Thomas Aquinas, Filsuf dan Teolog yang Menjembatani Kesenjangan Antara Iman dan Akal Budi

0

FILSAFAT, Bulir.id – Santo Thomas Aquinas adalah tokoh transformatif dalam filsafat dan teologi, yang menandai dimulainya era Skolastisisme, tradisi intelektual utama di Eropa abad pertengahan. Pendekatannya yang unik yang mendamaikan iman dan akal budi, merupakan sebuah revolusi.

Thomas Aquinas menggabungkan logika dan pemikiran ilmiah Aristoteles ke dalam agama, ia menunjukkan kesesuaian antara filsafat berbasis akal budi dan teologi berbasis keyakinan. Kemampuannya untuk memadukan keyakinan Kristen dengan pemikiran filosofis memicu perdebatan selama berabad-abad dan terus menginspirasi serta mencerahkan kita hingga saat ini.

Lanskap Intelektual Sebelum Aquinas: Pemikiran Skolastik Awal

Para cendekiawan abad pertengahan telah bergulat dengan satu pertanyaan besar sebelum Santo Thomas Aquinas : Dapatkah iman dan akal budi saling selaras? Dilema ini melahirkan Skolastisisme, sebuah cara berpikir yang berusaha mengkaji dan menjelaskan konsep-konsep keagamaan melalui kekuatan logika.

Salah satu tokoh Skolastik awal yang hebat adalah Anselmus dari Canterbury (1033-1109). Ia terkenal karena membuktikan keberadaan Tuhan hanya melalui akal budi, membangun argumen ontologis, bahwa jika kita dapat membayangkan keberadaan yang sempurna, maka keberadaan tersebut pasti ada. Hal ini merupakan hal baru dalam penerapan logika untuk menetapkan kebenaran agama.

Salah satu tokoh terpenting di antaranya adalah Petrus Abelardus (1079-1142), yang terkenal dengan karyanya Sic et Non (“Ya dan Tidak”). Ia mengontraskan pandangan-pandangan teologis yang berseberangan dan menunjukkan bahwa akal budi memiliki kekuatan untuk menyelesaikan kontradiksi dalam ajaran agama. Namun, hal ini tidak diterima secara universal sebagian besar khawatir bahwa logika yang berlebihan akan melemahkan iman.

Kebanyakan cendekiawan pada masa itu mengikuti Plato dan Santo Agustinus dalam menekankan bahwa akal budi harus dibimbing oleh iman. Dilema yang dihadapi adalah menafsirkan gagasan teologis yang kompleks tanpa melemahkan otoritas agama. Keseimbangannya rapuh, terlalu banyak akal budi dan iman akan terkikis; terlalu sedikit, filsafat akan sia-sia.

Inilah dunia yang dimasuki Aquinas, dan ia segera mengubah cara agar akal budi dan iman dapat benar-benar bekerja sama.

Aquinas dan Aristoteles: Sebuah Sintesis Baru

Sebelum Santo Thomas Aquinas, sebagian besar cendekiawan abad pertengahan tidak mempercayai Aristoteles. Mereka menganggap filsuf Yunani itu terlalu duniawi dan rasional untuk bermanfaat bagi teologi Kristen. Namun, Aquinas tidak setuju. Ia percaya bahwa gagasan Aristoteles justru dapat membantu iman, bukan merusaknya.

Aquinas ingin menunjukkan bahwa akal budi dan iman tidak harus saling bertentangan. Keduanya dapat bekerja sama. Menurut cara berpikir Aquinas, Tuhan telah menciptakan pikiran manusia dan dunia.

Oleh karena itu, menggunakan pikiran kita untuk mempelajari dunia dan menerapkan logika di dalamnya merupakan cara yang baik untuk mengenal Tuhan lebih baik. Gagasan ini banyak mengubah filsafat Kristen. Hingga saat itu, orang-orang yang percaya kepada Yesus terutama mencoba mempelajari hal-hal tentang Tuhan dari buku-buku dan pengalaman-pengalaman khusus yang (menurut mereka) berasal dari surga.

Ia tidak bekerja sendirian. Aquinas berkolaborasi dengan para cendekiawan Islam dan Yahudi yang tidak hanya melestarikan tetapi juga mengembangkan ajaran Aristoteles.

Misalnya, para pemikir seperti Ibnu Rusyd dan Maimonides berperan penting dalam memperkenalkan kembali filsafat Aristoteles ke Eropa. Aquinas meminjam interpretasi mereka untuk menciptakan teologi Kristennya sendiri.

Dengan menggabungkan filsafat klasik dengan iman Kristen, ia mengembangkan pendekatan yang dikenal sebagai Skolastisisme, yang sangat menekankan debat terorganisasi dan argumen logis. Bahkan, Aquinas menggunakan logika Aristoteles untuk menunjukkan bahwa keyakinan agama dapat dibuktikan masuk akal.

Cara berpikir ini menjadi sangat berpengaruh dan mendominasi filsafat Eropa selama berabad-abad setelah kematiannya. Skolastisisme masih menjadi bagian dari kurikulum di lembaga pendidikan tinggi Katolik Roma.

