Oleh: Sil Joni*
Tilik, BULIR.ID – Secara teoretis, hampir tak ada bantahan yang berarti soal ‘pentingnya’ kegiatan membaca buku. Tetapi, pengetahuan yang baik tentang ‘efek membaca buku’ tidak serta-merta memengaruhi kesadaran kita untuk ‘menggauli’ secara intim sebuah buku.
Masih banyak, untuk tidak dibilang semua kita, masih menjadikan actus membaca buku sebagai ‘beban berat’ dan tidak menganggapnya sebagai kebutuhan.
Keengganan untuk ‘membaca’ buku, tidak hanya dialami oleh rakyat jelata, tetapi juga, tidak jarang kondisi yang sama kita temukan dalam diri para pemimpin (politik) kita. Padahal, umumnya mereka adalah jebolan ‘sekolah tinggi’ dan mempunyai modal yang cukup untuk membeli buku-buku bermutu.
Tetapi, saya kira, generalisasi di atas tidak sepenuhnya benar. Jika kita membaca biografi sebagian pemimpin politik hebat di dunia, maka satu hal yang membuat kita ‘tercengang’ adalah keintiman relasi mereka dengan buku. Buku bagi mereka, tidak hanya sebagai wahana rekreatif, tetapi sebagai sumur di mana mereka menimba air kebajikan politik.
Di Indonesia sosok pemimpin hebat dan berintelek itu kita jumpai dalam diri Soekarno, M. Hatta, S. Syahrir, dll. Mereka adalah pemimpin ‘kutu buku’. Tidak heran, ide politik kebangsaan dan kerakyatan yang mereka tawarkan sangat ‘bernas’ dan berbobot. Sebuah kondisi yang amat langka kita temukan sejak era Orde Baru (Orba) hingga reformasi saat ini.
Figur pemimpin fenomenal yang berintelek untuk konteks NTT, saya kira nama Ben Mboi layak dicatat dengan dawat kencana. Sayangnya, stok pemimpin hebat di NTT setelah generasi beliau semakin tipis. Tak terdengar narasi seputar ‘keunggulan’ intelektual para pemimpin kita di mana kebiasaan membaca buku menjadi salah satu indikatornya.
Bagaimana dengan Manggarai Barat? Saya kira, kita mesti akui bahwa para pemimpin politik lokal kita, bukan tipikal pemimpin yang bersahabat dengan buku. Wakil Bupati, Maria Geong mungkin menjadi pengeculian di sini. Tetapi, kecintaan ibu Maria pada buku, hemat saya bukan karena beliau seorang pemimpin publik, tetapi karea latar belakang akademik yang diraihnya.
Saya cukup yakin dengan ungkapan ini: “All great leaders are readers (semua pemimpin hebat adalah para pembaca buku)”. Tidak ada pemimpin politik yang tiba-tiba menyandang ‘nama besar’ tanpa merawat habitus melahap buku-buku bermutu.
Karena itu, para elit politik atau siapa saja yang bernafsu untuk menjadi pejabat politik, jangan pernah absen membaca buku. Saya menangkap kesan bahwa kebanyakan wacana yang keluar dari mulut politisi (pemimpin politik) bersifat dangkal dan kerdil. Gagasan politik mereka tidak dielaborasi secara sistematis dan komprehensif. Kedangkalan dan kekerdilan itu ditengarai sebagai ‘absennya’ kultur literasi dalam tubuh mereka.
Membangun diskursus politik yang produktif dan kreatif, tanpa buku, hemat saya lebih banyak memamerkan bualan atau bincang-bincang kosong (nir-makna). Persis itulah yang publik tangkap dari jutaan retorika para aktor politik dalam ruang (pasar) politik saat ini. Para politisi yang ‘defisit epistemik politik’ paling agresif ‘memasarkan’ kebohongan demi kebohongan kepada publik.
*) Sil Joni merupakan pemerhati masalah sosial dan politik. Saat ini penulis berdomisili di Labuan Bajo, Manggarai Barat, FLores NTT.
Catatan Redaksi: Opini pada kolom ini merupakan pandangan pribadi penulis dan sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis. Opini tidak mewakili pandangan redaksi Bulir.id.