FILSAFAT, Bulir.id – Pada moment di bulan Desember ini, jutaan umat Kristiani memajang patung Anak Yesus untuk merayakan kedatangan Kristus, yang menggambarkan kembali persatuan antara yang ilahi dan yang manusiawi.
Seperti kita ketahui, Aristoteles mendefinisikan Tuhan sebagai penyebab pertama, penyebab efisien, penggerak yang tak digerakan oleh penggerak lain, penyebab niscaya yang darinya semua hal lainnya berasal.
Tuhan menurut Aristoteles adalah keberadaan absolut, Tuhan metafisik yang sempurna, tetapi dengan demikian, hubungannya dengan manusia hampir tidak ada.
Meskipun bagi Aristoteles ada ketergantungan kausal segala sesuatu pada penyebab pertamanya, Tuhan belum tentu merupakan pencipta manusia, tidak dalam pengertian Kristen tentang penciptaan dari ketiadaan dan dengan tujuan yang pasti.
Tuhan menurut Aristoteles tidak memiliki proyek untuk umat manusia, ia tidak memiliki hubungan pribadi dengan dunia. Ia adalah Tuhan yang tampak dingin dan jauh, seolah-olah ketertarikan Tuhan pada dunia membuatnya kurang sempurna.
Namun, Tuhan Kristen tertarik pada manusia. Pertama-tama, Ia menciptakan manusia menurut gambar dan rupa-Nya, lalu memberinya rencana hidup.
Hubungan manusia dengan Tuhan senantiasa merupakan hubungan persahabatan. Bagi banyak orang, ini adalah hubungan kasih, bahkan hubungan ayah-anak. Kita adalah anak-anak Tuhan. Lebih dari itu, Tuhan Kristen menjadi manusia dan melakukannya untuk tujuan keselamatan.
Hal ini tidak mungkin terpikirkan oleh Aristoteles. Oleh karena itu, Tuhan Kristen adalah Tuhan yang dekat dan manusiawi, berbeda (dalam pengertian ini) dari Tuhan agama dan filsafat lain yang mengakui keberadaan Tuhan. Elemen pembeda ini menjelaskan “keberhasilan” dan penyebaran agama Kristen yang luar biasa di dunia.
Para filsuf kemudian mengemukakan hubungan antara Tuhan dan manusia dalam konteks hubungan antara yang terbatas (manusia) dan yang tak terbatas (Tuhan). Mereka berpendapat bahwa yang terbatas dan yang tak terbatas tidak dapat dipisahkan, sebagaimana keberadaan dan ketiadaan tidak dapat dipisahkan.
Tidak ada yang dapat berdiri sendiri. Oleh karena itu, ketidakterbatasan yang sempurna, agar dapat menjadi demikian, harus mengandung yang terbatas, harus menyelimutinya.
Menurut Hegel, yang terbatas dan yang tak terbatas adalah satu. Ada partikular, adalah ada yang terbatas, itu hanyalah momen dari yang tak terbatas. Jadi, keabadian sejati, sebagai ekspresi dari yang tak terbatas, tidak mengecualikan waktu, tetapi memuatnya.
Melanjutkan pendekatan ini, jika Tuhan itu tak terbatas, lalu apa artinya menjadi terbatas bagi Tuhan? Menjadi terbatas berarti mengasumsikan sifat manusia, melepaskan diri dari keilahian-Nya. Bagi Tuhan, menjadi terbatas berarti menjadi Kristus. Inkarnasi (Kristus) mewakili sifat terbatas Tuhan.
Tuhan Bapa melambangkan kodrat yang tak terbatas. Dan Roh Kudus melambangkan tindakan Tuhan di dunia. Seperti yang kita ketahui, ketiga unsur ini membentuk “tri-personalitas” Tuhan, di mana setiap pribadi keilahian secara implisit merupakan keilahian seutuhnya, sumbangan besar Kekristenan.
Baptisan orang Kristen juga memengaruhi persatuan antara yang terbatas dan yang tak terbatas. Baptisan melambangkan kematian dan kebangkitan Kristus. Orang yang dibaptis berpindah dari kematian menuju kehidupan.
Setelah dibaptis, kita bangkit menuju kehidupan baru (kebangkitan). Pertama-tama kita harus mati sebagai makhluk yang terbatas dan kemudian dilahirkan kembali sebagai makhluk yang tak terbatas. Seperti yang dikatakan Dilthey, “ketika tenggelam dalam air, tampaknya keinginan untuk mengapung dalam ketidakterbatasan telah terpenuhi.” Dan keinginan itu pun berakhir, karena pada saat itu kita menjadi tak terbatas.*