Tabur, BULIR.IDÂ – Sejumlah tokoh nasional sudah dikonfirmasi akan menghadiri acara peluncuran buku “Dunia Hoegeng: 100 Tahun Keteladan” di Balai Sarwono, Jl. Madrazah No.14, Jeruk Purut, Jakarta Selatan hari ini, Minggu (7/11/21).
Di antara sejumlah tokoh yang hadir itu antara lain Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan, (Menkopolhukam) Mahfud Md, anggota Watimpres, Mayjen Pol (Purn) Sidarto Danusubroto, Komjen Arief Sulistyanto, mantan Wakapolri, Komjen (Purn.) Drs. Nanan Soekarna dan sejumlah tokoh lainnya.
Hadir pula penulis buku Farouk Arnaz, perwakilan keluarga Hoegeng Adytya S. Hoegeng serta Pemred Indonews.id selaku Dosen Senior IPDN, Asri Hadi sebagai moderator.
Dunia Hoegeng: 100 Tahun Keteladanan
Kehadiran buku “Dunia Hoegeng: 100 Tahun Keteladan” menjadi sebuah harapan klalayak Indonesia kepada institusi kepolisian dan para anggotanya untuk meneladani kebaikan, kejujuran dan integritas Jenderal Hoegeng.
Dimana dalam buku ini, mantan Kapolri bernama lengkap Hoegeng Iman Santoso itu kerap disebut sebagai panutan bagi institusi Polri. Buku ini mengambarkan secara jelas bagaimana ia menjaga integritasnya sehingga menjadikannya sebagai polisi sejati, yang menjalankan amanah sesungguhnya.
Dalam buku setebal 339 halaman karya wartawan senior Farouk Arnaz itu, selama karirnya, Jenderal Hoegeng digambarkan sebagai manusia langka yang belum ada padanannya dari dulu hingga kini.
Bagaimana tidak! Sejumlah posisi strategis dan basah pernah dijabatnya. Namun ia mampu mempertahankan prinsip, menjaga integritas, dan dedikasi. Itulah warisan yang ditinggalkannya: keteladanan.
Keteladanan Jenderal Hoegeng sebagai polisi sudah mencapai titik paripurna. Bahkan ia tak sendiri, ia juga mengajak serta keluarganya untuk terjun memasuki kehidupan yang penuh idealisme dan antikompromi yang sesunggunya sangat sulit untuk dijalankan.
Hoegeng tidak mau berkhianat dan berkongsi dengan kebohongan. la menjaga nama baik dan bersumpah dengan perbuatan nyata bukan sekadar kata-kata.
Sepak terjang Hoegeng yang tak bisa disetir membuat gerah para ‘tuan besar’ sehingga ia kehilangan jabatannya. Namun, Hoegeng tak pernah menyesali langkahnya.
la bahkan bergabung dengan Petisi 50 pada tahun 1980 yang lantang mengkritik penguasa saat itu yang dianggap mulai melenceng.
Buku ini berisi testimoni orang-orang terdekat Hoegeng, dari ‘dapurya’ Hoegeng-yang tanpa dukungan, keikhlasan, dan pengertian mereka–tentu perjuangan Hoegeng akan lebih berat. Sebab Hoegeng adalah suami, Hoegeng adalah ayah, dan Hoegeng adalah kakek.
Upayanya menginternalisasi nilai-nilai ideal ke dalam tubuh Korps Baju Cokelat. Hoegeng juga ibarat cermin besar bahwa pernah ada, dan bisa, seorang pejabat tinggi, hidup dengan benar. Hoegeng bukan dongeng dan bukan utopia. la menciptakan standar nilai yang tinggi. Baik nilai moral, sikap, dan perbuatan.
Selain itu, juga berisi tiga kasus menonjol di akhir karier Hoegeng sebagai Kapolri dan kebijakan-kebijakan Hoegeng semasa menjadi Kapolri yang terekam dalam berbagai media massa.
Seperti kasus penyelundupan mobil oleh Robby Tjahyadi Cs, kasus pemerkosaan Sum Kuning, dan kasus penembakan mahasiswa ITB Rene Coenrad oleh oknum taruna Akademi Kepolisian.
Hoegeng, yang lahir di Pekalongan pada 14 Oktober 1921, bukan tipe Kapolri yang hobi main golf – karena tidak mampu beli stik. Dia juga tidak mampu membeli rumah dan mobil pribadi dan akhirnya pensiun dini menjelang usia 50 tahun setelah dicopot sebagai Kapolri.
Akhir kata, buku ini adalah bagian dari merayakan 100 tahun Hoegeng untuk merayakan keteladanan, merayakan kejujuran dan merayakan kebenaran.
Semoga polisi muda zaman now dapat belajar keteladanan, idealisme, kejujuran dari sosok Hoegeng agar menjadi amanah dan bekal di akhirat nanti.