Oleh Rikard Djegadut
Siluet, BULIR.ID – Institusi kepolisian adalah salah satu lembaga penting dengan tugas utama sebagai penjaga keamanan, ketertiban dan penegakan hukum, sehingga lembaga kepolisian ada di seluruh negara berdaulat.
Bila kita berkunjung ke situs resmi Polri, di sana tertera jelas tulisan — yang katanya–merupakan lambang Polisi berbunyi “Rastra Sewakottama” yang berarti “Polri adalah Abdi Utama dari pada Nusa dan Bangsa”.
Sungguh mulia memang. Apalagi melihat slogan Polri “melindungi, mengayomi, melayani masyarakat” yang cetar membahana dan biasa ditemukan di mobil-mobil polisi yang lalu lalang di jalanan atau terpampang besar di kantor-kantor kepolisian.
Pertanyaannya, apakah anggota polisi sejak hadir di negara tercinta ini sudah menjalankan secara sungguh-sungguh slogan ataupun lambang institusi yang begitu mulia di atas? Jawabannya sungguh jauh panggang dari api.
Hari-hari ini, publik kita terus disuguhkan dengan berita-berita soal polisi yang tidak profesional, minim integritas, mudah disogok, jadi alat pihak yang berkepentingan dan lain sebagainya.
Masih jelas dalam ingatan kita bagaimana seorang polisi melakukan smackdown seorang mahasiswa yang tengah berdemo di Tangerang atau seorang Kapolsek di Sulawesi meniduri paksa anak gadis tersangka dan tak terhitung tindakan semena-mena lainnya.
Citra polisi di mata publik Indonesia kian memburuk dari hari ke hari. Puncaknya, masyarakat ramai-ramai menggaungkan tagar PercumaLaporPolisi sebagai bentuk sindiran kepada institusi Polri yang tidak menjalankan fungsi dan tugas utamanya sebagai abdi atau pelayan masyarakat.
Pesan Megawati dan Sindiran Gusdur
Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri mengingatkan ada dua sosok Kapolri yang bisa menjadi panutan bagi anggota kepolisian yaitu mantan Kapolri Jenderal Hoegeng dan Awaloedin Djamin. Megawati mengaku sangat menaruh hormat kepada dua tokoh Polri itu.
“Saya kenal dengan Pak Hoegeng dan berteman dengan puterinya. Pak Hoegeng is the best. That`s the real Polri. Orangnya merakyat. Dia naik sepeda. Sedangkan, Kapolri Awaloedin, dia profesor,” kata Megawati ketika memberikan pembekalan kepada peserta didik Sekolah Staf dan Pimpinan Pertama, Menengah dan Tinggi Polri secara daring beberapa waktu lalu.
Oleh karena itu, putri Proklamator Soekarno tersebut meminta setiap anggota Polri bisa memastikan bagaimana menjalankan fungsi sesuai amanah yang diberikan.
Terlebih, Megawati mengharapkan fungsi sebagai pengayom masyarakat sudah ada dalam benak masing-masing ketika sebelum masuk Polri. “Sudah bertekad bahwa saya sebagai Polri nantinya menjadi abdi negara, menundukkan semua kepentingan pribadi,” tegas dia.
Melansir pemberitaan Harian Kompas, 1 September 2006, dalam sebuah diskusi di Bentara Budaya Jakarta, Kamis (31/8/2006), Gus Dur mengungkapkan, di Indonesia hanya ada tiga polisi yang baik.
Kala itu, Gus Dur melontarkan lelucon di sela menyinggung pemberantasan korupsi pada masa itu. Tiga polisi itu, pertama, mantan Kepala Polri, almarhum Jenderal Hoegeng Iman Santoso. Kedua, patung polisi, dan ketiga adalah polisi tidur. Sementara, Awaloedin Djamin menjabat Kapolri pada 1978-1982.
Dunia Hoegeng: 100 Tahun Keteladanan
Dalam buku berjudul “Dunia Hoegeng: 100 Tahun Keteladan”, mantan Kapolri Jenderal Hoegeng Iman Santoso yang kerap disebut sebagai panutan bagi institusi Polri itu digambarkan secara jelas bagaimana ia menjaga integritasnya sehingga menjadikannya sebagai polisi sejati, yang menjalankan amanah sesungguhnya.
Dalam buku setebal 339 halaman karya wartawan senior Farouk Arnaz itu, selama karirnya, Jenderal Hoegeng digambarkan sebagai manusia langka yang belum ada padanannya dari dulu hingga kini.
Bagaimana tidak! Sejumlah posisi strategis dan basah pernah dijabatnya. Namun ia mampu mempertahankan prinsip, menjaga integritas, dan dedikasi. Itulah warisan yang ditinggalkannya: keteladanan.
Keteladanan Jenderal Hoegeng sebagai polisi sudah mencapai titik paripurna. Bahkan ia tak sendiri, ia juga mengajak serta keluarganya untuk terjun memasuki kehidupan yang penuh idealisme dan antikompromi yang sesunggunya sangat sulit untuk dijalankan.
Hoegeng tidak mau berkhianat dan berkongsi dengan kebohongan. la menjaga nama baik dan bersumpah dengan perbuatan nyata bukan sekadar kata-kata.
Sepak terjang Hoegeng yang tak bisa disetir membuat gerah para ‘tuan besar’ sehingga ia kehilangan jabatannya. Namun, Hoegeng tak pernah menyesali langkahnya.
la bahkan bergabung dengan Petisi 50 pada tahun 1980 yang lantang mengkritik penguasa saat itu yang dianggap mulai melenceng.
