Karya: Marsel Koka
Sepasang kekasih duduk begitu mesra saat senja terbenam di pantai itu. Mereka adalah Rangga dan Melania. Keduanya sengaja duduk di sana, agar senja itu tak sendirian pergi. Persis saat senja memejam dirinya, keduanya pun tenggelam dalam pelukan dan cium yang amat.
Suasana menjadi sunyi sepi. Tak ada orang lain selain keduanya yang lagi mabuk cinta. Di depan mereka deburan ombak berhamburan dan pecah lalu menghilang berkali-kali.
Melania masih dalam pelukan Rangga. Sebaliknya Rangga. Sesekali Ia menyeka rambut Melania. Sangat romantis. Dan setelah sudah agak puas, Melania bangkit lalu memandang jauh ke ujung cakrawala. Belari kecil di tepi pantai sambil sesekali mengenggam pasir dan melepar ke air laut di depannya.
Rangga memilih tetap duduk sambil sesekali mengutak-atik gawai di tangannya. Barangkali ia ingin menuliskan sesuatu pada senja yang baru saja pergi itu. Entahlah. Sepasang kekasih ini memang sengaja menghabiskan senja itu bersama karena tinggal seminggu lagi keduanya akan resmi menjadi suami-istri.
Melania dan Rangga memang sudah merangkai cinta mereka sejak sekolah. Jalinan cinta mereka sebetulnya pelan-pelan bertumbuh subur dan sebentar lagi menghasilkan buah.
Keduanya jatuh hati pada tatapan pertama di masa SMA. Saat itu kecantikan Melania tak tertandingi. Dia cantik walau tanpa make up. Selain parasnya yang ayu itu, Melania dikenal sebagai perempuan cerdas. Tak heran jika selama sejak kelas satu hingga tamat, ia selalu menjadi bintang kelas. Walalu begitu ia tetap merendah. Di kemudian hari Melania menjadi salah satu dokter di sebuah rumah sakit.
Jika Melania sedikit vokal dalam kelas, Rangga lebih dilihat sebagi pria yang tenang. Dalam banyak kesempatan Ia lebih sering menghabiskan waktu dalam kesendirian. Ia jago melukis dan pandai dalam membuat sajak dan puisi. Ia pernah dipilih sebagai penulis cerpen terbaik di sekolahnya.
Dia pernah menuliskan banyak piuisi. Yang paling banyak tentang rindu dan cinta untuk Melania. Baginya Melania adalah puisi yang hidup. Kekasih yang selalu membuatnya terus bergairah dalam sajak dan puisi. Kini ia sudah menjadi pilot terbaik di salah satu maskapai penerbangan.
Rangga yang sedari tadi duduk, kini bangkit berdiri dan mendekati Melania. Sambil memeluk tubuh Melania dia berbisik;
Melani, jika satu saat kamu rindu, namun belum berujung temu, lihatlah aku dibalik senja itu. Kita bisa disatukan oleh cinta yang membara namun kita juga bisa sama-sama terluka oleh perpisahan yang tak bisa kita bayangkan. Kita berdua bisa saja menjadi seperti senja ini indah sesaat namun menghilang di telan malam. Kau adalah mawar yang bermekaran di taman hatiku, namun kamu bisa layu seketika jika taman hatiku tak berair lagi.
Kata-kata itu menyambar kuping Melania yang tiba-tiba membuatnya bingung. Ia bertanya dalam hati kecilnya kenapa Rangga malah mengungkap kata-kata yang tak biasa. Kata-kata yang menurutnya bukan membuatnya terlena tetapi malah mengisyaratkan sebuah perpisahan yang tak diantisipasi. Saat itu Melania merasa bahwa walau hujan belum turun namun rintiknya seolah telah membasahi pipi dan menusuk dalam relung hatinya.
Rangga, seperti bulan yang pernah meninggalkan bumi, dan sama seperti bintang yang selalu setia pada langit, begitu juga diriku, begitu juga cinta dan rinduku padamu. Abadi.
Persis setelah Melania mengucapkan kata-kata itu, keduanya meninggalkan pantai. Malam pun mulai benar-benar gelap. Sepanjang jalan tak banyak kata-kata yang keluar dari mulut keduanya. Hanya sepeda motor yang terus melaju. Barangkali keduanya memilih untuk mencerna di benak masing-masing kata-kata yang mereka ucapkan baru saja.
******
Pagi itu masih terlalu subuh. Rangga keluar pintu rumah saat Melania yang masih terlelap dalam mimpinya. Seperti biasa, sebelum melangkah pergi, Ia mengecupkan kening Melania lalu meluncur cepat menuju Bandara. Sebagai kapten, pagi ini, dia harus terbang menuju langit, membelah awan dan tiba di tempat tujuan. Begitu terus rutinitasnya setiap hari.
Langit tak secerah biasanya ketika pesawat lepas landas. Hujan dan awan tebal menutupi landasan pacu. Pesawatnya bertolak dari arah Selatan dengan kecepatan tinggi. Melewati lautan luas, lalu membelah awan, menuju langit semakin tinggi dan semakin jauh. Jaraknya semakin dekat dengan seseorang yang ia panggil sebagai Tuhan. Terbang kian tinggi, pesawat kian jauh dari bumi. Lautan begitu luas dan daratan di bawahnya tampak sangat kecil dan tak terlalu jelas.