Summa Theologica : Mahakarya Aquinas dalam Pemikiran Skolastik

Summa Theologica karya Santo Thomas Aquinas adalah panduan utama filsafat Skolastik. Lebih dari sekadar buku, karya ini merupakan sistem yang menunjukkan bagaimana kita dapat menggunakan akal budi untuk mempelajari segala sesuatu tentang Tuhan, moralitas, dan dunia. Para cendekiawan masih membacanya hingga saat ini; mereka menganggapnya sebagai salah satu karya filsafat dan teologi terpenting yang pernah ditulis.

Banyak hal yang dilakukan Aquinas dalam Summa tampak seperti versi kuno dari “Tanya Jawab”. Ia memulai dengan mengajukan pertanyaan yang sangat penting; kemudian, ia mencantumkan semua alasan mengapa orang-orang mungkin tidak setuju dengannya. Berikutnya adalah jawabannya sendiri tetapi ia belum selesai! Aquinas meninjau kembali ketidaksetujuan tersebut dan menjelaskan mengapa ia yakin hal itu salah.

Aquinas membahas berbagai konsep utama. Misalnya, ia menggunakan Lima Jalan untuk membuktikan bahwa Tuhan memang ada. Lima Jalan ini merupakan argumen penalaran berbasis sebab-akibat mengenai cara benda bergerak, dan tujuan atau sasarannya.

Aquinas juga banyak menulis tentang hukum alam, teori bahwa aturan benar dan salah diciptakan di dunia oleh Tuhan. Ia percaya bahwa individu mampu menemukan aturan tersebut menggunakan akal budi mereka (penemuan moral).

Mengenai baik dan jahat, Aquinas memadukan doktrin Kristen dengan pemikiran Aristoteles. Dari sintesis ini muncul cara berpikir baru tentang keadilan, hukum yang ditetapkan negara, dan makna menjadi manusia.

Namun, Summa Theologica bukan hanya teks keagamaan. Ia mengusulkan gagasan bahwa iman dan logika dapat hidup berdampingan sebuah argumen yang telah membentuk banyak pemikiran Barat tentang agama sejak saat itu, dan masih berlanjut hingga saat ini.

Aquinas tentang Iman dan Akal: Keseimbangan Skolastik

Apakah iman hanyalah meyakini sesuatu yang tidak memiliki alasan kuat untuk meyakininya sebagai kebenaran? Tidak, kata filsuf dan teolog abad ke-13, Santo Thomas Aquinas. Ia tidak memandang iman dan akal budi sebagai sesuatu yang saling bertentangan. Sebaliknya, ia percaya bahwa keduanya berjalan beriringan: ketika kita beriman kepada Tuhan, akal budi dapat membantu kita memahami mengapa kita meyakini apa yang kita yakini.

Untuk membantu memperjelas maksudnya, Aquinas mengemukakan lima cara untuk menunjukkan bahwa mempercayai keberadaan Tuhan adalah hal yang rasional, meskipun hal ini tidak dapat dibuktikan atau disangkal melalui eksperimen ilmiah:

Argumen tentang Gerak : Apa pun yang bergerak digerakkan oleh sesuatu yang lain. Pasti ada Penggerak Pertama, Tuhan.

Argumen Sebab : Segala sesuatu yang memiliki akibat pasti memiliki sebab. Pasti ada Sebab Pertama, Tuhan.

Argumen Kontingensi : Karena segala sesuatu bersifat temporal, pasti ada sesuatu yang niscaya ada, Tuhan.

Argumen Tingkatan : Kita menganggap segala sesuatu lebih baik atau lebih buruk. Pasti ada semacam Standar Sempurna, Tuhan.

Argumen Desain : Alam semesta teratur dan memiliki tujuan, menunjukkan adanya Perancang Ilahi.

Tidak semua orang setuju. Kaum Aristoteles radikal menganggap ia terlalu bergantung pada iman, dan para teolog taat khawatir ia terlalu menekankan akal budi.

Aquinas percaya bahwa setiap hal ini adalah anugerah Tuhan, dan setiap hal dibutuhkan jika kita ingin memahami kebenaran sepenuhnya. Ia menunjukkan bahwa iman dan akal budi tidak saling bertentangan. Keduanya saling membutuhkan, dan gagasan ini menjadi dasar pemikiran Skolastik.

Dampak Aquinas terhadap Pendidikan dan Universitas di Abad Pertengahan

Pada tahun 1200-an, universitas merupakan salah satu tempat terpenting untuk mempelajari hal-hal baru. Dan dalam hal lebih dari sekadar filsafat, gagasan Thomas Aquinas menjadi pengubah keadaan, terutama dalam memikirkan cara terbaik mengajar siswa.

Faktanya, gagasannya sangat berpengaruh sehingga membantu membentuk universitas-universitas abad pertengahan dan berdampak pada perdebatan di antara para sarjana yang mempelajari hukum, filsafat, dan teologi.

Beberapa universitas terpenting pada masa itu berada di Eropa. Entah Anda kuliah di Oxford atau Paris (di antara universitas-universitas lainnya), tempat-tempat ini merupakan pusat Skolastisisme.

