Problem Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi di NTT

0

Oleh Alex Andiwatir*

SPIRITUAL, Bulir.id – Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, sosial, dan atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Mereka yang tergolong pada kategori ABK ini umumnya tidak memiliki akses Pendidikan secara regular.

Situasi ini menarik perhatian dan kepedulian masyarakat global yang kemudian diadakan Konferensi Internasional yang diselenggarakan oleh UNESCO pada 7-10 Juni 1994 di Salamanca Spanyol yang selanjutnya disebut dengan Salamanca Statement yang menyepakati pelaksanaan pendidikan inklusi oleh semua negara di dunia.

Di Indonesia melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 32 tahun 2008 tentang standar kualifikasi akademik dan kompetensi guru pendidikan khusus, diuraikan bahwa pendidikan inklusi merupakan pendidikan yang memberikan kesempatan bagi peserta didik berkebutuhan khusus karena kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, sosial, dan atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa untuk belajar bersama-sama dengan peserta didik lain pada satuan pendidikan umum maupun kejuruan, dengan cara menyediakan sarana, tenaga pendidik, tenaga kependidikan dan kurikulum yang disesuaikan dengan kebutuhan individual peserta didik.

Permasalahan yang terjadi saat ini di NTT bahwa, selain kurang adanya keberpihakan anggaran terhadap pelaksanaan penyelenggaraan Pendidikan inklusi; juga masih amat terbatas jumlah sekolah penyelenggra Pendidikan Inklusi. Data yang diperoleh, pada tahun 2018 tidak lebih dari 20 sekolah yang melaksanakan kelas inklusi.

Hasil survey yang dilakukan pada sekolah penyelenggra pendidikan inklusi ditemukan bahwa ¾ dari responden dalam hal ini para guru, belum memiliki kemampuan untuk mengenali serta mendesain dan mengelola pembelajaran jika dalam satu kelas regular dihuni oleh beberapa peserta didik dengan tingkat kebutuhan yang berbeda.

Ada dua poin diskusi yaitu keberpihakan dan kesiapan. Poin pertama adalah keberpihakan. Yang dimaksud dengan keberpihakan ini adalah upaya pemerintah daerah dalam mengakomodir dan melayani warganya yang termasuk dalam Anak Berkebutuhan Khusus.

Perlu ada pusat data yang terintegrasi dengan sistem pelayanan baik Kesehatan maupun Pendidikan. Selain itu juga tersedianya anggaran pemerintah daerah merupakan modal dasar dan dukungan utama dalam implemetasi penyeleggaraan Pendidikan inklusi. Keberpihakan ini, perlu adanya transparansi serta keseriusan dari berbagai pihak yang terlibat dalam bekerja sehingga usaha pengimplemetasian Pendidikan inklusi pada akhirnya dapat tercipta.

Poin kedua adalah kesiapan. Yang dimaksud dengan kesiapan ini adalah kesiapan guru sebagai agen pembelajaran baik dari segi kompetensi, pemahaman dan keterampilan. Kesiapan guru dalam implementasi pendidikan inklusi meliputi; Persepsi tentang pengaruh inklusi terhadap strategi pembelajaran; Level penerimaan makna kesiapan untuk mengajar terhadap peserta didik disabilitas; dan Pengembangan kompetensi professional untuk pembelajaran bagi peserta didik yang disabilitas; serta Hubungan kolaboratif antara guru regular dan guru khusus. Kurangnya keterampilan serta beban berat yang dihadapi guru dalam memenuhi kebutuhan peserta didik, akan berpengaruh pada sikap guru terhadap anak berkebutuhan khusus.

Mengacu pada hal tersebut, maka salah satu tuntutan Guru di sekolah inklusi adalah menciptakan proses pembelajaran yang efektif untuk dapat mengoptimalkan kemampuan siswa baik siswa reguler maupun siswa yang berkebutuhan khusus. Guru yang memiliki keyakinan yang kuat mampu menciptakan lingkungan belajar yang kondusif dan mampu mendidik siswa berkebutuhan khusus dengan baik dan lebih siap untuk menyesuaikan pendekatan pembelajaran terhadap kebutuhan belajar peserta didik.

Hal ini tidak diperoleh secara instan, tetapi harus melalui sebuah proses pembentukan dan latihan. Proses ini tidak bisa datang dengan sendirinya, tetapi harus difasilitasi dan diakomodir baik oleh pemerintah setempat maupun oleh masyarkat sekitar.

Penyelenggara pendidikan inklusif harus mengenal dan merespon terhadap kebutuhan yang berbeda-beda dari para siswa, mengakomodasi berbagai macam gaya dan kecepatan belajar, dan menjamin diberikan pelayanan pendidikan yang berkualitas kepada semua siswa melalui penyusunan kurikulum yang tepat, pengorganisasian yang baik, pemilihan strategi pengajaran yang tepat, pemanfaatan sumber dengan sebaik-baiknya, dan penggalangan kemitraan dengan masyarakat sekitarnya.

Hal ini dimaksudkan agar dalam proses pendampingan, anak berkebutuhan khusus tidak mengalami kesulitan atau keterlambatan dan memiliki kemampuan bersosialisasi sehingga mereka tidak merasa dibedakan.

 


*Alex Andiwatir menyelesaikan program pascasarjana di Univeristas UNAIR Surabaya. Kini menjadi salah satu staf pengajar di Universitas San Pedro Kupang.