Buku ini berisi testimoni orang-orang terdekat Hoegeng, dari ‘dapurya’ Hoegeng-yang tanpa dukungan, keikhlasan, dan pengertian mereka–tentu perjuangan Hoegeng akan lebih berat. Sebab Hoegeng adalah suami, Hoegeng adalah ayah, dan Hoegeng adalah kakek.
Upayanya menginternalisasi nilai-nilai ideal ke dalam tubuh Korps Baju Cokelat. Hoegeng juga ibarat cermin besar bahwa pernah ada, dan bisa, seorang pejabat tinggi, hidup dengan benar. Hoegeng bukan dongeng dan bukan utopia. la menciptakan standar nilai yang tinggi. Baik nilai moral, sikap, dan perbuatan.
Selain itu, juga berisi tiga kasus menonjol di akhir karier Hoegeng sebagai Kapolri dan kebijakan-kebijakan Hoegeng semasa menjadi Kapolri yang terekam dalam berbagai media massa.
Seperti kasus penyelundupan mobil oleh Robby Tjahyadi Cs, kasus pemerkosaan Sum Kuning, dan kasus penembakan mahasiswa ITB Rene Coenrad oleh oknum taruna Akademi Kepolisian.
Hoegeng, yang lahir di Pekalongan pada 14 Oktober 1921, bukan tipe Kapolri yang hobi main golf – karena tidak mampu beli stik. Dia juga tidak mampu membeli rumah dan mobil pribadi dan akhirnya pensiun dini menjelang usia 50 tahun setelah dicopot sebagai Kapolri.
BAKOLAK dan Bisnis Narkoba Rp120 Triliun
Baru-baru ini, khalayak Indonesia dihebohkan dengan informasi yang disampaikan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang menemukan adanya aliran dana Rp120 triliun terkait transaksi tindak pidana narkotika.
Temuan itu diungkap Kepala PPATK, Dian Ediana Rae saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi III DPR RI pada Rabu 29 September 2021 lalu.
Namun sayangnya, hingga kini belum ada progres yang signifikan soal langkah Polri dan Badan Narkotika Nasional sebagai lembaga otoritas dalam melakukan pengusutan kasus rekening jumbo milik sindikat Narkoba ini.
Kasus ini mengingatkan kita pada sosok Robby Tjahjadi, anak pedagang kain mori di Pasar Klewer, Solo yang mengadu nasib di Jakarta dan menjalankan aksi penyelundupan mobil mewah dari luar negeri.
Waktu itu, pemerintahan Soeharto memang mulai serius menangani koruptor dan penyelundup. Maka, dikeluarkanlah Inpres 6 Tahun 1971 tentang Pemberantasan dan Penyelundupan dengan dibentuknya Badan Koordinasi Pelaksana (Bakolak).
Badan ini dipimpin Kepala Bakin (Kabakin) Sutopo Yuwono, sedangkan Jaksa Agung Muda Ali Said menjadi Ketua Sub Timnya. Bakolak kala itu sedang giat bekerja mengendus praktik kotor Robby.
Hingga tahun 1972, Robby masih menjalankan aksinya. Kasusnya mulai ramai dibicarakan dan mendapat perhatian luas dari masyarakat setelah nama-nama sejumlah pejabat penting turut membekingi aksinya, serta pejabat di Bea Cukai. Robby dituduh sebagai gembong penyelundup mobil dari luar negeri dengan modus memanfaatkan paspor.
Kepolisian Republik Indonesia yang saat itu dipimpin oleh Jenderal Hoegeng Imam Santoso, segera mengendus aksi melanggar hukum ini. Hoegeng menyebutkan bahwa dari bisnis itu Robby hanya kebagian 10 persen. Sisanya menjadi hidangan komplotannya dan para pejabat serta aparat. Total kerugian negara dari kasus Robby saja sebesar Rp 716 Juta.
Hoegeng menambahkan, modus operandi yang dipakai adalah dengan cara memalsukan atau memanfaatkan paspor diplomatik. Robby tahu bahwa pemegang paspor tersebut boleh membawa mobil bekas dari luar negeri dengan pajak impor yang tidak tinggi.
Hoegeng menyebut bahwa ia menyadari ada berbagai pihak yang tidak senang melihat mereka mengutak-atik masalah penyelundupan. “Toh, kepolisian menginvestigasinya seperti kasus kriminalitas biasa. Sungguh mati saat itu saya tak tahu hubungan Robby dengan para pembesar,” kata Hoegeng kepada Tempo.
Dalam kaitannya dengan kasus aliran dana bisnis Narkoba sebesar Rp120 triliun yang disampaikan Kepala PPATK, Dian Ediana Rae di hadapan anggota dewan di Senayan, alangkah baiknya dibentuk semacam lemba mirip Bakolak untuk mengusutnya.
Sebab sadar atau tidak sadar, tahu atau tidak tahu, sudah menjadi rahasia umum sindikat narkoba tidak mungkin menjalankan aksinya dengan mulus tanpa keterlibatan dan perlindungan para pejabat dan petinggi lembaga penegak hukum di negeri ini. Layaknya kasus Robby yang menjalankan aksinya dengan berlindung di balik tirai kuasa para pembesar.
Akhir kata, buku ini adalah bagian dari merayakan 100 tahun Hoegeng untuk merayakan keteladanan, merayakan kejujuran dan merayakan kebenaran.
Semoga polisi muda zaman now dapat belajar keteladanan, idealisme, kejujuran dari sosok Hoegeng agar menjadi amanah dan bekal di akhirat nanti.*