Kematian Memuliakan Hidup: Sebuah Refleksi

0

Oleh Rikard Djegadut*)

Utama, BULIR.ID – Kematian adalah suatu hal yang pasti terjadi. Ini merupakan sebuah fase yang pasti akan dilewati semua orang. Namun demikian, sayangnya, tidak seorangpun yang tahu secara pasti kapan kematian itu akan datang.

Terlebih hari-hari ini, dunia tengah menghadapi pandemi covid-19 yang terus mengacam nyawa. Sedikit lengah, nyawa bisa melayang. Berbagai kebijakan pun diambil oleh pemerintah agar sedapat mungkin bisa melindungi warganya dari kematian.

Meski kematian adalah peristiwa yang pasti akan dialami oleh semua mahkluk yang pernah hidup, faktanya, orang takut dan berupaya dengan segala kemampuannya untuk menghindarinya.

Padahal jumlah kematian, mengutip statistik ourworldindata, setiap detik, rata-rata ada dua orang yang mati atau meninggal dunia secara normal, baik karena usia lanjut mau pun karena suatu penyakit.

Ini berarti, dalam satu menit, ada sekitar 120 orang yang mati, dan dalam satu jam ada 7200 orang, sementara dalam satu hari, ada sekitar 172.800 orang yang meninggal dunia.

Data ini belum termasuk orang yang mati atau meninggal dunia secara tidak normal. Misalnya mati karena kecelakaan, kebakaran, peperangan dan bencana alam.

Jika orang yang mati secara normal saja rata-rata per tahun mencapai 58.000.000 orang, maka bila ditambah orang yang mati secara tidak wajar, maka jumlahnya bisa mencapai sekitar 60.000.000 orang.

Sementara mengutip worldpopulationreview.com, angka kematian per detik (terlepas dari kematian akibat pandemi covid-19) adalah 1 hingga dua orang. Sementara kematian setiap menitnya bisa mencapai 114 orang dan per jam sebanyak 6,829, sedangkan per hari mencapai 163,898 kematian. Maka kematian pertahun rata-rata mencapai 59.003,280 orang.

Menariknya, dalam kehidupan sehari-hari, selama masih sehat, jarang sekali orang berpikir dan berbicara mengenai saat atau moment yang disebut “kematian”. Seakan-akan, manusia itu hidup selamanya di bumi ini.

Padahal setiap detik, malaikat pencabut nyawa itu pasti akan datang mencabut nyawa rata-rata dua orang. Hal itu terjadi tanpa dapat dihindari oleh siapa pun dengan alasan apapun.

Kematian Memuliakan Hidup

Henri J.M. Nouwen setelah kecelakaan yang dialaminya ia menulis dalam buku berjudul “Beyond the Mirror“, ia membuat renungan dan gambaran atas kematian dan kehidupan yang begitu indah, dalam dan inspiratif.

Ketika itu, Ia mengalami luka yang amat serius akibat terserempet kaca spion sebelah kiri dari mobil van yang saat itu melaju kencang.

Nouman ketika itu sedang mencari tumpangan pada pagi hari di musim dingin. kondisi dan situasi saat itu cukup gelap karena tertutup salju tebal dan es di sepanjang sisi jalan.

“Kecelakaan yang saya alami membawa saya ke ambang kematian dan menuntun saya masuk ke dalam pengalaman yang baru akan Allah,” tulis Nouwman.

“Saya dibebaskan dari nafsu untuk membuktikan kehebatan saya kepada dunia …Saya menjadi tidak putus asa berhadapan dengan berbagai interupsi kehidupan yang menakutkan dan merusak,” tambah Nouwman.

“Saya mengalami kehadiran Allah yang keibuan dan saya menemukan panggilan untuk menyentuh Allah dalam diri orang-orang yang budi dan tubuhnya cacat,” tutur Nouwman.

Menurut Nouwen, kesadaran akan kematian dapat memperkaya hidup seseorang, karena mengingatkan betapa pendeknya hidup itu dan betapa mulianya setiap moment hidup itu. Bila kita mempelajari tulisannya, Nouwen memberikan kepada kita keberanian dan harapan bila kelak kita mengalaminya.

Kematian menjadi sebuah cermin yang menuntun kita kepada kesadaran bahwa Yesus mengasihi kita tanpa syarat dan kita diutus ke dunia untuk berbicara dan berkarya seperti yang dulu dilakukan oleh Yesus.

Corona dan Iman

Menarik jika fakta ini dikaitkan dengan ancaman bayang-bayang kematian akibat virus corona yang merengut puluhan bahkan ratusan ribu nyawa setiap hari di seluruh dunia.

Manusia boleh melakukan segala daya upaya agar bayang-bayang kematian dan malaikat pencabut nyawa itu tidak mendekat. Namun faktanya, jika kematian itu sudah digariskan untuk si A, maka si A tidak bisa menolaknya.

Sehingga, maksud dari renungan ini adalah untuk menggarisbawahi akan pentingnya memaknai segala sesuatu dengan iman, segala kejadian, bencana alam, baik karena alam ingin memperbaharui dirinya atau karena kelalaian manusia. Sebab semua itu tidak bisa dijelaskan dengan akal sehat semata.

Untuk itu, ada baiknya kita melihat pandemi corona virus deseases 2019 atau covid-19, sebuah ancaman global yang asal usulnya bahkan masih jadi perdebatan berbagai negara di dunia dengan kacamata iman–melihatnya dari persepktif bathiniah dan tak hanya mengandalkan akal sehat semata.

Jika tidak, pandemi covid-19 yang mencabut ribuan hingga ratusan ribuan nyawa tiap hari hanya akan menjadi catatan buruk dalam sejarah perjalanan manusia tanpa mengambil hikmah sedikitpun.

Kematian hanya soal waktu. Ketakutan di satu sisi adalah manusiawi. Semua akan mati karena manusia tidak ada yang abadi. Jangan sampai ketakutan akan kematian membuat kita lupa akan “kemanusian” seperti perilaku manusia akhir-akhir ini.

Sebut misalnya, karena takut kehabisan stok, yang berduit langsung membeli dan menimbun segala macam stok, mulai dari sembako, masker dan sanitizer, tabung oksigen, obat-obatan, vitamin dan lain-lain, sehingga menyebabkan yang lainnya tidak mendapatkan bagian.

Maka dari itu, penting bagi kita untuk menjawab pertanyaan reflektif berikut “apakah dengan melakukan hal itu, kita bisa menjamin akan terhindar dari kematian?” Apakah yang tidak kebagian mendapatkan perlengkapan seperti itu, akan langsung mati? Jawabannya tidak pasti. Hanya Malaika Maut yang tahu.*

Salam Kemanusian
Jaga Kesehatan
Lindungi Diri, Lindungi Orang Lain.
Perkuat Kemanusian Kita

*) Rikard Djegadut adalah alumnus Rogationist Seminary College, Cebu, Philippines. Saat ini, pria yang akrab disapa Rikardo ini merupakan wartawan tetap di media nasional Indonews.id.