“Madah Digital,” oleh Gerard N Bibang

0
Gerard N Bibang

MADAH DIGITAL

(1)

siapakah manusia di zaman digital yang syarat informasi serba cepat ini? ialah bayi-bayi yang lahir dengan mouse di tangan kanannya dan smartphone di tangan kirinya; yang tanpa merasa capek langsung mendapat konjungsi; ialah kata sambung untuk mempersambungkan langit dan bumi; yang langsung memegang alat-alat itu untuk berkoneksi; bagaikan partikel udara yang terpendar mengisi ruang antara langit dan bumi; sehingga langit dan bumi terkoneksi melalui udara hanya dalam satu kali klik

dan siapakah manusia-manusia sebelumnya? ialah mereka-mereka yang imigran digital; yang memegang alat-alat itu setelah usia dewasa; yang bingung antara mana alat, mana manusia, mana obyek, mana subyek; yang hanya tahu dunia digital adalah sebuah keniscayaan zaman

(2)

dunia digital memparalelkan dua dunia: ada dunia di sini, ada dunia ghaib di balik dunia yang kita huni; penghuninya nyata, hanya berbeda frekwensi ruang dan waktunya; kita di sini makhluk kelihatan, mereka di sebelah sana, tak kelihatan

ada dan tiada menjadi tegangan yang terentang antara deru gelombang samudera; manusia berlomba-lomba membuat definisi baru, yang coba ia terawang dari klik demi klik; lebih membingungkan semakin diklik semakin tidak bisa teraba batas-batas mana alat, mana manusia, mana yang rohani, mana yang materi, mana yang jiwa, mana yang raga, dan mana yang menjiwa-meraga; batas-batas menjadi sangat tipis setipis kain sutera

(3)

sekali klik, kebaruan-kebaruan mengalir; membuat pusing sendiri; dari mulut para imigran digital terdengar suara bahwa kepusingan itu disebut disrupsi; padahal ia bingung sendiri; status quo yang bertahun-tahun membuatnya aman dan nyaman, kini, porak-poranda; digital telah menggantikan kebutuhannya, luar dalam

kini bisa menjadi pengusaha taksi tanpa mempunyai taksi dan supir; sebelumnya harus membeli banyak taksi; menyediakan garasinya; membayar gaji bulanan sopirnya; mengeluarkan biaya untuk maintainance-nya

kini menjadi mungkin apa yang dulu mustahil; orang bisa menjadi pengusaha kuliner tanpa restoran dan produk kuliner; sekolah-sekolah tegak berdiri tanpa gedung bangunan dan tanpa biaya; bahkan bisa dibangun negara tanpa wilayah; di sana sini, berlimpah; mudah didapat; manusia-manusia bermental enak

(4)

madah digital bergema dan menangis; meratapi manusia-manusia digital yang mengotori kembali hidup dengan men-tuhan-kan alat yang diklik dan digenggam ditangannya

hei manusia-manusia digital; mengapa engkau membiarkan dirimu jadi pandai tapi hasilnya tinggi hati; padahal seharusnya kebijaksanaan; mengapa engkau membiarkan dirimu punya kuasa tapi hasilnya kesombongan; padahal seharusnya kebijaksanaan; mengapa engkau membiarkan dirimu kuat tapi hasilnya keangkuhan; padahal seharusnya kebijaksanaan; mengapa engkau membiarkan dirimu alim saleh tapi hasilnya pelecehan dan perselingkuhan; padahal seharusnya kebijaksanaan

(5)

oh di manakah kebijaksanaan? ketika segala-galanya berlimpah ruah, secerah kebijaksanaan, mustahilkah?

di mana-mana orang merasa hebat dan meremehkan orang lain yang ia anggap bodoh, primitif dan kafir; orang merasa benar hanya karena menang; merasa baik dan paling tahu hanya karena berkuasa; merasa unggul dan hebat hanya karena pintar; merasa tak mungkin salah hanya karena alim saleh

wahai kebijaksanaan, kenapa manusia-manusia digital ini dibiarkan menempuh kehidupan dengan bekal salah pengetahuan tentang manusia dan salah ilmu tentang kehidupan? kenapa dibiarkan merajalela sekolah kepintaran dan universitas keangkuhan; kenapa dibiarkan kesejahteraan bersama dipahami secara abstrak, tanpa anatomi ilmu yang jelas, serta dengan analisis berputar-putar seperti baling-baling lepas kendali? kenapa orang-orang ini dibiarkan tidak peduli pada asal usul untuk apa mereka tercipta; untuk apa mereka berada sekaligus berada-bersama, bukan sendiri-sendiri mengejar sendiri kemauan, cita-cita sendiri dan keuntungan sendiri?

*
(gnb:tmn aries:jkt:kamis:7.10.’21)

*) Gerard N Bibang adalah dosen sekaligus penyair kelahiran Manggarai, Flores NTT. Ia adalah penyair yang menahbiskan dirinya sebagai petani humaniora. Gerard saat ini berdomisili di Jakarta.