Oleh: Sil Joni*
Tilik, BULIR.ID – Sebuah realitas paradoks terjadi di Labuan Bajo. Di satu sisi, karena ‘keindahan alamnya’, daerah ini telah menjadi salah satu destinasi wisata kelas dunia. Namun, pada sisi yang lain, ternyata di tengah ‘pesona keindahan’ itu, kita dengan gampang menjumpai aneka macam ‘sampah’. Isu sampah menjadi ‘salah satu masalah utama’ yang mendesak ditangani oleh para pemangku kepentingan di wilayah ini.
Sebetulnya, penilaian bahwa Labuan Bajo menjadi ‘kota sampah’ sudah lama terdengar di telinga kita. Bahkan para pejabat tinggi di negara ini sekelas Presiden, Menteri dan Gubernur NTT sudah mewanti-wanti bahwa sampah harus segera disingkirkan dari kota ini. Tetapi, hasilnya tetap nihil. Persoalan sampah tetap menjadi ‘isu klasik’ yang seolah tak ada jalan keluarnya.
Persoalan sampah di Labuan Bajo menjadi perhatian Presiden Joko Widodo yang dinyatakan dalam sebuah rapat terbatas mengenai pengembangan destinasi prioritas pariwisata di Kantor Presiden pada Kamis (21/11/2020).
Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat (VBL) juga pernah memberikan semacam ‘ancaman’ bahwa jika masalah sampah tidak bisa diatasi, maka sang Gubernur akan mengambil alih proses penanganannya.
Tetapi, semua bentuk kepedulian dan juga desakan dari ‘para pejabat tinggi itu’, tak ditanggapi secara serius oleh para pengambil kebijakan di daerah ini. Alhasil, Labuan Bajo belum beranjak dari julukan sebagai ‘kota sampah’.
Ketika wisatawan menilai Labuan Bajo penuh dengan sampah seperti yang dilansir oleh media dalam jaringan (daring), Victorynews.Id, Selasa (23/3/2021), rasanya tak perlu ada bantahan dan pembelaan diri.
Sekadar untuk diketahui bahwa produksi sampah di Labuan Bajo mencapai 12,8 ton atau 112,4 meter kubik sampah setiap hari. Sialnya, tempat pembuangan akhir (TPA) hanya seluas 25–90 meter persegi. Akibatnya, jejak sampah nyaris ditemukan di semua titik.
Produksi sampah dalam jumlah yang besar itu menunjukkan lemahnya kesadaran publik akan pentingnya memperhatikan kebersihan lingkungan yang menjadi salah satu ‘daya tarik dan daya dukung’ kegiatan pariwisata. Gerakan ‘sadar wisata’ belum mengakar di kota ini.
Namun, pada sisi lain, harus diakui bahwa realitas negatif itu memperlihatkan otoritas lokal yang menderita impotensi politis dalam mengurus sampah. Kita tahu bahwa pengelolaan sampah menjadi tanggung jawab otoritas lokal.
Dasar regulasinya adalah Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Dalam pasal 9 Undang-undang itu disebutkan bahwa pemerintah daerah melakukan pemantauan dan evaluasi secara berkala setiap enam bulan selama 20 tahun terhadap tempat pemrosesan akhir sampah dengan sistem pembuangan terbuka yang telah ditutup.
Persis di sini letak soalnya. Pemerintah daerah (Pemda) selama ini, belum mendesain dan mengimplementasikan ‘politik sampah’ berdasarkan terjemahan kreatif terhadap perintah konstitusi itu. Kemauan politik untuk ‘menangani isu sampah’ mulai dari tahap pengumpulan, pembuangan, dan pengelolaan belum dijalankan secara optimal.
Hadirnya Badan Otorita Pariwisata Labuan Bajo Flores (BOPLBF) juga tidak berkontribusi bagi upaya mengatasi persoalan sampah ini. Pembangunan dan penataan sektor pariwisata di Labuan Bajo yang dijanjikan itu, masih sebatas ‘teori’. Mereka hanya sibuk mensosialisasikan ‘wacana kewenangan lembaga’ itu di Labuan Bajo, tanpa kerja nyata dan terukur. Masalah sampah tak menjadi agenda prioritas yang mendesak untuk ditangani.
Politik Sampah
Bupati Mabar, Edistasius Endi (EE) pernah mengungkapkan bahwa isu sampah menjadi salah satu ‘musuh politik’ yang segera diperangi dalam 100 hari pemerintahannya. Genderang perang itu itu sebetulnya ‘sudah ditabuh’, tetapi hanya terbatas pada lingkungan birokrasi semata. Spirit penumpasan terhadap sampah belum menjalar ke ruang yang lebih luas.
Saya kira, pemerintahan Edi-Weng mesti secepatnya merancang dan mengeksekusi sebuah ‘politik sampah’ yang berujung pada upaya penanggulangan sampah secara kreatif dan progresif.
Gerakan sadar wisata di mana aspek ‘kebersihan, keasrian, dan keindahan lingkungan’ menjadi poin intinya, perlu digalkkan secara serius. Pemda mesti mengkreasi regulasi yang memungkinkan semua pihak ‘tergerak’ untuk terlibat dalam pertempuran melawan sampah tersebut.
Politik dalam artinya yang paling baik adalah serangkaian usaha sadar untuk memperbaiki dan meningkatkan kesejahteraan bersama (common good). Bupati dan wakil bupati tentu saja dipilih oleh rakyat untuk mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara maksimal.
Usaha ‘memerangi’ sampah bisa dilihat sebagai salah satu ‘kerja politik’ untuk menciptakan kebaikan bersama tersebut. Setidaknya, melalui upaya semacam itu, kesehatan warga terjamin dan semakin banyak wisatawan yang akan berkunjung ke daerah ini. Peningkatan arus kunjungan itu jelas berdampak pada peningkatan level kesejahteraan ekonomis warga.
Jadi, perlu tindakan politik yang nyata sehingga sampah bukan saja bisa dikendalikan tetapi juga bisa dimanfaatkan. Membumikan politik sampah bisa memberikan semacam pengajaran tentang pembuatan kebijakan, perencanaan kota, administrasi publik, dan lingkungan.
Masalah sampah menjadi ‘batu ujian’ bagi Edi-Weng untuk mendapat ‘rapor bagus’ dalam 100 hari masa pemerintahan mereka. Kita sudah capai memikul stigma sebagai kota ‘terkotor’ di NTT. Padahal, kecantikan Labuan Bajo ini sudah sangat masyhur di seluruh penjuru bumi. Kita tidak boleh menjadi aktor utama dalam ‘memperkosa’ kejelitaan kota ini.
Sampah semestinya menjadi pentas pertunjukkan politik yang hebat. Namun, kebanyakan kita dan politisi kita mengambil jalan perlawanan paling sedikit terhadap sampah. Alasannya sederhana kita belum begitu peduli terhadap sampah.
Di tengah situasi ‘darurat sampah’, apatisme kita digugat. Kepedulian kita terhadap masalah sampah bisa menjadi indikator ‘sadar wisata’ sekaligus dibaca sebagai simbol perubahan peradaban. Kita tak mau dicap sebagai manusia biadab dan primitif yang ‘senang bergaul’ dengan yang serba kotor.
*) Penulis adalah pemerhati masalah sosial dan politik.
Catatan Redaksi: Opini pada kolom ini merupakan pandangan pribadi penulis dan sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis, tidak mewakili redaksi Bulir.id.