Di atas langit cuaca buruk. Hujan dan petir terlihat di luar pesawat. Sesekali pesawat goyang dengan begitu dasyat saat menghadang turbulence. Teriakan penumpang terdengar bersahut-sahutan. Ada yang mulai menangis. Ada yang berdoa. Ada yang mulai memanggil Tuhan.
Dua pramugari coba menenangkan penumpang sambil menyuruh mereka mempersiapkan segala sesuatu. Di kursi pilot, Rangga, tetap tenang. Sebagai pilot Ia berusaha meyakinkan dirinya bahwa semua akan baik-baik saja. Semakin jauh pesawat melaju semakin seram pula cuaca di depannya. Semua pun menjadi tak terkendali. Lalu prak. Mesin mati. Jatuh. Lenyap di lautan lepas.
******
Sudah tiga minggu Rangga pergi. Melania sebatang kara dengan hati yang sepenuhnya berantakan. Ia belum mau mengatakan ikhlas dan selamat jalan pada Rangga.
Hatinya masih berdarah dan berdenyut begitu lamban dari hari ke hari. Ia lebih memilih menutup mulutnya rapat-rapat sambil membiarkan air matanya mengalir bebas di pipinya.
Kepergiaan Rangga membikin lidahnya terasa kaku untuk berbicara. Bukan karena tubuh tidak lagi mampu mengungkapkannya tetapi karena gejolak jiwa yang tak mampu lagi menemukan kata-kata.
Sebuah pengalaman yang membuatnya tidak bisa berbuat apa-apa selain membisu karena ia sudah tidak sudi. Penderitaan memang selalu meninggalkan kebisuan juga kemampuan untuk tidak berpikir lagi. Hatinya remuk dan terluka begitu dalam.
Pada satu sore yang tak terlalu bergairah, Melania kembali duduk di pantai yang pernah sama-sama mereka nikmati bersama Rangga saat itu. Ia sendirian. Di temani senja, angin semilir, deburan ombak dan perih yang masih membungkus di hatinya. Di tempat itu, dia hanya bisa memandang kekelaman malam lepas pantai dan pulau-pulau di kejauhan, yang hanya ditandai bayang-bayang hitam dan kerlap-kerlip yang tersebar jauh antara satu dan yang lainnya. Tidak ada keindahan sedikitpun baginya.
Di tempat itu, Ia tidak lagi mendengar puisi-puisi dan atau sajak-sajak dari Rangga melainkan hanya suara-suara dari pantai, dari laut dari samudra dan cakrawala. Di sana ia hanya merasakan dan menemukan kekosongan dari kedalaman samudra.
Rangga, di ujung senja yang sudah tenggelam ini, aku masih menunggu kabarmu, serta rindu dan juga hadirmu, aku tak peduli sampai berapa lama itu, aku akan tetap menunggu Rangga kekasihku. Pulanglah kekasihku, karena tanggal pernikahan kita tinggal sebentar.
Air matanya tak terbendung dan jatuh begitu saja.
*******
Malam itu Melania, tidur dengan sebaris doa di bantalnya. Ketika bunga malam mulai menghiasi kamarnya, Ia melihat sesosok pria berpakaian pilot, datang menyapanya dengan tatapan mata yang teduh dan sapaan manja di mulutnya.
Melania sayang, aku selalu ada untukmu!
Pemilik suara itu menghilang dan pergi begitu saja ketika Melania bangun. Ia mencoba mencari-cari di sekitar kamarnya namun tidak menemukan siapa-siapa. Dia adalah Rangga calon suaminya dulu.
Sorot matanya teduh dan kumis tipis di sekitar mulutnya masih sama. Bahkan semakin memperkokoh ketampanannya malam ini. Rangga datang mengecup kecingnya. Memeluk erat tubuhnya dan lalu melambaikan tangan dan hilang bersama malam.
Sejak saat itu ia mulai sadar ternyata Rangga tak benar-benar lenyap. Ia hanya pergi dari sini ke sana. Rangga masih menemani dirinya walau dalam diam yang sunyi. Melania mengerti bahwa kematian bukanlah akhir dari sebuah perpisahan tetapi ia hanyalah sebuah kehidupan baru yang pernah mati lagi.
Mulai malam itu Ia berusaha menjaga cinta dan kesetiaannya pada Rangga. Baginya Rangga adalah orang pertama dan terkahir yang merenggut keperawanan.
Cukup Rangga juga yang meminum madu murni yang berkelimpahan di dalam buah dadanya beberapa tahun silam. Yang lain tidak boleh. Baginya kesetiaan adalah ketulusan untuk menyimpan satu hati di dalam hatinya dan berjanji untuk tidak akan menghianati walau telah dipisahkan oleh maut. Titik.
*Penulis: Marsel Koka merupakan salah satu alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero kelahiran Minsi-Riung Barat, Bajawa, Flores-NTT. Kini ia mendedikasikan serta mempersembahkan dirinya sebagai pekerja di ladang Tuhan. Sekarang ia Tinggal di Rogasionist Maumere-Flores, sebuah rumah pembinaan bagi para calon pekerja di ladang Tuhan.