumentum ad hominem dalam berdebat, itu adalah ‘kebiasaanmu’ yang tidak bisa diintervensi oleh siapa pun.

Akhirnya, saya berharap agar LPK-DM bentukan Lorent ini bisa berkontribusi secara optimal untuk perbaikan tata kelola pembangunan politik di Mabar. Hasil kajian empirik dari lembaga riset ini, bisa menjadi referensi bagi para pengambil kebijakan dalam mendesain dan mengeksekusi pelbagai program politik yang pro pada kesejahteraan publik.

*)Sil Joni adalah pemerhati masalah sosial dan politik; Saat ini berdomisili di Labuan Bajo, Manggarai Barat

Catatan Redaksi: Opini pada kolom ini merupakan pandangan pribadi penulis dan sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis, tidak mewakili redaksi Bulir.id. Opini ini sudah dipublikasikan di media daring letangmedia.com, dipublikasikan kembali untuk tujuan edukasi.