Jika mahasiswa ingin mempelajari filsafat atau teologi, mereka harus mempelajari Aquinas. Dalam banyak kasus, siapa pun yang mempelajari mata kuliah ini diharapkan membaca Summa Theologica.

Aquinas adalah anggota ordo Dominikan. Karyanya juga berlanjut di sini. Summa Theologica khususnya menjadi bacaan wajib untuk mempelajari hal-hal semacam itu pada tingkat yang lebih tinggi (dan banyak yang melakukannya sepanjang abad ke-13).

Pengaruhnya tidak berhenti di situ. Ia juga memicu gerakan filsafat yang dikenal sebagai aliran Thomistik, yang membahas subjek-subjek seperti hukum alam, etika, dan bagaimana iman dan akal budi bisa sama-sama benar. Hampir 500 tahun kemudian, Paus Leo XIII mempopulerkan kembali Thomisme dan menjadikannya filsafat resmi Katolik.

Aquinas turut membentuk perkembangan filsafat dan pembelajaran. Ia menunjukkan bahwa pengetahuan sejati melibatkan lebih dari sekadar mengulang hal-hal yang diyakini benar, pengetahuan sejati berarti mengajukan pertanyaan, menggunakan logika, dan sampai pada jawaban yang didukung oleh bukti. Tak heran jika gagasannya terus memengaruhi pendidikan tinggi di seluruh dunia.

Warisan Aquinas yang Abadi dalam Skolastisisme dan Selanjutnya

Santo Thomas Aquinas tidak hanya unggul pada masanya, tetapi gagasan-gagasannya kini telah menguasai filsafat dan teologi selama ratusan tahun. Bahkan di era setelah kematiannya, para filsuf seperti Duns Scotus dan William dari Ockham mengembangkan (dan terkadang membantah) gagasan-gagasannya.

Scotus mengembangkan teori kehendak bebas Aquinas, sementara Ockham memperkenalkan nominalisme dan pertanyaan tentang apakah konsep-konsep universal memiliki realitas yang independen dari pikiran. Namun, bahkan ketika Skolastisisme berkembang, Aquinas tetap menjadi pusatnya.

Pada abad ke-19, pengaruh Aquinas kembali menguat melalui Neo-Thomisme. Paus Leo XIII mendesak para cendekiawan untuk kembali mempelajari Aquinas, dan buku-bukunya menjadi inti filsafat Katolik. Melalui gerakan ini, ajaran-ajarannya tentang hukum kodrat, etika, dan harmoni iman dan akal budi membentuk teologi dan pendidikan Katolik kontemporer.

Hingga saat ini, gagasan Aquinas masih diterapkan pada argumen-argumen seputar moralitas, hukum, dan etika. Teori hukum kodratnya, gagasan bahwa prinsip-prinsip moral berasal dari kodrat manusia tetap relevan dalam teori hukum dan teori politik. Kombinasi iman dan akal budinya tetap relevan dalam argumen-argumen seputar sains, agama, dan etika.

Aquinas tidak hanya memengaruhi Skolastisisme abad pertengahan, tetapi juga menjembatani filsafat klasik dan pemikiran modern. Warisannya mengingatkan kita bahwa filsafat bukanlah tentang gagasan teoretis melainkan tentang memahami kebenaran dan menerapkannya dalam kehidupan kita sehari-hari.

Pengaruh Santo Thomas Aquinas terhadap Skolastisisme Abad Pertengahan

Santo Thomas Aquinas merevolusi Skolastisisme dengan memadukan logika Aristoteles dengan teologi Kristen untuk menunjukkan bahwa iman dan akal budi tidaklah bertentangan. Pendekatan ini membawa kejelasan, struktur, dan ketelitian yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam studi filsafat, sebuah pengaruh yang masih terasa dalam perdebatan etika dan teologis berabad-abad kemudian.

Gagasan Aquinas juga turut membentuk diskusi tentang hukum alam dan moralitas. Kini, gagasan-gagasan tersebut mendasari banyak posisi keagamaan maupun sekuler terkait isu-isu tersebut.

Namun, meskipun karyanya tetap penting di kedua bidang tersebut, dunia kita telah berubah sejak abad ke-13. Apakah pendekatan seperti ini, yang menekankan nilai iman dan akal budi, masih memiliki sesuatu untuk diajarkan kepada kita?

Aquinas menggunakan versi argumentasi Skolastik yang sistematis ini untuk memberikan kontribusi besar tidak hanya bagi pendidikan universitas (terutama pada Abad Pertengahan) tetapi juga bagi pemikiran Katolik setelahnya.

Itu adalah cara berfilsafat yang memungkinkan para pemikir saat itu dan mungkin dapat membantu kita untuk sampai pada kesimpulan baru dengan mempertimbangkan kembali keyakinan lama. Singkatnya, para cendekiawan sangat mengagumi “metode” yang ia usulkan.

Terkenal karena ajarannya tentang berbagai subjek, Aquinas telah lama dianggap sebagai salah satu filsuf Kristen terhebat yang pernah hidup.*