Jakarta,BULIR.ID – Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto telah menyatakan komitmennya untuk melaksanakan perintah Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) untuk menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi sebesar 12% pada Januari 2025.
Merespon hal ini, Praktisi Perpajakan terkemuka Ronsi B. Daur meminta agar pemerintah melakukan evaluasi ulang terhadap pelaksanaanya. Menurutnya, kebijakan ini akan berdampak pada menurunnya daya beli masyarakat dan sederet persoalan lainya.
Ronsi menerangkan, kenaikan PPN sebesar 12 persen sebenarnya sudah diundangkan melalui UU No 7 Tahun 2021 (Bab 4 Pasal 7 ayat 1 huruf b), mengenai harmonisasi peraturan perpajakan yang bunyinya, (1) Tarif Pajak Pertambahan Nilai yaitu (a) sebesar 11 persen yang mulai berlaku pada tanggal 1 April 2022. (b) sebesar 12 persen yang mulai berlaku paling lambat pada tanggal 1 Januari 2025.
“Basis penghitungan APBN 2025 salah satu landasan pijaknya adalah UU No 7 tersebut. Kita tidak menafikan bahwa UU tersebut telah berlaku sejak tanggal, 29 Oktober 2021, berdasarkan kesepakatan antara eksekutif dan legislatif. Artinya suka tidak suka mau tidak mau harus dijalankan. Pertanyaannya kemudian, dengan melihat makro ekonomi yang tidak menentu, daya beli yang melemah apakah kita tetap kekeh menaikan PPN tersebut,” ujar Ronsi B Daur dalam keterangannya kepada media sebagaimana diterima redaksi pada Jumat 22 November 2024.
Karena itu, Ronsi juga menanggapi sejumlah poin terkait kenaikan PPN itu. Pertama, berdasarkan Bab 4 Pasal 7 ayat 4 UU HPP (Harmonisasi Peraturan Perpajakan), dimungkinkan untuk melakukan revisi dengan Peraturan Pemerintah. (Pasal 7 ayat 4 UU tersebut berbunyi: Perubahan tarif Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah setelah disampaikan oleh Pemerintah kepada DPR RI untuk dibahas dan disepakati dalam penyusunan rancangan APBN.
Ayat 3 nya berbunyi tarif Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diubah menjadi paling rendah 5 persen dan paling tinggi 15 persen. Ini adalah mekanisme Perubahan APBN.
Kedua, meskipun melalui mekanisme perubahan APBN terlalu rumit dan panjang, maka bisa melalui adjustment mechanism_ (mekanisme penyesuaian), artinya Kementrian keuangan bisa menyesuaikan UU APBN yang telah di undangkan tentu berdasarkan konsultasi dan pertimbangan presiden.
“Toh kita sudah berapa kali melakukan hal tersebut. Contohnya saat Pandemi Covid-19 tahun anggaran 2020,” ujarnya.
Maju Kena Mundur Kena
Menurut Ronsi, meskipun pemerintahan Prabowo-Gibran tidak segera mengatasi masalah ini, maka akan menjadi rumit dan runyam.
Hal ini menurut Ronsi, pertama masyarakat tidak punya kemampuan (daya beli) yang cukup untuk sekarang. Kedua tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pengelolaan keuangan negara rendah (korupsi, tidak transparan dll).
Ketiga, pengangguran meningkat baik yang kelihatan maupun yang terselubung. Keempat, aktifitas UMKM baru mulai merangkak, akibat hantaman Pandemi Covid-19.
Kelima, terjadi konflik beberapa negara yang mempengaruhi ekonomi nasional. Ke-enam, suku bunga perbankan yang masih relatif tinggi. Dan ketujuh, ketidakstabilan politik global pasca terpilihnya presiden AS.
“Sekecil apapun kenaikan PPN sangat berpengaruh terhadap konsumsi masyarakat, yang ikutannya akan menurunkan jumlah PDB (Produk Domestik Bruto).
Sebagaimana kita ketahui kontribusi Konsumsi mendekat 55 persen terhadap total PDB, artinya kenaikan PPN 12persen akan menurunkan konsumsi dan berhubungan langsung terhadap pertumbuhan ekonomi yang sudah disepakati 8 persen di proyeksi APBN 2025,”ujar Ronsi.
“Kalaupun Kenaikan PPN tetap di pertahankan, konsekuensinya akan meningkatkan tax ratio, kenapa demikian?, karena Penerimaan PPN meningkat sementara konsumsi masyarakat menurun. Karena rumusan dasar tax ratio adalah penerimaan pajak negara / PDB, dimana PDB terdiri dari Konsumsi+Investasi+Pengeluaran Pemerintah + (Ekspor-Impor) atau _PDB = C+I+G+(X-M),”sambungnya.
Ronsi menambahkan, sebagai lanjutannya apakah kita mau kekeh menaikan PPN 12 % hanya untuk mendapatkan angka tax ratio tinggi. Ia tidak sependapat. Karena menurutnya, perhitungan tax ratio kita baik pembilang maupun penyebut perhitungannya masih belum matang.
Karena itu, Ronsi menyimpulkan, pertama, dengan tidak melanggar konstitusi, PPN 12 % dievaluasi kembali untuk menjaga daya beli masyarakat dan menggurangi kegaduhan. Dan kedua, jangan sampai ada stigma di masyarakat bahwa kenaikan PPN tersebut demi meningkatkan tax ratio semata.*