Opini, Bulir.id – Kekerasan atas nama agama masih saja terjadi di bumi pertiwi yang kaya akan keberlainan. Seringkali keberlainan menjadi alasan terjadinya kekerasan.
Bom bunuh diri di gereja katedral Makasar dan teror di Mabes Polri mengisyaratkan kita bahwa kebencian atas keberlainan itu masih ada. Keyakinan sempit akan syahwat mendapatkan 72 bidadari dan sebagainya menjadi alasan pembenaran teror untuk melenyapkan nyawa yang dianggapnya berbeda, sesat, kafir.
Keyakinan semacam ini tentunya telah menentang keyakinan religius yang sehat. Religiusitas yang sehat mengandaikan pertimbangan kebenaran akal budi dan iman. Bahwa Tuhan sumber Kebaikan mustahil memerintahkan kekejian. Hal ini merupakan problem akal sehat. Bahwa ada hubungan dilematis antara kesalehan kepatuhan pada perintah Tuhan.
Akal sehat membantah bahwa kekerasan dapat muncul dari kesalehan. Orang saleh mustahil melakukan kekerasan dan sebaliknya pelaku kekerasan pastilah bukan orang saleh.
Kita perlu mengajukan sebuah pertanyaan, apakah Tuhan memerintahkan tindakan tertentu karena tindakan itu secara moral baik atau tindakan itu baik secara moral baik karena Tuhan memerintahkannya?
Cukup sulit dan dilematis untuk menentukan pilihan pada pertanyaan di atas. Pada pilihan pertama jika Tuhan memerintahkan sesuatu karena sesuatu itu baik, dia hanya menyesuaikan diri dengan moral dan tidak berdaulat diatasnya. Dan pada pilihan kedua, aksi teror bisa baik secara moral karena dianggap perintah Tuhan. Jadi aksi teror semacam di gereja Katerdral Makasar akan menjadi kewajiban moral jika dianggap sebagai perintah Tuhan.
Pilihan pengantin bom bunuh diri adalah pilihan yang irasional. Mereka tidak lagi menggunakan nalar untuk memeriksa atau menafsirkan kembali alasan dan akibat yang akan ditimbulkan.
Nalar yang sehat paham bahwa Tuhan adalah Sumber Kebaikan maka Dia tidak tunduk pada hukum moral di luar diri Nya sebab Dia adalah sumber moral itu sendiri. Pada prinsipnya moral tidak membenarkan kekerasan atas nama Tuhan sekalipun. Tuhan yang memerintahkan bom bunuh diri adalah Tuhan yang sadis dan lemah sebab masih membutuhkan pembelaan pelaku teror.
Nalar sehat pengantin bom telah dikooptasi oleh kebencian sehingga menjadi sakit. Ajaran-ajaran agama kemudian terdistorsi oleh sentimen dan prasangka. Mereka dipenuhi kebencian yang berbalut kesalehan dan siap untuk menyongsong kematian yang mengerikan.
Dalam kacamata teroris kematian merupakan akses menuju surga untuk menenukan bidadari. Kematian semacam ini dimaknai sebagai sebuah kesalehan namun bagi kita adalah kengerian yang menyisahkan ketakutan. Hal tersebut yang oleh Plato disebut sebagai Perdagangan dengan Tuhan; mereka memberi kurban dan mendapatkan pahala surgawi.
Manusia sebagai makhluk terbatas sejatinya memiliki kesadaran bahwa ia masih dalam pencarian kebenaran. Perintah Tuhan memiliki kebanaran final, meski demikian pemahaman manusia atas-Nya tidak pernah selesai. Dengan demikian mari kita beragama dengan berpegang pada iman dan nalar kritis.
Hanya dengan demikian, orang-orang yang beragama bisa menyentuh inti spiritualitas terdalam kehidupan. Kejernihan dan kedamaian adalah buahnya.*